DAELPOS.com – Plt. Dirjen Politik dan Pemerintahan Umum yang juga Kepala Pusat Penerangan Kementerian Dalam Negeri Bahtiar mengajak seluruh elemen masyarakat dan stakeholder untuk bersama mewujudkan Pilkada Tahun 2020 secara berkualitas. Hal itu diungkapkannya dalam Kegiatan Refleksi Akhir Tahun DPP KNPI dengan topik “Deteksi Dini Potensi Ancaman Situasi Nasional pada Pilkada 2020” di Gedung RRI Jakarta Lt. 1, Kamis (19/12/2019).
“Mewujudkan Pilkada yang berkualitas ini memang harus dilakukan oleh semua pihak, tidak bisa berjalan sendiri-sendiri, baik itu penyelenggaranya, pesertanya, masyarakat juga berperan untuk mewujudkan Pilkada yang berkualitas,” kata Bahtiar.
Ia juga memaparkan sejumlah indikator dalam mewujudkan Pilkada yang berkualitas, yakni:
Pertama, independensi penyelenggara pilkada di daerah
Kedua, netralitas Penyelenggara Pemilu daerah di wilayah pilkada.
“Masih terdapat pelanggaran etik oleh penyelenggara pemilu. Selain itu, sering kali penyelenggara terindikasi melakukan keberpihakan dan ketidaknetralan pada salah satu pasangan calon kepala daerah, ini harus diantisipasi bersama,” ujarnya.
Kode Etik Penyelenggara Pemilu, selanjutnya disebut kode etik, adalah satu kesatuan landasan norma moral, etis dan filosofis yang menjadi pedoman bagi perilaku penyelenggara pemilihan umum yang diwajibkan, dilarang, patut atau tidak patut dilakukan dalam semua tindakan dan ucapan, yang dilandaskan pada Pancasila dan UUD 1945; Ketetapan MPR dan Undang-Undang; Sumpah/janji jabatan penyelenggara Pemilu; dan Asas penyelenggara pemilu.
Ketiga, partisipasi pemilih yang tinggi disertai kesadaran dalam menentukan pilihannya
Keempat, peserta pilkada melakukan proses penjaringan bakal calon yang berkualitas dan tidak menggunakan politik uang.
Kelima, terpilihnya kepala daerah hasil pemilihan demokratis oleh masyarakat yang memiliki legitimasi yang kuat dan berkualitas.
Untuk mewujudkan Pilkada yang berkualitas sebagaimana tercermin dari indikator tersebut di atas, Kemendagri melakukan Pemetaan Potensi Kerawanan Pilkada Serentak Tahun 2019. Selain memberikan penekanan pada Netralitas, profesionalisme, dan independensi Penyelenggara, juga pada Cyber war dan politik identitas.
“Politik di medsos, ini yang banyak dibicarakan, ini juga ancaman, medsos ini repotnya smua orang bisa jadi pewarta. Di sinilah pentingnya produksi konten positif untuk melawan hoaks, ujaran kebencian, dan kampanye negatif,” jelas Bahtiar.
Sementara Politik identitas adalah sebuah alat politik suatu kelompok seperti etnis, suku, budaya, agama atau yang lainnya untuk tujuan tertentu, misalnya sebagai bentuk perlawanan atau sebagai alat untuk menunjukan jati diri suatu kelompok tersebut.
“Soal politik identitas, ini yang mengasah ini adalah konsestan, calon, supaya dapat dukungan dan membuat sentimentil, makanya sentimentil kesukuan atau sara itu diangkat dikentalkan, dan biasanya diproduksi oleh calon atau pendukungnya supaya pemilih menjadi fanatik. Saya kira partisipasi publik menjadi kata kunci terakhir dan menjadi sangat penting, partipasi bukan hanya di TPS tetapi di seluruh proses ini, terlibat memberikan edukasi dan pencerahan kepada masyarakat agar terseret dalam fanatisme berlebihan dalam dukung mendukung calon. Semua proses pilkada yang sehat harus dalam suasana rileks, santai, tak tegang, bersahabat dan damai walau berbeda pilihan.,” katanya.