Oleh: M Rizal Fadillah
AGAK aneh tentu bila disebut bahwa Luhut Binsar Pandjaitan adalah titik lemah Jokowi bukankah semua sudah tahu bahwa penentu kebijakan pemerintahan Jokowi adalah Luhut, artinya sangat kuat.
Benar bahwa kekuasaan Luhut sangat besar, publik menyebutnya menteri segala urusan. Ketika investasi menjadi program sentral pemerintahan, maka kepercayaan diberikan pada Menko yang membawahi bidangi ini.
Kekuatan global yang digandeng adalah China. Program utama hegenoni China adalah jalur maritim “New Silk Road”.
Luhut pula “Liaison officer”nya. Sebagai Menko di bidang maritim dan investasi maka luar biasa strategis kedudukan dan perannya.
Semangat “berbakti” Luhut ternyata merambah ke berbagai bidang. Ketika Budi Karya sakit Luhut-lah yang menjabat Menteri Perhubungan. Luhut tampil menjadi bayangan wajah Jokowi.
Ada pergeseran aktor penentu dari Surya Paloh pada lima tahun periode pertama kepada Luhut Binsar di periode kedua saat ini.
Tentu Luhut berjasa besar dalam menyukseskan Jokowi sebagai Presiden lagi. Cukup seru “permainan” Pilpres kemarin. Mengubah peta kalah menjadi menang. Setelah menang semrawut membingkai amanat “kemenangan”. Luhut pun berada di garda paling depan.
Sorotan publik tajam padanya. Kritik tentu banyak. Namun entah bawaan atau pembenaran, responsnya selalu galak dan meledak-ledak. Terakhir soal “konflik” dengan Said Didu yang didukung oleh banyak kalangan termasuk purnawirawan tentara.
Membawa Didu ke ranah hukum membuat Luhut menjadi “musuh bersama” sesuatu hal yang merugikan bagi wibawa pemerintahan. Disadari atau tidak, Jokowi pun ikut tersandera.
Inilah gerbang terlemah rezim Jokowi. Jika “gerbang” Luhut bobol maka lawan politik, bahkan mungkin rakyat, akan masuk menerobos area “Kerajaan”. Biasanya Raja mencari jalan untuk bisa melarikan diri. Istana yang jebol itu jatuh dan menyerah. Begitu skenario atau jalan cerita yang biasa terjadi dalam film kolosal. Bagian benteng yang juga agak lemah adalah “gerbang” Sri Mulyani penanggungjawan keuangan negara.
Andai Luhut menyadari “kekuatan” dan “kelemahan”nya pastilah ia akan mengubah perilaku politiknya menjadi langkah yang lebih simpatik, populis, dan mengatur jarak politik. Yang ditunggu rakyat saat ini adalah kerelaan Luhut untuk melepas China dari pelukannya. Negara China itu berbahaya dan licik.
Menjadi lebih proporsional membangun dan mendorong kekuatan ekonomi pribumi yang jauh lebih penting dan mendesak.
Petisi mendukung Said Didu dan juga Faisal Basri yang dikaitkan dengan desakan kepada Presiden Jokowi untuk memecat Luhut Binsar Pandjaitan bisa menjadi bagian dari dobrakan benteng.
Bukan mustahil tuntutan berkelanjutan menjadi pilihan yang cukup berat apakah Presiden memberhentikan Luhut atau Presiden yang secara sukarela dan baik baik untuk menyatakan mundur.
Cerita masa lalu pun ikut bertempur. Bagi pendukung yang menjadikan Luhut sebagai pahlawan mengangkat peristiwa Luhut membacakan Tritura sebagai KAPI dulu “bukan kaleng-kaleng” kata sang supporter.
Bagi yang melihat sisi lain, Luhut digambarkan sebagai “kaleng-kaleng” saat meninggalkan anak buah dan ragu untuk terjun payung dari pesawat. Ketika disebut penghianat Luhut berang dan merasa malu keluarganya. Itu sekurangnya yang muncul di media sosial.
Luhut yang galak dan meledak-ledak adalah pembungkus rezim yang mudah robek. Jika terus bersikap angkuh dan menantang maka rakyat pun semakin tak suka.
Pemerintahan Jokowi akan semakin lemah dan menderita di bawah bayang-bayang Opung. (*)