Oleh: Em Simabua
DAELPOS.com – Kadimin, (70 tahun) dan istri serta tiga orang anak pada tahun 2000 terpaksa harus keluar dari lokasi Transmigrasi yang sudah di diami sejak 1981. Hal itu dilakukan, waktu itu dirinya dan keluarga merasa terancam dengan gerakan Aceh Merdeka (AM), Gerakan Pengacau Keamanan (GPK) dan terakhir Gerakan Aceh Merdeka (GAM).
Kakek, demikian ia akrab disapa oleh rekan sebaya maupun pria dan wanita yang lebih muda, saat ditemui di salah satu warung di Dusun IV Desa Sungai Besar, Kecamatan Pucuk Rantau, Kabupaten Kuantan Sengingi, provinsi Riau.
“Kami meninggalkan Aceh, tepatnya Meulaboh, Aceh Barat (sebelum pemekaran kabupaten), karena merasa jiwa kami terancam oleh intimidasi dan kejahatan yang dilakukan oleh penduduk Aceh melalui berbagai gerakan seperti Aceh Merdeka, Gerakan Pengacau Keamanan dan terakhir Gerakan Aceh Merdeka” kata Kadimin mengawali obrolan dengan daelpos.com, kemarin.
Menurut kakek yang sekarang memiliki tiga cucu ini bercerita kenapa akhirnya ‘berlabuh’ di dusun IV Desa Sungai Besar Kecamatan Pucuk Rantau, setelah melalui perjalanann panjang yang berliku.
Selama menjadi transmigran di Aceh, Kadimin dipercaya sebagai Kepala Dusun Makarti Jaya lokasi masyarakat transmigran yang berjumlah sekitar 250 KK yang berasal dari Jawa Timur, Madura, Jawa Tengah dan Jawa Barat.
“Masyarakat lain belum mulai berladang, saya sudah terjun berladang, menanam sawit dan tanaman holtikultura lainnya. Mungkin karena itu barangkali, saya didaulat sebagai Kepala Dusun dengan berbagai kegiatan dilingkungan maupun melaksanakan kegiatan nasional yang dilakukan pemerintah,” kata kakek.
Terakhir pecah Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan semakin memanas dengan kejahatan dan intimidasi termasuk menteror para wakil pemerintah NKRI di dusun, desa, kecamatan yang bisa mereka lakukan.
Khawatir atas keselamatan jiwa, Kadimin memutuskan untuk keluar dari dusun Makar ti Jaya (SP 6), Meulaboh, Aceh Barat. Sementara warga transmigran lainnya juga meninggalkan area transmigran. Ada yang kembali ke kampung halaman, ada juga yang berusaha mencari tempat ‘berlabuh’ yang baru.
“Perjalanan keluar dari area Transmigran kami lakukan dengan berpindah pindah tempat. Pertama masuk ke Kota Cane, Aceh Tenggara, seminggu di sana perjalanan diteruskan ke daerah perbayasan Sumatera Utara Kaban Jahe, lanjut ke Binjai, terus ke selatan, Natal,” cerita Kadimin.
Dua minggu di Natal, Kadimin melanjutkan perjalanan menuju Sumatera Barat dan berhenti di Sungai Rumbai berbatasan dengan provinsi Jambi. Di sini perjalanan Kadimin dan keluarga terhenti, untuk kemudian mulai mencari peluang kerja dan berladang.
” Waktu itu, saya dapat khabar di Desa Sungai Besar membutuhkan tenaga untuk bergabung di plasma sawit dan saya pindah ke Sungai Besar. Dari situ Kadimin mulai mengumpulkan uang sedikit demi sedikit, saya dan keluarga pindah ke Padang Lawas, Perbatasan provinsi Sumatera Barat dengan provinsi Riau,” tutur Kadimin.
Alhamdulillah, katanya, di daerah baru yang masih berbentuk hutan itu, Kadimin mulai berladang dengan berbagai tanaman holtikultura seperti jagung, sayur sayuran dan kacang kacangan lainnya.
Dari berladang itu Kadimin berusaha membeli lahan sedikit demi sedikit. ” Mendengar saya ada di Padang Lawas, beberapa keluarga yang dulu sama sama bergabung di transmigrasi Aceh, datang dan membawa keluarga mereka bergabung dengan saya. Ada sekitar 25 KK asal transmigran Aceh yang berladang di Padang Lawas,” cerita Kadimin yang mengaku lahan yang dibeli di Padang Lawas sekarang sudah diwariskan ke anak anaknya.
Masih cerita Kadimin, padang tahun 2013 dirinya mendengar ada pembukaan lahan di dusun IV Desa Sungai Besar, iapun mencoba mengadu nasib ke sana. Berbekal uang tabungan selama berladang di Padang Lawas, Kadimin membeli 4 hektar lahan yang masih dalam kondisi hutan belukar.
“Setelah memiliki lahan tersebut, saya mulai buka sedikit demi sedikit. Butuh waktu tiga tahun untuk membersihkan lahan tersebut untuk kemudian ditanami sawit. Sekarang mulai berbuah pasir,” tambahnya.
Tapi lagi lagi perjalanan Kadimin diikuti.rekan rekannya selama menjadi transmigran di Aceh. Sekitar 20 KK asal tranamigran Aceh pun ikut membeli lahan di Dusun IV. Mereka ikut menanam sawit.
Sayangnya lahan yang di dusun IV tidak seperti di Padang Lawas yang cepat diproses kepemilikannya oleh pemerintah Sumatera Barat dan Pusat.
” Sebagai pendatang, saya dan kawan kawan berharap pemerintah dapat melihat perjuangan kami di sini. Kami sudah menjadi masyarakat pendatang yang majemuk, tapi kami hidup dengan penuh kedamaian dan saling berkomunikasi bahkan membangun kebutuhan umum secara swadaya bersama warga masyarakat lainnya,” harapnya.
Harapan Kadimin sama dengan harapan warga lainnya, yaitu lahan yang mereka miliki statusnya dapat ditingkatkan. Sehingga warga lebih nyaman lagi dalam berladang untuk mensejahterakan keluarga, termasuk menyekolahkan anak anak ke sekolah yang lebih tinggi.
“Meski demikian saya berharap pengalaman buruk yang kami alami di Aceh jangan terulang lagi di di sini. Karena tempat kami sekarang merupakan ‘tanah harapan’ tempat perjuangan kami terakhir setelah sebelumnya harus keluar dari lokasi transmigrasi Aceh,” imbuhnya. (*)