DAELPOS.com – Kementerian Keuangan mengumumkan utang pemerintah hingga akhir Maret senilai Rp6.445,07 triliun atau naik Rp1.252,51 triliun dibandingkan Maret 2020 yang tembus Rp5.192,56 triliun.
Itu adalah rekor tertinggi sepanjang sejarah kenakkan utang di tanah air.
Sementara itu, dibandingkan Februari 2021, utang tersebut hanya naik Rp84,07 triliun dari realisasi Rp6.361 triliun di bulan lalu. Kenaikan utang ini diikuti dengan pelebaran debt service ratio (DSR) menjadi 41,64% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB).
Dari buku APBN KiTa edisi April yang dikutip Rabu (28/4), utang Pemerintah ini didominasi oleh Surat Berharga Negara (SBN) sebesar 86,63% dan pinjaman sebesar 13,37%.
Secara rinci, utang dari SBN tercatat Rp 5.583,16 triliun yang terdiri dari SBN domestik Rp4.311,57 triliun dan valas Rp1.271,59 triliun.
Sedangkan utang melalui pinjaman tercatat Rp861,91 triliun. Pinjaman ini terdiri dari pinjaman dalam negeri Rp12,52 triliun dan pinjaman luar negeri Rp849,38 triliun.
Adapun utang dari pinjaman luar negeri ini terdiri dari pinjaman bilateral Rp 323,14 triliun, pinjaman multilateral Rp 482,02 triliun dan pinjaman dari commercial banks Rp 44,23 triliun.
Kemenkeu menekankan bahwa komposisi utang Pemerintah ini tetap terjaga dengan baik. Ini terlihat dari peringkat kredit Indonesia tetap di level investment grade
Ekonom Indef Bhima Yudistra berpendapat rasio utang pemerintah diperkirakan tembus 50% hingga 55% tahun ini. Kekhawatiran terbesar ada pada kemampuan bayar utang pemerintah yang semakin rendah.
“Dengan naiknya utang, sayangnya rasio pajak terus menurun ini bisa kesulitan bayar,” kata Bhima kepada pers.
Imbasnya pemerintah harus terbitkan utang baru lagi kadang dengan bunga yang mahal. Kondisi ini menyebabkan overhang utang dimana beban utang yang makin besar hambat pertumbuhan ekonomi.
“Saat ini 19% belanja pemerintah pusat habis untuk bayar bunga utang. Jadi 19% itu harusnya jadi stimulus ke sektor riil tapi lari ke bayar bunga utang. Tentu ini bahaya debt overhang,” bebernya.
Dalam kesempatan yang sama, Ekonom Indef Nailul Huda mengatakan masalah utang memang perlu ditanggapi dengan serius. Utang kita semakin menumpuk bahkan rasio terhadap PDB mencapai 41,64%.
“Kondisi tersebut sangat mengkhawatirkan mengingat kondisi perekonomian belum pasti namun sudah terbebani dengan utang yang terus menumpuk,” katanya.
Telebih debt service ratio (DSR) juga meningkat yang menunjukkan penambahan utang tidak disertai dengan peningkatan kinerja komponen penambah devisa, seperti ekspor.
“Hal tersebut akan diperparah jika nilai tukar rupiah terhadap dolar melemah maka akan semakin mengkhawatirkan,” tuturnya