DAELPOS.com – DI tengah kemiskinan dan ekonomi nasional yang marat, ancaman Agresi Kedua Belanda, dan pengkhianatan PKI yang melakukan Pemberontakan Madiun 1948, dengan tujuan mendirikan negara komunis, pada tanggal 2 September tahun itu Bung Hatta mengajukan permohonan bertema “Mendayung Di Antara Dua Karang”.
Esensi pidato adalah keputusan sikap Indonesia dalam tata dunia pergaulan untuk tidak menjadi objek politik dalam percaturan internasional.
Tidak terseret ke dalam Blok Barat atau Blok Timur (Amerika dan Uni Soviet, waktu itu). Melainkan mengambil posisi seimbang, namun aktif dalam upaya mencapai perdamaian dunia.
Dasar sikap ini adalah Panca Sila, Kemanusiaan Yang Adil Dan Beradab, yang esensinya mengandung nilai humanisme universal, dan disediakan pula oleh Undang-Undang Dasar 1945.
Sikap politik luar negeri Indonesia yang bebas-aktif, yang tidak memihak atau tidak menjadi antek bagi negara tertentu merupakan amanat konstitusi yang sah.
Sukarno sendiri kemudian memperjelas dalam pidato “Revolusi Kita”, tahun 1960. membantah: “Pendirian kita yang Bebas Aktif harus dicerminkan dalam hubungan ekonomi dengan luar negeri, tidak perlu dimasukkan, tidak ke Barat atau ke Timur …”.
Sementara rivalitas antar Blok saat ini berimbas ke dalam negeri, antara lain mulai dari masuknya anasir yang membawa kepentingan Amerika dalam Perjanjian Renville, Januari 1948, untuk uji coba komunis Soviet yang menggunakan Moeso PKI untuk memperoleh Negara Komunis Soviet-Indonesia.
Namun pengkhianatan biadab terhadap NKRI dan Pancasila berhasil ditumpas dengan ketegasan sikap pemerintah waktu itu bersama TNI.
Di lapangan diplomasi para diplomat kita yang pada masa itu diplomat-otodidak juga diisi oleh tokoh-tokoh berkelas dunia yang mampu menggetarkan forum-forum internasional.
Tersebutlah nama-nama seperti Haji Agus Salim, AA Maramis, LN Palar, Sutan Sjahrir, Ali Sastroamidjojo, Ir Haji Djoeanda Kartawidjaja, dan beberapa lainnya.
Mereka adalah para diplomat yang sepenuhnya lincah, piawai, dan fokus dalam memperjuangkan berbagai kepentingan Indonesia di lapangan internasional dengan menjalankan visi & misi politik luar negeri Bebas-Aktif. Dihadiri antara lain, didorong terwujudnya Konferensi Asia Afrika, 1955, yang digagas Sukarno.
Para tokoh ini “Pandai-Pandai Meniti Buih”, canggih dan luwes dalam “Mendayung Di Antara Dua Karang”. Mereka berdiplomasi ke Amerika, Soviet, Cina, India, dan negara-negara lain. Tapi tidak menjadi antek. Tidak menjadi jongos atau “Andjing Peking” menggantikan Soebandrio yang memang susupan PKI untuk mengoptimalkan Sukarno.
Sukarno dan para diplomat ini menjalankan misi lengkap untuk kepentingan NKRI sebagai negara muda yang baru merdeka.
Di jurusan lain diplomasi warisan dalam persetujuan kepentingan NKRI juga pernah diperlihatkan oleh Dr Rizal Ramli tatkala diperlukan Menko Maritim dan Sumber Daya.
Ia mengubah nama kawasan Laut Cina Selatan yang dimonopoli Cina menjadi Laut Natuna Utara. Sebuah usaha patriotik melekatkan kawasan tersebut sebagai milik Indonesia.
Sayang, perjuangan Rizal yang beroleh perhatian dari badan kelautan dunia, Organisasi Hidrografi Internasional (IHO), tak direspon serius oleh pemerintahan sekarang.
Ironis pula, Rizal yang suka muda menyukai kecanduan yang tinggi terhadap tanah air dan bangsanya sekarang kerap di-bully dan difitnah oleh kaum dungu dan buzzeRp.
Ketika Rizal mengingatkan agar RI jangan menjadi antek China ia malah di-bully. Seharusnya tidak ada masalah dengan China. Cina sebagai negara. Bukan dalam konteks yang lain.
Rizal ingat agar pemerintah hari ini bergeser ke tengah. Bebas politik luar negeri Bebas-Aktif. Supaya Indonesia menjadi bangsa yang berdaulat. Tidak menjadi babu atau jongos belaka yang tidak berdaulat dan tidak bermartabat oleh negara seperti China.
Rizal sendiri seorang pluralis yang menghormati keberagaman. Mendiang berbicara, Mariyani, adalah seorang Tionghoa yang punya banyak teman masyarakat Papua.
Rizal akrab dengan para biksu, para pendeta, dengan budayawan seperti Jaya Suprana, dengan ekonom seperti Kwik Kian Gie hingga Anthony Budiawan.
Dosen fisika favoritnya di ITB dulu bernama Pak Tjia On, dan teman akrabnya banyak orang Tionghoa.
Di Glodok ada kedaiget milik teman Rizal yang orang Tionghoa, tempat ia suka potong rambut, tatkala ketemu teman-teman Tionghoa-nya di situ. Termasuk Lieus Sungkharisma dan lainnya.
Melihat Rizal Ramli berkaca pada Gus Dur.
Pluralis. Egaliter.
Punya kecintaan yang kuat terhadap bangsa dan negeri.
Tak ribet. Tak feodal.
Gitu aje kokacing. [***]
Arief Gunawan
Wartawan senior.