Oleh: dr. Berlian I. Idris*
Laporan mengenai kasus baru COVID-19 merebak dari banyak daerah di luar Jakarta. Pasien COVID-19 ini mengalami kesulitan untuk mendapatkan tempat perawatan. Apa yang disampaikan juru bicara COVID-19 Achmad Yurianto di acara podcast Deddy Corbuzier bahwa banyak rumah sakit (RS), dalam hal ini RS swasta, menolak kasus COVID-19 karena pertimbangan bisnis bukan hanya menyakitkan hati, tapi juga berbahaya. Narasi ini kemudian meluas. Masyarakat seolah membenarkan bahwa RS adalah institusi jahat yang menolak pasien karena alasan bisnis takut kehilangan pasien. Hal ini merusak solidaritas yang sangat diperlukan dalam menghadapi pandemi ini.
Sungguh tidak tepat jika dikatakan RS swasta takut kehilangan pasien lain karena merawat pasien COVID-19. Sejujurnya, semua RS saat ini ingin mengurangi jumlah pasien. Manajemen, tenaga kesehatan dan seluruh pegawai rumah sakit, seperti layaknya orang kebanyakan, ingin sekali bisa bekerja dari rumah, karena tidak ada yang ingin tertular virus SARS-CoV-2 yang menyebabkan penyakit COVID-19 ini. Namun ini tentu tidak memungkin, pegawai RS, terutama tenaga kesehatan, masih bekerja seperti biasa walaupun sudah banyak yang tertular bahkan sampai meninggal dunia.
Kita mendorong agar pemerintah pusat segera merealisasikan rencana pembuatan RS khusus COVID-19 baik dari RS yang sudah ada atau mengubah fasilitas lain seperti wisma atlit menjadi RS. Namun janganlah RS khusus tersebut dibuat di pulau Galang. Bagaimana kita bisa membawa pasien ke sana? Indonesia adalah negara yang luas, dengan belasan ribu pulau. Tentu akan sangat sulit untuk merujuk pasien ke sana. Menyiapkan RS khusus COVID-19 di seluruh kabupaten dan kota di Indonesia adalah pilihan yang paling logis, jangan menunggu daerah tersebut ada pasien COVID-19 yang memerlukan perawatan.
Namun, mekanisme penetapan RS khusus ini tidak bisa main tunjuk, apalagi dengan mem-fait accompli, langsung mengumumkan di media massa. Harus benar-benar disiapkan. Berbahaya jika RS dipaksa merawat pasien COVID-19, padahal RS tersebut tidak siap. Ini sangat berpotensi membantu memperluas penyebaran, belum lagi membahayakan mereka yang bertugas. Kita tahu tidak ada RS khusus infeksi selain RS Penyakit Infeksi Prof. Dr. Sulianti Saroso.
Kebanyakan RS tidak punya fasilitas isolasi khusus yang terpisah. Walaupun kamarnya terpisah, ruang isolasi ini bercampur dalam satu bagian, di satu lantai, dengan ruang perawatan pasien non infeksi. Kriteria ruang isolasi yang ideal pun belum tentu terpenuhi. Belum lagi saat ini semua fasilitas kesehatan, puskesmas, klinik dan RS, kesulitan mendapat alat pelindung diri yang terstandar. Selain itu, pasien non COVID-19 akan ketakutan bila mereka tahu ada pasien COVID-19 yang dirawat satu blok dengan mereka.
Untuk mencegah penularan, setiap ada pasien terduga yang bahkan awalnya masuk dengan diagnosis lain, bukan orang dalam pemantauan (ODP), satu blok kamar yang terdiri dari banyak kamar di RS harus dikosongkan. Setelah pasien tersebut pulang atau dirujuk, blok tersebut kemudian disterilisasi dan petugas yang sempat kontak dirumahkan. Ini jelas potensial melumpuhkan operasional kebanyakan RS yang jumlah perawat dan ruangannya terbatas. Semua RS bahkan walaupun belum pernah mendapat OPD atau pasien dalam pengawasan (PDP) saat ini membatasi kunjungan pasien ke poliklinik untuk menerapkan jaga jarak antar pasien demi mencegah penularan.
Kita bersyukur bahwa sejak era BPJS Kesehatan akses masyarakat ke pelayanan kesehatan jauh membaik. Rumah sakit, termasuk RS swasta, kewalahan dan ruangannya sering kali penuh. Banyak RS yang harus menerapkan daftar tunggu pelayanan. Harus diingat bahwa fenomena ini masih ada, masyarakat yang sakit non COVID-19 tidak berkurang dengan adanya COVID-19. Jika RS yang tidak siap dipaksakan merawat pasien COVID-19, kemudian RS tersebut ‘lumpuh’ karena merawat pasien COVID-19, maka yang akan rugi adalah masyarakat banyak. Efek berantainya akan mengerikan, keseluruhan sistem pelayanan kesehatan dapat lumpuh. Kemana pasien – pasien non COVID-19 dapat berobat?
Persiapan RS menjadi RS khusus COVID-19 harus sepenuhnya dibantu oleh pemerintah. Kita tahu banyak RS yang kesulitan dana segar salah satunya akibat pembayaran BPJS Kesehatan yang tertunda. Tidak mungkin rasanya menyerahkan persiapan tersebut ke RS yang bersangkutan. Sarana dan prasarana seperti fasilitas isolasi yang terstandar, peralatan medis yang diperlukan termasuk alat pelindung diri, serta personil yang cukup harus disiapkan. Karena itu, kita harus mendorong agar pemerintah menyiapkan RS khusus COVID-19 di seluruh kabupaten dan kota di Indonesia. Agar pasien COVID-19 bisa ditangani dengan baik, dan sistem pelayanan kesehatan tetap dapat berfungsi untuk melayani semua masyarakat yang membutuhkan.
Catatan:Saya membuat petisi agar Pemerintah Pusat segera merealisasikan RS khusus COVID-19 di seluruh kota dan kabupaten di Indonesia. Mohon kiranya berkenan menandatangani petisi tersebut di https://t.co/h3vVBv0CTE via @ChangeOrg_ID.*) Dokter umum dan spesialis jantung lulusan FKUI. Master of Public Health dan Doctor of Science lulusan Netherlands Institute for Health Sciences, Erasmus MC, the Netherlands.