Ratusan Anak Palestina Tidak Mendapatkan Haknya

Saturday, 23 November 2019

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Penjajahan membuat anak-anak Palestina kehilangan hak dasar mereka, termasuk hak memperoleh pendidikan dan hidup layak. / Foto Istimewa

Penjajahan membuat anak-anak Palestina kehilangan hak dasar mereka, termasuk hak memperoleh pendidikan dan hidup layak. / Foto Istimewa

DAELPOS.com – Sebanyak 745 anak Palestina disebut menjadi tahan Israel setidaknya dalam 10 bulan terakhir pada tahun ini. Data itu dijabarkan Palestinian Prioners Society (PPS), seperti yang dilaporkan Anadolu Agency  (AA) Kamis (21/11). Dalam laporan tersebut, Israel masih menahan 200 anak di sejumlah pusat penahanan.

Kebanyakan anak-anak dijemput paksa militer Israel pada malam hari. Penangkapan itu tidak jarang disertai dengan tindak kekerasan. Anak-anak yang ditahan tidak mendapat hak mereka dalam pendidikan. Sejumlah keluarga yang menjenguk anak mereka pun ditolak militer Israel. Anak-anak yang ditahan juga disebut tidak mendapatkan fasilitas kesehatan yang layak.

PPS berharap organisasi hak asasi internasional, termasuk Badan PBB untuk Anak (UNICEF), membuat upaya perlindungan terhadap anak-anak yang ditahan. Disebutkan AA, sekitar 5.700 warga Palestina mendekam di tahanan Israel, termasuk sejumlah besar perempuan dan anak-anak. Di antara tahanan tersebut, 1.700 tahanan membutuhkan perawatan medis.

Peringatan Hari Anak Sedunia 20 November lalu seolah jadi ironi. Ketika sebagian pejuang HAM meneriakkan hak untuk anak-anak, di negara-negara berkonflik, termasuk Israel-Palestina, anak-anak tidak mendapatkan hak-haknya.

Melansir ReliefwebDirekur Badan PBB untuk Pengungsi (UNRWA) Gaza Matthias Schmale Gwyn Lewis, di momen peringatan 30 tahun Konvensi Hak Anak, mengajak semua pihak merenungkan tentang makna Konvensi Hak-hak Anak (Convention on the Rights of the Child/CRC) bagi anak-anak Palestina yang hidup di bawah okupasi.

Ketika Konvensi Hak Anak disepakati pada 1989 lalu, anak-anak dijamin untuk mendapatkan hak perlindungan dan penghormatan. Tiga tahun lalu bertepatan dengan tahun ke-22 okupasi Israel terjadi di Palestina. Pada saat yang sama pula Konvensi Hak Anak memberikan harapan bagi pengungsi anak. Konvensi menjamin soal hak keamanan mereka di dalam rumah sendiri, hak mereka pergi ke sekolah, hak mereka mendapatkan pelayanan kesehatan dan bertemu dokter, hak mereka menikmati kesempatan bermain dan belajar, dan hak untuk tumbuh dengan baik.

See also  Pemprov DKI Gerak Cepat Jamin Mobilitas Pascainsiden Jatuhnya Alat Berat di Jalur MRT

“Meskipun ada banyak hal untuk dirayakan, kita juga harus merenungkan tantangan nyata saat ini dan bagaimana aspirasi Konvensi Hak Anak belum terpenuhi untuk anak-anak pengungsi Palestina,” ungkap Lewis.

Lewis menjabarkan lebih lanjut tentang sejumlah anak-anak Palestina. Salah satunya Amal (16) yang tinggal di Kamp Dheisheh, Bethlehem. Dia terus khawatir tentang kedatangan tentara Israel ke kamp: Kapan mereka akan tiba? Tengah malam? Tepat sebelum fajar? Apakah akan ada gas air mata, apakah akan ada penembakan? Anak-anak mana yang akan ditangkap, di mana mereka akan dibawa, siapa yang akan melindungi hak-hak mereka?

Lalu ada pula Mahmoud (10) yang didiagnosis penyakit serius dan memerlukan obat-obatan, pembedahan, dan perawatan khusus. Bisakah mereka menjaga obatnya tetap dingin di rumah? Apakah cukup bahan bakar? Para dokter yang dia butuhkan dan operasi yang dia tunggu ada di Yerusalem Timur. Kapan izinnya tiba sehingga ia dapat menerima perawatan medis di luar Gaza? Bisakah ayahnya bepergian dengannya? Berapa lama mereka akan diizinkan tinggal di luar Gaza? Apa yang akan terjadi jika ada lebih banyak roket yang ditembakkan dari Gaza?

Begitu juga Niwal (9) yang menonton ketika buldoser parkir di dekatnya, bertanya-tanya rumah siapa yang akan menjadi berikutnya. Bagi bocah asal Tepi Barat itu, penghancuran rumah yang begitu cepat juga menandakan hancurnya rasa aman.

Lalu Lewis menceritakan Ahmed (15), yang tinggal di Beit Hanoun, dekat pagar pemisah Jalur Gaza dari Israel. Ia sudah lama putus sekolah. Keluarganya bertanya, “Mengapa dia harus belajar. Untuk pekerjaan apa?” Sedangkan kebun membutuhkan pengelolaan yang intens. JIka tidak, maka tidak akan ada panen. Yang menjadi perhatian, berbahaya bekerja di dekat pagar. Para prajurit Israel selalu siap, dengan tembakan peringatan atau sesuatu yang lebih berbahaya. Sulit bagi Ahmed melihat masa depan menjadi lebih baik. []

Berita Terkait

Hasil Riset TEP 2025: Indonesia Tak Kekurangan Potensi, Teknologi Jadi Kunci Pertumbuhan Kawasan Transmigrasi
Wamen ESDM Pantau Langsung Distribusi Bantuan di Tapanuli Selatan
Dukung Pariwisata, JTT Pastikan Perjalanan Solo–Ngawi Kian Nyaman
Pemerintah Tetapkan Alokasi Biodiesel Tahun 2026 sebesar 15,65 juta kL
Gandeng Kopassus, Mendes Optimis 12 Aksi Bangun Desa Tersosialisasikan secara Optimal
Pascabencana, Kementerian PU Perkuat Jembatan Kembar Margayasa
Libur Nataru 2025/2026: Trafik Tol Trans Sumatera Melonjak 21,91%
Alpukat Jadi Harapan Baru Ekonomi Warga Tanjung Banon

Berita Terkait

Wednesday, 24 December 2025 - 13:30 WIB

Hasil Riset TEP 2025: Indonesia Tak Kekurangan Potensi, Teknologi Jadi Kunci Pertumbuhan Kawasan Transmigrasi

Wednesday, 24 December 2025 - 10:28 WIB

Wamen ESDM Pantau Langsung Distribusi Bantuan di Tapanuli Selatan

Wednesday, 24 December 2025 - 09:08 WIB

Dukung Pariwisata, JTT Pastikan Perjalanan Solo–Ngawi Kian Nyaman

Tuesday, 23 December 2025 - 21:35 WIB

Pemerintah Tetapkan Alokasi Biodiesel Tahun 2026 sebesar 15,65 juta kL

Tuesday, 23 December 2025 - 13:02 WIB

Gandeng Kopassus, Mendes Optimis 12 Aksi Bangun Desa Tersosialisasikan secara Optimal

Berita Terbaru

Berita Terbaru

Atasi Krisis Air, Kementerian PU Bangun 48 Sumur Bor di Aceh Tamiang

Thursday, 25 Dec 2025 - 08:13 WIB