DAELPOS.com – Stunting masih menjadi ancaman serius bagi Indonesia saat ini. Berdasarkan data Riskesdas 2013, satu dari tiga anak Indonesia menderita stunting. Koperasi perikanan dinilai dapat berperan untuk mengatasi masih tingginya angka stunting di wilayah Indonesia.
“Untuk mengatasi persoalan stunting harus melibatkan semua pihak, mulai dari pemerintah, swasta, komunitas termasuk di dalamnya koperasi. Sinergi dan kolaborasi antara semua pihak akan mempercepat penurunan angka stunting secara nasional,” kata Yogie Arry, Direktur Utama PT Aruna Industri Bintan, dalam Simposium Pemanfaatan Protein Ikan dalam Rangka Pencegahan Stunting, (14/10/2019).
Stunting merupakan suatu kondisi di mana tinggi badan seseorang lebih pendek dari tinggi badan orang lain yang seusianya. Stunting disebabkan tiga hal, pola asuh, pola hidup dan pola makan. Pola makan ini adalah akibat malnutrisi atau kekurangan gizi sejak bayi dalam kandungan. Sumber gizi utamanya dapat diperoleh dari ikan sebagai salah satu sumber protein tinggi yang dibutuhkan tubuh untuk tumbuh dan berkembang secara sehat.
Yogie dalam simposium mengatakan dengan produksi ikan Indonesia yang melimpah seharusnya persoalan gizi masyarakat dapat teratasi. Karena itu, ia mengajak koperasi perikanan bekerja sama membangun industri pengolahan ikan untuk memproduksi tepung protein ikan (Hidrolisat Protein Ikan/HPI).
Ia menjelaskan HPI merupakan campuran peptida yang didapat melalui hidrolisis atau pemecahan protein ikan sehingga lebih mudah diasimilasi oleh makhluk hidup. HPI mengandung omega 3 tinggi, EPA dan DHA, lemak tak jenuh, nilai bilogis mencapai 90 persen dengan jaringan pengikat sedikit sehingga lebih mudah dicerna.
“Bahan baku ikan untuk memproduksi tepung protein ikan cukup dengan jenis ikan rucah yang harganya murah, sekitar 2000/kg. Ikan-ikan tangkapan jenis ini seringkali terbuang karena tidak termanfaatkan,” kata Yogie.
Yogie mengajukan konsep kemitraan dalam membangun industri tersebut. Untuk memproduksi 2 ton per bulan HPI, membutuhkan investasi sekitar Rp 2 miliar dengan kebutuhan bahan baku ikan sebanyak 10 ton. Dalam kemitraan, ia mengatakan, pihaknya akan menjadi penjamin pasar, dan sebagai penyedia teknologi.
“Industri pengolahan ikan berbasis koperasi ini akan memberi jaminan harga pada nelayan dan mendorong peningkatan kesejahteraan nelayan dan menyerap tenaga kerja,” kata Yogie.
Hal ini, sekaligus juga koperasi perikanan membantu pemerintah daerah untuk mengatasi persoalan kekurangan gizi masyarakat di daerahnya. Ia berpendapat daerah perlu membangun konsep otonomi protein di wilayahnya yang bekerja sama dnegan koperasi atau Bumdes mempercepat penanggulangan persoalan stunting di daerah.
Yogie menghitung dengan jumlah anak yang terkena stunting mencapai 9 juta orang, maka membutuhkan protein mencapai 6.750 ton bulan. Untuk memproduksinya membutuhkan 36.546 ton ikan per bulan. Ini menjadi potensi untuk menggerakkan industri perikanan.
Deputi Bidang Produksi dan Pemasaran Kementerian Koperasi dan UKM Victoria Br. Simanungkalit secara terpisah mengatakan mendukung model kemitraan antara koperasi perikanan dengan swasta untuk membangun hilirisasi industri berbasis koperasi. Industrialisasi berbasis koperasi perlu untuk meningkatkan nilai tambah dan kesejahteraan masyarakat khususnya anggota koperasi. Hal ini sejalan dengan program prioritas nasional sesuai dengan RKP 2019 membangun korporasi model koperasi melalui kemitraan.
Deputi Bidang Sumber Daya Alam dan Jasa Kemenko Kemaritiman, Agung Kuswandono mengatakan stunting dan masalah kekurangan gizi menjadi isu nasional yang mendesak dituntaskan. Masalah gizi dapat berdampak pada intelektual generasi masa depan bangsa. Karena itu, ia menegaskan stunting harus diselesaikan secara cepat. Penangangananya perlu holistik dan terintegrasi sehingga dalam lima tahun ke depan stunting tidak lagi menjadi masalah bagi Indonesia.
“Solusi mengatasi stunting adalah dengan pemanfaatan protein ikan yang dapat diperoleh dari ikan rucah. Nilai gizi dalam ikan rucah sama dengan ikan yang mahal,” kata Agung. (DAE)