DAELPOS.com – Kementerian Dalam Negeri dalam hal ini Dirjen Otonomi Daerah Akmal Malik dan Plt. Dirjen Politik dan Pemerintahan Umum Bahtiar, bersama KPU dan Bawaslu melakukan Rapat Dengar Pendapat membahas pemutakhiran data pemilih. Rapat dilakukan di ruang rapat Komisi II DPR, Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (02/12/2019) dan dipimpin Wakil Ketua Komisi II Arief Wibowo.
Plt. Dirjen Politik dan Pemerintahan Umum Bahtiar mengatakan, Peraturan KPU dan Peraturan Bawaslu yang terkait dengan data pemilih diberikan catatan khusus agar tak multi tafsir.
“Pada prinsipnya bahwa kami terima baik dari KPU maupun Bawaslu, rancangan PKPU pemutakhiran data pemilih dan penyusunan data pemilih pada Pasal 11, Petugas Panitia Pemutakhiran Data pemilih (PPDP) melakukan kegiatan pencocokan dan penelitian (coklit) dengan cara mencoret data pemilih yang telah dipastikan tidak ada keberadaannya setelah melakukan konfirmasi kepada keluarga, tetangga atau pengurus rukun tetangga/rukun warga. Pandangan kami bahwa harus dipastikan apa yang dimaksud dengan “frasa tidak ada keberadaannya”, hal tersebut dapat menimbulkan multi tafsir pada saat coklit di lapangan karena ketidakjelasan makna tersebut,” kata Bahtiar.
Bahtiar juga memberikan catatan khusus terkait Pasal 18 ayat 6A. Menurutnya, perlu adanya pertimbangan norma rapat pleno TPS dan memperinci tata cara rapat pleno TPS.
“Kemudian di Pasal 18 ayat 6A, rekapitulasi sebagaimana dimaksud pada ayat 6 dilakukan dalam rapat pleno terbuka dan dituangkan dalam berita acara yang ditandatangani oleh ketua dan anggota TPS. Pandangan kami, dalam UU Nomor 1 Tahun 2015 hanya mengenal rapat pleno KPU, KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota, sedangkan rapat pleno untuk TPS tidak disebutkan secara eksplisit. Pencantuman norma rapat pleno TPS perlu dipertimbangkan karena khawatir akan menimbulkan masalah dalam implementasinya, terkait keabsahan dan bagaimana tata cara rapat pleno TPS juga tidak dirinci,” jelasnya.
Sementara terkait peraturan Bawaslu yang menyangkut sengketa pemilihan, Kemendagri menginginkan disesuaikan dengan Pasal 142 UU Nomor 8 Tahun 2015 sehingga tidak multitafsir.
“Terhadap rancangan peraturan Bawaslu, pandangan Pemerintah disesuaikan dengan Pasal 142 UU Nomor 8 Tahun 2015 sehingga tidak multitafsir,” terang Bahtiar.
Tak hanya itu, Rancangan Peraturan Bawaslu tentang pengawasan tahapan pencalonan diminta untuk dilakukan sinkronisasi dengan Rancangan Peraturan KPU.
“Rancangan Peraturan Bawaslu tentang Pengawasan Tahapan Pencalonan Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota, kami respon Pasal 13 dalam melakukan pengawasan verifikasi, kami harus sampaikan bahwa Rancangan Peraturan Bawaslu harus disinkronisasi dengan Rancangan Peraturan KPU terkait pencalonan yang sedang diajukan perubahan juga, sehingga dengan demikian fungsi pengawasan terhadap pencalonan dapat disesuaikan dengan tahapan dan persyaratan pencalonan,” ujarnya.
Sementara itu Dirjen Otonomi Daerah Akmal Malik memberikan catatan terkait pemutakhiran data yang belum mengakomodir seluruh kondisi di lapangan.
“Secara umum kami sangat menghormati catatan-catatan yang dilakukan oleh KPU terkait dengan rencana pemutakhiran data dan penyusunan daftar pemilih, tapi secara umum kami ingin menyampaikan bahwasanya asumsi yang dipakai KPU dalam memperbaiki tetap sama, pendekatannya sama simetris, belum memberikan jawaban terkait kondisi di lapangan yang bersifat berbeda dengan asimetris, contohnya di Papua,” kata Akmal.
Akmal juga mendukung penambahan pasal dalam peraturan Bawaslu yang dinilainya akan memperkuat sistem kerja Bawaslu.
“Terkait dengan rancangan Bawaslu, kami sampaikan juga catatan kami bahwasanya di antara ayat 1 dan 2 Pasal 2 disisipkan dua ayat, 2a dan 2b, prinsipnya kami mengatakan penambahan 2 ayat ini akan memperkuat sistem kerja Bawaslu dan sistem pelaporan setiap kejadian atau pelanggaran sehingga memiliki formulir secara resmi, artinya kita mendukung,” ujar Akmal.