DAELPOS.com – Pemerintah menghimbau masyarakat untuk melaporkan bila ada kematian babi atau kesakitan dengan gejala ASF. Jangan menangani dengan membuang ke lingkungan atau sungai,” kata I Ketut Diarmita, Dirjen Peternakan dan Kesehatan Hewan Kementan terkait wabah Demam Babi Afrika di Sumatera Utara.
Kementerian Pertanian secara resmi telah mengumumkan adanya Demam Babi Afrika atau African Swine Fever (ASF) yang terjadi di 16 kabupaten/kota di Provinsi Sumatera Utara, melalui Surat Keputusan yang ditandatangani Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo pada tanggal 12 Desember 2019.
Pemerintah juga telah melaporkan kejadian Penyakit ASF kepada Badan Kesehatan Hewan Dunia (OIE) pada tanggal 17 Desember 2019 melalui Direktur Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan selaku otoritas veteriner.
“Penyakit ASF adalah salah satu penyakit hewan yang yang harus di notifikasi (dilaporkan) ke OIE oleh semua negara anggota apabila ada kejadian penyakit tersebut. Hal ini karena ASF merupakan salah satu penyakit hewan yang masuk ke dalam daftar penyakit yang wajib dilaporkan atau notifiable diseases”, ujarnya di Kantor Pusat Kementan, Jakarta.
Ketut menjelaskan bahwa Indonesia sebagai anggota OIE melakukan notifikasi ini setelah mengkonfirmasi keberadaan penyakit ASF di 16 kabupaten/kota di Sumut berdasarkan hasil investigasi Tim Gabungan Ditjen PKH, Balai Veteriner (BVet) Medan dan dinas provinsi/kabupaten/kota terkait, serta terkonfirmasi hasil uji laboratorium.
“Sejak ditemukan adanya indikasi penyakit ASF, pemerintah pusat dan daerah telah melakukan upaya pengendalian. Kita upayakan tidak menyebar lagi sesuai SOP kesiagaan darurat veteriner Indonesia untuk ASF” tambahnya.
Menurut Ketut, langkah-langkah terpenting dalam penanganan ASF adalah adanya penerapan prinsip-prinsip biosekuriti seperti disposal, penguburan, standstill order, disinfeksi, pengawasan lalulintas ternak babi dan produknya, pelarangan swill feeding, sosialisasi dan pelatihan.
“Untuk semua daerah yang terdampak, Kementan telah memberikan bantuan berupa desinfektan, mesin sprayer, alat pelindung diri dan kantung bangkai. Semua bantuan ini dan pendampingan kepada peternak diberikan melalui posko darurat, disemua tingkatan mulai dari Pusat, provinsi, kab/kota, bahkan tingkat kecamatan, ” ungkapnya.
Posko darurat ini telah ditugaskan tenaga medik dan paramedik terlatih. Menurutnya masyarakat dapat langsung melaporkan bila dijumpai babi dengan gejala ASF dan segera ditangani.
Pemerintah menurut Dirjen PKH ini telah menyiapkan anggaran APBN sebesar Rp 5 Milyar, dengan alokasi mendukung kegiatan operasional gabungan penanganan kasus di lapangan.
Perkembangan Kasus ASF di Sumut
Sementara itu, Fadjar Sumping Tjatur Rasa, Direktur Kesehatan Hewan, Ditjen PKH pada kesempatan Simulasi Penyakit ASF di Bali, Kamis, 19 Desember 2019, menjelaskan bahwa pada saat ini penyakit ASF masih bisa dibatasi kejadiannya di 16 kabupaten/kota di Sumut. Kabupaten/kota tertular yakni Dairi, Humbang Hasundutan, Deli Serdang, Karo, Toba Samosir, Tapanuli Utara, Tapanuli Tengah, Tapanuli Selatan, Samosir, Simalungun, Pakpak Bharat, Langkat, Tebing Tinggi, Pematang Siantar, dan Medan.
Ia berharap langkah-langkah penerapan biosekuriti yang dilakukan bersama-sama antara petugas dan masyarakat bisa menekan kemungkinan penyebaran kasus lebih lanjut.
“Penyakit ASF ini penyebabnya adalah virus yang sangat bandel, virus ini tahan lama di lingkungan dan produk babi. Jadi kita harus benar-benar memastikan penerapan biosekuriti yang ketat apabila kita tidak ingin penyakitnya tambah menyebar”, ucapnya.
Namun Fadjar juga menegaskan bahwa penyakit ini bukan penyakit yang dapat menular dari hewan ke manusia (zoonosis), jadi produk babi dipastikan tetap aman untuk konsumsi.
Fadjar memaparkan bahwa kejadian penyakit ASF ini telah diprediksi oleh para ahli, termasuk di Indonesia. Sehingga Kementan telah mengambil langkah-langkah antisipasi dengan mengeluarkan beberapa kali surat edaran kepada pemerintah daerah, unit pelaksana teknis Kementan, dan para stakeholder, terkait upaya peningkatan kewaspadaan dan kesiapsiagaan menghadapi kemungkinan terjadinya ASF.
“Sejak kasus ASF pertama di Asia yakni di Tiongkok pada tahun 2018, Ditjen PKH telah mengeluarkan edaran pada bulan Agustus 2018, meminta semua pihak waspada, bersiap, siaga, dan tanggap dalam menghadapi kejadian penyakit ASF”, tambahnya.
Fadjar menjelaskan bahwa Kementan juga telah memperkuat kapasitas unit pelaksana teknis (UPT) balai veteriner di seluruh Indonesia agar mempunyai kemampuan untuk mendeteksi dan menguji penyakit ASF.
Lebih lanjut pemerintah menghimbau agar provinsi lain dengan populasi babi yang tinggi, seperti NTT, Sulut, Kalbar, Sulsel, Bali, Jateng, Sulteng, Kepri, dan Papua agar waspada dan siap siaga terhadap kemungkinan terjadinya penyakit ASF. Hal penting yang perlu dilakukan antara lain sosialiasi kepada peternak dan advokasi kepada pimpinan daerah terkait ancaman ASF.
“Stakeholder terkait telah kita kumpulkan dan kita ajak diskusi terkait ancaman ASF ini dari tahun 2018. Sekarang tinggal bagaimana kita secara bersama-sama mencegah dan menangani penyakit ASF ini dengan serius, untuk menekan ancaman penyebaran penyakit dan meminimalisir kerugian masyarakat” pungkasnya.