DAELPOS.com – Mewabahnya virus corona telah menimbulkan dampak negatif ke berbagai bidang, tidak hanya soal kesehatan. Dari sisi ekonomi misalnya, wabah corona telah membuat pertumbuhan ekonomi Indonesia terpuruk. Di sisi bisnis membuat banyak perusahaan sempoyongan. Tidak hanya di bisnis sekelas UMKM, namun juga bisnis yang dikelola oleh korporasi besar, layaknya BUMN.
Di saat yang hampir bersamaan ada dua BUMN yang mengalami gagal bayar terhadap utang jatuh temponya. Perum Perumnas, berdasarkan pengumuman yang disampaikan oleh Kustodian Sentral Efek Indonesia (KSEI) pada 27 April lalu, menyatakan adanya penundaan pembayaran pokok MTN I Perum Perumnas Tahun 2017 Seri A, yang seharusnya jatuh tempo pada 28 April 2020, senilai Rp 200 miliar. Menurut Arya Sinulingga, Staf Khusus MenteriBUMN Erick Thohir, pandemi corona menjadi faktor utama gagal bayarnya Perum Perumnas atas surat utang yang diterbitkan pada April 2017 itu.
Dampaknya penjualan Perumnas turun tajam. Padahal sebelumnya, BUMN ini sudah banyak membangun rumah. Arya menambahkan Perumnas membutuhkan restrukturisasi kewajiban jangka pendek menjadi jangka panjang. Pemegang MTN Perumnas nantinya akan diajak berunding untuk memperpanjang jatuh tempo pokok. Harapannya setelah pandemi covid-19 berakhir, penjualan dan pendapatan ke BUMN perumahan itu dapat pulih kembali.
Boleh jadi akibat gagal bayar tersebut, pada 6 Mei 2020 Menteri BUMN Erick Tohir, mengganti sejumlah direksi Perumnas. Tiga dari lima direksi yang ada sebelumnya pun dicopot. Mereka adalah Bambang Tri Wibowo sebagai Direktur Utama, Eko Yuliantoro sebagai Direktur Keuangan dan SDM, serta Galih Prahananto sebagai Direktur Korporasi dan Pengembangan Bisnis. Sebagai gantinya Menteri BUMN mengangkat Budi Saddewa Soediro sebagai Direktur Utama, Oni Febrianto Rahardjo sebagai Wakil Direktur Utama dan Muhammad Hanugroho sebagai Direktur Keuangan.
Uniknya dua hari setelah pergantian direksi tersebut, pada 8 Mei 2020, KSEI mengumumkan Perumnas siap membayar pokok MTN I Perum Perumnas Tahun 2017 Seri A senilai Rp 200 miliar. Pada hari itu juga utang pokok tersebut dibayarkan. Meski akhirnya tidak jadi melakukan restrukturisasi, namun publik, khususnya investor terlanjur bertanya-tanya apa yang sebenarnya terjadi di Perumnas. “Tampaknya Kementerian BUMN memaksa direksi baru Perumnas untuk melunasi gagal bayar tersebut,”kata Toto Pranoto Managing Director di Lembaga Management Fakultas Ekonomi Bisnis Universitas Indonesia kepas SINDOnews.
Menurut Toto model bisnis yang dilakukan oleh Perumnas memang beresiko mengalami mismatch dalam hal pembiayaan. Alasannya, BUMN ini membidik segemen kelas menengah bawah dengan konsep membangun rumah ukuran mungil. Konsep membangun rumah kecil untuk segemen bawah adalah bangun dulu baru jual. Inilah yang berpotensi menyebabkan mismatch.
Di saat yang hampir bersaman, April lalu, Dirketur Utama PT PLN Zulkifli Zaini meminta penundaanpembayaran utang yang jatuh tempotahun ini. Dia mengatakan, pihaknya saat ini tengah meminta kepada bank untuk melakukanreprofiling utang hingga tahun depan. Hal itu disampaikan Zulkifli saat rapat virtual dengan Komisi VII Dewan Perwakilan Rakyat, Rabu, 22 April 2020 lalu. Utang jatuh tempo yang harus dibayarkan PLN tahun ini sebesar Rp35 triliun. “Ini merupakan tanggung jawab kami untuk dipenuhi dengan baik. Kami juga sedang melakukan pendekatan pada bank-bank untuk melakukan reprofiling dari pokoknya,” kata Zulkifli.
Di tengah pandemi covid-19, PLN tengah menanggung beban finansial yang berat lantaran melorotnya permintaan listrik yang berdampak pada penurunan pendapatan. Menurunnya pendapatan ini karena penjualan listrik yang merosot, akibat pelemahan konsumsi, terutama kelompok pelanggan industri, cafe, restoran dan lain sebagainya. Untuk setiap penurunan 1% permintaan listrik berakibat turunnya pendapatan PLN sebesar Rp 2,8 triliun. Itu sebabnya di 2020 ini PLN pun memotong target pendapatan sebanyak 15%. Menurut perhitungan Zulkifli, tahun ini pendapatan yang akan diterima PLN akan berkisar Rp 257 triliun, atau turun 14,6% dari perkiraan sebelumnya sebesar Rp 301 triliun.
Di tengah menurunnya pendapatan, PLN masih dituntut menjalankan kebijakan pemerintah untuk menggratiskan listrik untuk pelanggan 450 VA dan memberikan diskon 50% untuk pelanggan 900 VA. Belum lagi kewajiban terhadap hutang-hutang dari global bond akibat dari menjalankan program pembangunan pembangkit listraik 35 ribu MW. “Jadi sebenarnya tidak mengherankan jika PLN akhirnya mengalami bledding,”kata Toto Pranoto.
Efisiensi hingga Bailout
Sebelumnya Zulkifli Zaini pernah menjelaskan bahwa jumlahutang PLN dalam mata uang asing cukup besar. Seiring melemahnya nilai tukarrupiahterhadap dolar AS, jumahnya pun terus membangkak. Sebagai gambaran, jika rupiah melemah Rp 1.000 per dolar AS, maka utang PLN naik Rp 9 triliun. Apabila bila rupiah melemah Rp 2.000, maka utang PLN melonjak Rp 18 triliun. Adapun totalutang perseroan per kuartal I 2019 mencapai Rp 394,2 triliun. Angka itu meningkat 1,7% dibanding posisi utang akhir 2018 yang sebesar Rp 387,44 triliun.
Gagal bayar juga tengah mengintai BUMN lainnya, Garuda Indonesia. Tahun ini per 3 Juni nanti utang jatuh tempo Garuda nilainya mencapai US$ 500 juta, atau setara dengan Rp7,4 triliun. Saat ini Garuda Indonesia tengah mengusahakan refinancing utang baik dengan bank dalam negeri maupun luar negeri. Negosiasi dengan lessor pun dilakukan untuk menunda pembayaran sewa pesawat (lease holiday) serta memperpanjang masa sewa pesawat agar bisa mengurangi biaya sewa per bulan. “Saat ini Garuda terus mencoba untuk bertahan hidup,”ujar Direktur Utama PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk, Irfan Setiaputra.
Di keluarga besar BUMN, sebelumnya gagal bayar juga dialami oleh Jiwasraya sebesar Rp 16 triliun. Lalu pada Januari 2020 PT Krakatau Steel mengumumkan restrukturisasi utangnya senilai $ 2 miliar. Mengacu data pencatatan efek di Kustodian Sentral Efek Indonesia (KSEI), jumlah utang jatuh tempo perusahaan BUMN tahun ini mencapai Rp 30,35 triliun dari 13 perusahaan BUMN. Jumlah ini di luar perhitungan MTN, promisory notes, dan juga sukuk (obligasi syariah). Dari jumlah itu, obligasi jatuh tempo terbanyak dicatatkan PT Sarana Multi Infrastruktur (Persero) atau PT SMI senilai Rp 5,796 triliun, disusul PT Bank Tabungan Negara (Persero) Tbk (BBTN) Rp 5,372 triliun dan PT Pupuk Indonesia (Persero) senilai Rp 4,086 triliun.
Menurut Toto Pranoto ada beberapa upaya yang perlu dilakukan BUMN untuk menyelesaikan utangnya yang segede gunung itu. Efisiensi besar-besaran sudah jadi keharusan untuk mengontrol structure cost. Negosiasi kepada para kreditur harus dilakukan, terkait kondisi force majeur akibat dampak wabah corona.
Negosiasi untuk mendapatkan relaksasi pembayaran kredit bisa dilakukan dengan bank di dalam negeri khususnya kepada bank-bank BUMN bisa dilakukan. Toto mengingatkan negosiasi ini harus bersifat win-win solution. Jangan sampai malah memindahkan masalah ke bank-bank BUMN.
Solusi yang agak rumit untuk menyelesaikan kewajiban global bond beserta bunganya yang telah diterbitkan BUMN. Bila masih memungkinkan BUMN bisa menerbitkan obligasi lagi untuk menutup kewajibannya itu. Jika semua uapaya tersebut tidak manjur juga, maka pada akhirnya pemerintah bisa memberikan bailout. Terutama kepada BUMN strategis seperti PLN dan Pertamina.
Di samping dampak negatif yang ditimbulkan virus corona ada hikmah yang bisa dipetik pemerintah terkait pengelolaan BUMN. “Sudah saatnya pengelolan bisns perusahaan negara dirombak besar-besaran,”tegas Toto. BUMN yang dianggap sudah tidak strategis lagi bisa dilikuidasi atau fungsinya diserahkan saja kepada swasta. Pandemi Corona akan menjadi semacam seleksi alam BUMN yang harus dipertahankan adalah BUMN strategis yang harus hadir di negeri ini dan juga harus kuat. Sehingga ke depan BUMN yang dikelola Pemerintah makin sedikit namun dengan kondisi yang makin sehat. []