Oleh: Arief Gunawan
DAELPOS.com – MENJELANG 10 November 1966 Sukarno mau diculik.
Tentara dan polisi dalam jumlah besar yang akan menculik tak lain adalah para loyalis Sukarno.
Mereka ingin “menyelamatkan” Sukarno saat kunjungan Hari Pahlawan di Surabaya. Setelah itu akan melakukan perlawanan terhadap Soeharto di Jakarta.
Dukungan tentara dan polisi juga datang dari Sumatera, antara lain ditegaskan Jenderal Mokoginta.
Waktu itu banyak rakyat bersedia mati. KKO steling pasukan dan sudah kokang senjata.
Suasananya memantik perang saudara andai Sukarno tiada berjiwa besar melarang para loyalisnya ke Jakarta.
Tokoh Proklamator RI itu sendiri akhirnya membatalkan kunjungan ke Surabaya.
Gus Dur, Soeharto, Habibie, memilih jalan negarawan dengan mundur dari jabatan. Tak minta dibelain buzzeRp & agitasi-propaganda sesat, serta main-main pencitraan basi.
Dalam ingatan tokoh bangsa Dr Rizal Ramli, Gus Dur misalnya menghadapi dilema andai memaksakan diri terus berkuasa. Korban rakyat pasti akan berjatuhan sangat banyak.
Demikian pula kondisi yang akan terjadi dalam masa kejatuhan Soeharto dan Habibie.
“Semua pemimpin hebat akhirnya memilih jalan negarawan dengan mengundurkan diri, daripada mengorbankan rakyat…”.
Rizal Ramli juga terkenang kepada perkataan Gus Dur yang sudah dianggapnya sebagai kakak kandung sendiri:
“Rizal, tidak ada jabatan di dunia ini yang perlu dipertahankan mati-matian …”.
Namun apa sebenarnya yang akan dilakukan oleh rezim kekuasaan hari ini di tengah serba ketidakmampuan mereka yang sangat luar biasa?
Memilih jalan negarawan?
Ataukah menghancur leburkan rakyat hingga binasa?
(Penulis adalah wartawan senior)