Oleh Muhtar S. Syihabuddin
SALAH satu karya tafsir fenomenal yang merupakan karya ulama Indonesia adalah Tafsir Al-Misbah. Tafsir yang terdiri dari 15 volume ini ditulis pada tahun 2000 sampai 2004.
Meneruskan dan merevisi proyek penulisan tafsir sebelumnya yang dianggap terlalu datar, dan dalam beberapa penjelasannya masih mengandung hadis-hadis dhaif.
Pengambilan nama Al-Misbah pada kitab tafsir yang ditulis Quraish Shihab tentu saja bukan tanpa alasan. Quraish Shihab mengatakan bahwa Al-Misbah berarti lampu, pelita, lentera atau benda lain yang serupa fungsinya, yakni memberi penerangan bagi orang-orang yang berada dalam kegelapan.
Dengan nama Al-Misbah Quraish Shihab berharap tafsir yang ditulisnya dapat memberikan penerangan dalam mencari petunjuk dan pedoman hidup terutama bagi mereka yang tengah mengalami kesulitan dalam memahami makna al-Qur’an secara langsung karena kendala bahasa.
Setidaknya, alasan pemilihan nama Al-Misbah ini mencakup dua hal yakni pertama, pemilihan nama ini didasarkan pada fungsinya.
Al-Misbah yang berarti lampu yang fungsinya menerangi kegelapan. Dengan memilih nama ini Quraish Shihab berharap agar karyanya tersebut dapat dijadikan sebagai pegangan bagi mereka yang berada dalam suasana kegelapan dalam mencari petunjuk yang dapat dijadikan pegangan hidup.
Al-Qur’an itu adalah petunjuk, tapi karena al-Qur’an disampaikan dengan bahasa Arab, sehingga banyak orang yang kesulitan memahaminya. Disinilah manfaat tafsir al-Misbah yang diharapkan dapat membantu orang-orang yang kesulitan untuk memahami makna kandungan al-Qur’an.
Kedua, pemilihan nama tersebut didasarkan pada awal kegiatan Quraish Shihab sebagai kolumnis tetap di harian Pelita dengan nama rubrik “Pelita Hati” di tahun 1980.
Selanjutnya, melihat produktivitas Quraish Shihab, momentum dan adanya kebutuhan masyarakat, penerbit Mizan berinisiatif untuk menerbitkan kumpulan tulisan dalam rubrik tersebut menjadi sebuah buku dengan judul “Lentera Hati.”
Kosakata lentera, pelita dan penerang menjadi semakin akrab di telinga Quraish Shihab, sehingga tatkala ia menulis tafsir dipilihlah kata pelita, lampu dan penerang tersebut dalam versi bahasa arabnya yakni “al-Misbah.”
Sebetulnya Quraish Shihab sendiri pernah menulis tafsir serupa yang berjudul “tafsir qur’an al-Karim” pada tahun 1997.
Namun karena dianggap kurang menarik minat orang banyak, dan dianggap bertele-tele dalam penguraiannya dan kaidah penyajiannya. Muhammad Quraish Shihab pun urung melanjutkan upaya penulisan tersebut. Banyak kaum muslim kala itu berpendapat bahwa tafsir karya Quraish Shihab tersebut banyak merujuk hadis-hadis dhaif.
Dari situlah Quraish Shihab mulai berpikir untuk menuliskan tafsir al-Qur’an yang menyajikan penjelasan-penjelasan yang lebih mencerahkan, menentramkan dan memberikan kesan yang benar dengan meluruskan berbagai kekeliruan dengan merujuk sumber-sumber hadis yang shahih.
Quraish Shihab juga banyak menulis buku-buku dengan latar dan model penyajian tafsir al-Qur’an, terutama tafsir tematis. Misalnya saja buku “Membumikan al-Qur’an, Lentera hati dan Wawasan al-Qur’an. Ketiganya merupakan buku yang mengupas berbagai permasalahan dari sudut al-Qur’an. Yang diterbitkan oleh Penerbit Mizan. Setelah itu barulah Quraish Shihab menulis tafsir al-Misbah.
Quraish Shihab pun akhirnya mengerti bahwa menulis tafsir tak dapat hanya berpegang pada satu tujuan saja, sebagai penyaluran hasrat intelektual saja misalnya. Tapi juga harus paham siapa audience-nya. Siapa pembaca yang hendak disasar karya tafsir terbut. Dan karena tipe masyarakat Indonesia yang begitu antusias terhadap al-Qur’an baik dari sisi cara membaca, melagukan atau bagaimana memahami maknanya, maka tafsir yang hendak dibuat pun sejatinya dapat bersandar pada hal-hal tersebut.
Antusiasme masyarakat Indonesia pada permasalahan agama begitu tinggi, namun kebanyakan mereka memiliki persoalan yang hampir sama yakni kendala bahasa.
Masyarakat Indonesia tahu bahwa ayat-ayat al-Qur’an merupakan wahyu Tuhan dan petunjuk (hudan) bagi manusia. Namun karena adanya kendala tersebut tak jarang ayat-ayat al-Qur’an pun disalahgunakan. Sebagai penolak bala ataupun azzimat pencari rezeki.
Guru besar tafsir Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta Professor Dr. Hamdani Anwar mengatakan sumber penafsiran yang dipergunakan Al-Misbah ada dua. Pertama bersumber dari ijtihad penulisnya. Kedua berasal dari pendapat dan fatwa ulama baik yang terdahulu maupun mereka yang masih hidup dewasa ini.”
Tafsir ini disusun dengan memperhatikan tema-tema pokok surat dalam al-Qur’an. Surat al-baqarah misalnya, Quraish Shihab menjelaskan bahwa surat al-Baqarah adalah sebuah surat yang berkisah seputar al-baqarah. Yakni kisah bani Israil dengan seekor sapi. Kisah ini membuktikan adanya kekuasaan Allah. Surat al-baqarah memberi penekanan akan bukti kebenaran al-Qur’an yang dibawa Nabi Muhammad. Atau tentang surat al-fatihah, dimana Quraish Shihab mengatakan bahwa surat al-fatihah adalah “Mahkota Tuntunan Ilahi”. Dia adalah Ummul Qur’an” atau Induk al-Qur’an”.
Berdasarkan kandungannya, surah al-Fatihah secara garis besar menyinggung persoalan seperti tauhid, yang terkandung dalam ayat pertama dan kedua. Kanduangan kedua adalah keniscayaan hari kemudian, yang dikandung ayat yang keempat.
Kandungan selanjutnya menekankan tentang ibadah yang semestinya hanya ditujukan kepada Allah. Lalu pengakuan tentang kelemahan manusia dan yang terakhir keanekaragaman manusia dalam menghadapi tuntutan ilahi, dimana sepanjang sejarah manusia ada yang menerima, menolak dan bahkan sesat.
Menurut Quraish Shihab, tafsir al-Qur’an yang menggunakan metode tafsir maudu’i (tematik) berusaha menghimpun sejumlah ayat al-Qur’an yang tersebar dalam berbagai surah yang membahas tentang berbagai masalah kehidupan dapat dijadikan sebagai bukti bahwa al-Qur’an sejalan dengan perkembangan iptek dan kemajuan peradaban masyarkat.
Melaui model penafsiran seperti ini,
Quraish Shihab juga menekankan perlunya memahami wahyu ilahi secara kontekstual dan tidak semata-mata terpaku pada makna tekstual. Hal ini supaya pesan-pesan yang terkandung di dalamnya dapat difungsikan dalam kehidupan nyata.
Dalam berbagai kesempatan, terutama kepada para mahasiswanya di sekolah pasca sarjana UIN Syahid Jakarta Quraish Shihab senantiasa mengajak untuk berani menafsirkan al-Qur’an, karena dari masa ke masa selalu saja muncul permasalahan baru pun juga penafsiran yang baru.
Meski begitu, Quraish Shihab memberikan satu catatan bahwa penafsiran tersebut juga harus berpegang pada kaidah-kaidah tafsir yang dipandang baku.
Menurut Quraish Shihab, meskipun tafsir al-Misbah lahir dari semangat perubahan zaman. Namun aspek kehati-hatian, ketelitian dan kejujuran merupakan semangat utama yang berperan dalam proses lahirnya tafsir al-Misbah. Semangat ini pula lah yang kemudian membuat penulisnya (M. Quraish Shihab) lebih dikenal dan unggul dari sekian banyak pakar al-Qur’an di Indonesia.
Penulis adalah Senior Editor RMBooks Jakarta dan Pengasuh Pesantren Assalam Plered Purwakarta