Oleh : Muhtar S. Syihabuddin
Peneliti Senior RMPolitika
DAELPOS.com – Menjadi seorang polisi zaman now penuh liku, pasca reformasi polisi digeser ke fungsi sipil. Polisi menjadi institusi yang harus menjalankan tugas sebagai pengawal bahkan mendorong proses-proses demokratisasi. Sebuah tugas sejarah yang tidak mudah, karena kontestasi kepentingan di ruang publik sangat dinamis.
Dalam posisi tersebut menuntut anggota Polri untuk bisa jernih melihat persoalan di ruang publik. Salah membaca arah mata angin bisa berimplikasi kontra produktif dengan proses demokratisasi yang dicanangkan pasca rontoknya rezim orde baru.
Tito Karnavian adalah sosok yang sangat peduli atas tantangan anggota Polri tersebut. Sebelum menulis buku ini, Tito telah menulis buku pada tahun 2016 berjudul “Polri Dalam Arsitektur Negara” yang berisi tentang sejarah dan filosofi yang menjadi praksis landasan struktural dan fungsional Polri.
Selepas buku itu terbit, Tito merasakan getar perubahan begitu kuat. Terdapat tantangan tugas-tugas yang semakin luas dan kompleks yang pada gilirannya membutuhkan pemikiran baru yang lebih mendalam mengenai pemolisian yang dalam bahasa inggrisnya adalah policing.
Karenan dengan menggandeng Hermawan Sulistyo, Tito menulis buku yang ada di hadapan pembaca ini. Dalam struktur tim penulisan terdapat deretan perwira Polri yang dilibatkan. Bahkan dalam pembuka buki ini ditegaskan untuk steakholders kepolisian buku ini bisa menjadi pencerah mengenai peran dan praksis policing dalam proses demokratisasi yang telah, sedang dan masih akan berlangsung di Indonesia (h-xii).
Dalam bahasa lain, buku ini bisa menyumbang pada pembentukan paradigma atau discourse baru pemolisian, yang sangat dibutuhkan dalam menghadapi tantangan zaman pada masa sekarang dan mendatang. Kajian tentang peran aktual anggota Polri menjadi sangat penting di tengah laju kebutuhan yang terus berubah, yang jika tidak diantisipasi bakal membuat anggota Polri tidak bisa berperan optimal.
Tito menegaskan juga dalam pendahuluan buku ini, dinamika situasi dunia sejak paruh kedua abad ke-20 menyajikan wajah yang sangat kompleks, dengan berbagai perubahan multi-faceted yang sangat cepat. Dalam dua dekade terakhir saja, perubahan berlangsung lebih cepat dibandingkan perubahan yang terjadi dalam masa satu abad sebelumnya (h-1).
Argumentasi Tito menjadi sangat relevan mengingat percepatan perubahan sangat terasa, karena berngsung eksponensial, dalam deret ukur yang fluktuatif; tidak lagi dalam format deret hitung yang linier. Semisal, apa-apa yang dahulu hanya dianggap science fiction kini telah menjadi kenyataan apalagi pada masa mendatang.
Tito lantas membidik dua domain untuk membuat formulasi sebagai akar pengabdian anggota Polri, yakni ekonomi-politik dan tekhnologi. Dua domain tersebut bakal menjadi konsentrasi anggota Polri di masa mendatang, karena pada akhirnya harus siap memasuki perubahan politik global yang faktanya berdampak pada perekonomian dunia sekaligus menyeret politik berkelindan dengan perekonomian nasional. Ini juga berdampak pada keberadaan kawasan yang mengalami ekspansi dan kontraksi.
Perubahan tersebut juga dipicu oleh perkembangan tekhnologi transportasi sampai komunikasi. Secara tekhnis, dunia seolah-olah tampak mengalami kematian idiologi sebagai yang dikatakan oleh Fukuyama dalam tesisnya “the end of idiology”. Tapi menurutnya, pertarungan demokrasi masih berlangsung dengan idiologi lainnya; dari komunisme sampai islamisme. Bahkan, bagi Tito, perubahan itu juga berdampak negatif serta potensi konflik dan disintegrasi (h-14).
Dalam kondisi sedemikian, policing dalam banyak sektor kehidupan sipil menjadi sebuah keniscayaan, yang saat sama publik masih menempatkannya sebagai institusi negara yang semata-mata diberi kewenangan untuk menggunakan kekerasan secara sah. Tidak mengherankan di ruang publik banyak pertanyaan publik mengenai peran-peran yang seakan-akan tampak baru (h-18).
Satu sisi ada kecendrungan lain bahwa polisi sedang bermain politik ketika masuk ke wilayah politik, padahal anggota Polri sedang berperan meredam ancaman keamanan dan konflik bernuansa kekerasan yang notabene lahir dari konstalasi politik. Tito menegaskan, posisi ini diambil semata-mata menjaga kepentingan nasional dan negara, yakni NKRI.
Membaca buku ini membuat Anda paham akar intelektual Tito dalam menata polisi zaman now. Di tengah meluasnya spektrum tantangan, Tito menyadari perlunya perluasan peran-peran polisi dan policing-nya. Democratic Policing adalah policing yang semata-mata pada penegakan hukum (Gakkum) dengan kerangka filosofi hingga strategi di lapangan di dalam masalah-masalah keamanan karena terorisme. Bahkam ketika zan Pilkada DKI 2017 yang haru biru itu, anggota Polri mempraktikkan Democratic Policing yang sangat produktif bagi keutuhan NKRI.
Buku ini menjadi akar intelektual Tito dalam menjadikan polisi lebih baik di masa mendatang. Struktur pembahasannya sangat sistematis dari bicara sejarah, polisi dalam alam demokrasi, penegakan hukum, akuntabilitas dan transparansi sampai arah kebijakan di masa mendatang. Sebuah buku yang telah memandu Tito dalam menjalankan tugas sebgai Kapolri, hingga dipercaya Jokowi menjadi Menteri Dalam Negeri.