DAELPOS.com – Sebuah prestasi langka ditorehkan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), dalam kurun waktu dua pekan mencokok dua menteri aktif dalam operasi tangkap tangan (OTT). Pertama adalah menteri Kelautan dan Perikanan Edy Prabowo yang menjadi tersangka suap dalam proek ekspor benih lobster. Edy ditangkap KPK tanggal 26 November 2020 di Bandara Sukarno Hatta. Sementara itu Menteri Sosial Juliari Batubara menjadi tersangka suap dalam proyek Bansos Covid19. Juliari menyerahkan diri ke KPK beberapa jam setelah anak buahnya terkena Operasi tangkap tangan KPK pada tanggal 06 Desember 2020.
Keduanya lantas mengundurkan diri dari posisi menteri. Akibatnya saat ini ada dua pos menteri kosong. Kekosongan ini menjadikan reshuffle Kabinet Indonesia Maju bukan lagi opsi, namun merupakan keniscayaan. Tak mungkin Presiden Joko Widodo membiarkan kekosongan ini berlarut-larut. Bandot DM selaku Koordinator Forum Diskusi Kebangkitan Indonesia (Forum DKI) memperkirakan resuffle akan segera dilakukan oleh Presiden. “Mestinya sebelum Natal sudah ada reshufle, karena berikutnya Presiden mesti fokus pada pemilihan calon pengganti Kapolri,” ujarnya.
Namun, tambahnya, yang urgent bukan waktu pelaksanaan penggantiannya. Setahun lebih Kabinet indonesia Maju, belum ada prestasi signifikan yang ditunjukkan. Harus diakui, Kabinet Indonesia Maju dibentuk dengan asumsi normal dan parameter yang sama dengan Kabinet Indonesia Bersatu. Sehingga komposisi kabinet terkesan kompromistis dan tidak serius.
Namun, di tahun 2020 ini kita menghadapi wabah pandemi Covid19. Perekonomian dunia porak poranda. Sejumlah kerjasama ekonomi batal. Di dalam negeri pun kondisi sempat chaos, terutama karena tidak ada anggota kabinet yang siap dengan hantaman badai Covid19. Tim Ekonomi yang menurut proyeksi hanya tinggal melanjutkan program-program Kabinet Indonesia Bersatu, nyaris lumpuh.
Ditangkapnya dua menteri aktif oleh KPK otomatis menjatuhkan wibawa kabinet yang di sisi lain masih memiliki tugas berat melawan radikalisme, intoleransi dan terorisme. Wacana pemberantasan teror, radikalisme, dan intoleransi belakangan ini pun kerap mendapat respon negatif terutama di media sosial. Di bidang politik dan hukum, KIM benar-benar dibuat kelimpungan. Apalagi, di dalam tubuh kabinet tidak terlihat ada figur yang mampu tampil sebagai negarawan yang merangkul semua pihak dan mampu meredakan tensi politik secara efektif. Justru, kerap terpancing pada suasana pilpres. Sehingga dikotomi politik yang terbentuk saat Pilpres belum bisa dipulihkan.
Komunikasi politik pun tidak berjalan dengan baik. Posisi Presiden kerap menjadi bulan-bulanan. Situasi yang sangat kontras dibanding saat jokowi memimpin Kabinet Indonesia Bersatu. Saat itu Jokowi menjadi media darling. Apapun yang dilakukan Jokowi selalu direspon positif. Kini keadaan berbalik. Salah satunya karena kabinet tidak bisa efektif bekerja. Sehingga hampir untuk semua respon politik mesti Presiden yang turun tangan.
Bandot menyarankan ini saatnya Presiden mengevaluasi Kabinet dan mencoret menteri-menteri amatir yang tak bisa bekerja. Saatnya Jokowi menusun kabinet profesional yang mampu bekerja secara profesional lepas dari kepentingan politik tertentu dengan pertimbangan wabah Covid19. Sehingga roda pemerintahan dapat berjalan dengan trengginas dan cakap menjawab semua tantangan.
Bandot juga memberi masukan kepada Jokowi agar menyertakan aktifis 98 dalam kabinet mendatang. Peran aktifis 98 sebagai bagian dari kabinet akan membantu secara signifikan dalam mengkondusifkan situasi politik dan mengefektifkan komunikasi politik. “Tapi tentu saja figurnya jangan asal-asalan. Jokowi harus memilih tokoh aktifis 98 yang masih aktif sebagai petinggi ormas pemuda terbesar misalnya. Jadi bukan semata pernah berfoto di Gedung DPR pada Mei 1998, tetapi benar-benar simpul aktif. Track record itu mesti dipadukan dengan pengalaman dan kemampuan organisatoris sebagai pengurus inti Ormas Pemuda yang selain memiliki kapasitas juga memiliki jaringan nasional yang tangguh ,” tandasnya. *