DAELPOS.com – Anggota Komisi XI DPR RI yang juga Sekretaris Jenderal (Sekjen) DEPINAS SOKSI, Mukhamad Misbakhun menyampaikan perihal polemik Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) yang belum juga usai hingga kini.
Melalui tayangan Kompas TV, Misbakhun menjelaskan bahwa BLBI ada tiga skema yang digunakan pemerintah pada saat itu melalui BPPN untuk menyelesaikan hutang BLBI.
“Ada orang yang menggunakan Master Settlement Aquisition Agreement (MSAA), ada Master Refinancing and Note Issurance Agreement (MRNIA), dan akta pengakuan hutang. Ini semuanya ada dan ada audit Badan Pemeriksa Keuagan (BPK). Sekarang, mereka semuanya bisa dihitung,” terangnya.
Ia menambahkan, bahkan pernah ada hak bertanya atau hak interpelasi terhadap BLBI di tahun 2008. Selain itu, ada jawaban dari pemerintah Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).
“Terhadap hak interpelasi itu, hak bertanya anggota DPR di 2008. Saat itu pemerintah memberikan jawaban tertulis pada tanggal 1 April 2008. Semuanya ada di sana,” ungkap Misbakhun.
Legislator Golkar Dapil Jawa Timur II ini melanjutkan, terhadap MSAA, MRNIA ,dan akta pengakuan hutang tersebut, ada Penyelesaian Kewajiban Pemegang Saham (PKPS). Selain PKPS, terhadap tiga hal itu ada audit BPK-nya.
“Hasil audit BPK ini tolong dibaca. Ada audit BPK Nomor 34F/12/11 Tahun 2006 tanggal 30 November. Itu hasil pemeriksaan penjualan aset eks-pemegang saham,” tukasnya.
Misbakhhun menyampaikan bahwa semua itu bisa dirunut ulang. Justru Misbakhun mempertanyakan mengapa baru sekarang?
“Itu yang menjadi pertanyaan saya. Kita krisis tahun 1998, kemudian lahir BPPN tahun 1999, lalu ada proses reformasi, setelah itu lahir BPPN, dan sebagainya. Ke mana saja selama ini? Menteri Keuangan (Menkeu) orangnya masih sama. Bila Pak Mahfud (Mahfud MD-red) bilang, nanti ganti pejabat. Ganti apa? Orangnya masih sama kok (Menkeu-nya),” beber Misbakhun.
Ia menekankan bahwa dirinya memuji langkah pemerintah yang secara tegas mengusut kasus BLBI. Maka dari itu, ia berbicara terkait MSAA, MRNIA, dan akta pengakuan hutang.
“Orang yang sudah menyelesaikan kewajiban ya tidak boleh dikejar dong. Kecuali jika mereka tidak memenuhi sederet kewajibannya. Kan ada akta pengakuan hutang. Harus dikejar,” imbuh Misbakhun.
Ia menjelaskan mekanisme penyelesaian kewajiban tersebut, yaitu melalui tracing awalnya seperti apa. Menurutnya, hal tersebut lah yang harus dirunut ulang.
“MSAA, MRNIA, dan akta pengakuan hutangnya seperti apa? Hasil audit BPK yang sudah disetujui oleh BPK itu seperti apa? Bisa saja mereka mengatakan sudah lunas, tapi BPK-nya mengatakan tidak. Ini harus dicek ulang,” tegasnya lagi.
Misbakhun mempertanyakan konsistensi pemerintah terkait bukan hanya menilai dari mekanisme pengejarannya. Konsisten terhadap aturan dan regulasinya bagi penyelesaian krisis 1998 itu ada TAP MPR-nya.
“Lalu ada UU pelaksanaannya. Ada pertanggungjawabannya yang juga ada TAP MPR-nya. Yang sudah dipertanggungjawabkan seperti ini kalau dalam pelaksanaannya kemudian ada banyak tagihan yang itu harus dijelaskan,” ungkapnya.
Banyak yang harus dijelaskan kepada publik terkait data ini, yang sejatinya ada di Direktorat Jenderal (Ditjen) Kekayaan Negara Kemenkeu. Misbakhun mempertanyakan hal tersebut.
“Pernahkah disampaikan ke publik? Siapa saja yang belum menyelesaikan?” tandasnya.