Oleh:Himawan Sutanto
KETIKA Jendral (Purn) Moeldoko menggunakan jam tangan merek “Richard Mille” terungkap di media Singapura, mantan Panglima TNI memberikan klarifikasi di kantornya dengan mengatakan “Glodok”.
Kata itu spontan terlontar dari Moeldoko saat Kompas.com menyebut kata “Richard Mille”, sebuah merek jam tangan mewah asal Swiss.
Moeldoko memang memilki kenangan tersendiri dengan merek tersebut saat masih menjabat sebagai Panglima TNI pada 2014 lalu. Jam tangan Richard Mille yang digunakan Moeldoko saat itu disorot oleh media Singapura karena harganya yang ditaksir mencapai Rp 1 miliar.
Namun, Moeldoko belakangan mengklarifikasi bahwa jam tangan “Richard Mille” yang dikenakannya itu palsu. Moeldoko membelinya dengan harga Rp 5 juta rupiah dan dilemparkan di depan para jurnalis yang mewawancarainya.
Cerita di atas adalah satu cerita di mana seorang Moeldoko yang sekarang menjadi Kepala KSP (Kantor Sekretariat Presiden) di Istana Negara. Keberadaannya di Istana tidak membuat Moeldoko hilang opsesi pada kekuasaan. Sebab obsesi itu akan terwujud dengan menjadikan dirinya sebagai presiden pengganti Jokowi pada 2024.
Hal di atas sangatlah wajar jika Moeldoko mampu melalui sebuah proses politik yang ada di Indonesia. Di mana dia harus menjadi anggota partai ataupun mendirikan partai sendiri.
Ternyata memasuki dunia politik tidak seperti yang diharapkan ketika menjadi seorang prajurit dan banyak rintangan yang harus dilalui. Maka seperti para “jenderal” sebelumnya menggunakan jalan pintas dengan mengakomodir orang yang kurang tepat menyokongnya.
Minim Prestasi Politik
Sebagai mantan Panglima TNI barangkali Moeldoko terobsesi dengan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), yang mampu menduduki jabatan presiden selama dua periode.
Tapi perjuangan SBY tidaklah begitu mudah. Setelah diberhentikan oleh Megawati sebagai Menkopolkam kala itu, SBY mendirikan Partai Demokrat bersama istrinya ibu Ani Yudhoyono (almarhumah) dan para deklarator lainnya.
Sementara Moeldoko setelah pensiun jadi tentara hanya bisa mendapatkan ormas HKTI dari OSO yang kebetulan terjadi dualisme kepemimpinan dengan Prabowo Subiakto. Yang kemudian membuat Partai Gerindra sebagai upaya bisa terlibat aktif di dunia politik Indonesia.
Mereka semua berdarah-darah mendirikan partai dengan segala tantangan di lapangan. Sebut saja Wiranto yang juga mantan jenderal juga mendirikan Partai Hanura.
Seharusnya Moeldoko sebagai mantan Panglima TNI menjadikan para seniornya dengan mendirikan partai, padahal posisi dia sangat strategis di sekitar Presiden Jokowi saat ini.
Karena minim pengalaman di politik, dia dikerjain sama Nazarudin, Jhoni Alen, dan Darmizal untuk merebut Partai Demokrat dengan merebut kekuasaan dengan cara melakukan KLB untuk pergantian Ketua Umum. Di saat itulah rapat di Hotel Rasuna membuat skenario dengan mengangkat Jenderal (purn) Moeldoko sebagai Ketua Umum Partai Demokrat.
Salah Dugaan
Perubahan Ketua Umum PD dari SBY ke AHY dengan banyak masuknya anak muda di kepengurusan membuat para senior tidak banyak yang mau mengerti dan memahaminya. Di mana tagline “Muda adalah kekuatan” menjadi penting bagi Partai Demokrat. Ditambah banyaknya aktivis yang berada di lingkaran AHY baik secara langsung atau tidak langsung.
Di situlah dugaan sementara mereka yang mau kudeta merasa dinamika partai masih seperti dulu dan ketika terbongkar Moeldoko dalam jawaban lewat online menunjukan gesture yang tidak percaya diri.
Barangkali halusinasinya menjadi Ketua Umum PD gagal total, walaupun banyak yang meyakinkan dengan munculnya Darmizal yang sudah mendeklarasikan diri Ketua Rejo (Relawan Jokowi) yang dijanjikan menjadi menteri (-oleh siapa?, tapi isu itu berkembang cepat-).
Apalagi ada nama Nazarudin yang sudah dipecat gara-gara korupsi bersama Anas Urbaningrum. Mungkin Moeldoko merasa yakin dengan hadirnya beberapa pengurus DPC PD dari Indonesia Timur yang diakomodasi oleh Jhoni Alen.
Ternyata skenario mereka tidak seperti yang diharapkan, makanya ada istilah “mati sebelum berperang”.
Hal yang menarik adalah ketika kudeta gagal kemudian bermunculan orang-orang lama (senior) dengan caranya masing-masing dengan seolah-alah seperti seorang pengamat dadakan.
Padahal intinya mau cuci tangan dari kejadian di atas. Mereka semua tidak paham dinamika Partai Demokrat sekarang yang diisi oleh anak muda dan tidak memiliki beban masa lalu.
Cuci Tangan Sebelum Berlumur Darah
Istilah subjudul di atas adalah sangat pas dengan kondisi saat ini, terutama bagi mereka yang terlibat bahkan mau memanfaatkan kasus di atas menjadi batu loncatan kekuasaan.
Logika politik zaman Orba yang masih dipakai, sementara para milenial sudah tidak peduli dengan masa lalu. Para anak muda lebih menyukai apa yang dikerjakan ke depan, dibanding masa lalu yang tidak memberikan ruang yang sehat untuk berkembang.
Saya teringat akan kudeta di Venezuela di mana pemimpin oposisi Juan Guaido berupaya membangun rasa keniscayaan untuk rencananya menyingkirkan sang presiden, Nicolas Maduro. Namun dukungan militer yang dia harapkan tak pernah muncul.
Dari kasus ini kita melihat bahwa Moeldoko tidak melihat lapangan bahwa para pemain yang dia pakai juga sudah tiak memiliki kekuatan seperti dulu lagi. Di mana anak-anak muda di partai sekarang ini lebih berani dan rasional.
Bahkan banyak yang tidak bisa menangkap dialektika AHY berkirim surat ke Jokowi. Jadi jangan diiharapkan bisa melakukan kelicikan seperti masa lalu. Bahkan Pramoedya Ananta Toer pun lebih percaya kepada anak muda untuk sebuah perubahan.
Apakah Moeldoko bisa memasuki dunia politik yang sebenarnya dengan menggunakan kaki tangan orang bermasalah? Semoga halusinasi menjadi presiden 2024 terwujud dengan kemampuan membuat partai sendiri seperti pendahulunya. Semoga.
(Koordinator Jaringan Nusantara)