DAELPOS.com – Pembrantasan korupsi masih berliku dan terjal. Bukan soal hingar bingar operasi tangkap tangan tapi seberapa besar bisa mengerem laju pertumbuhan bocoran uang negara.
Pertumbuhan uang yang terlepas dari niatan membangun bangsa sangat terasa. Jumlah uang yang sedianya bisa dicegah seolah dibiarkan, tapi mengandalkan citra tangkap tangan dan banyaknya terpidana korupsi.
Kita semua berharap ada rasa keadilan yang bukan diukur dari pendekatan formil hukum. Tapi secara materil, nyata-nyata korupsi tidak bisa diberantas.
Jika tidak bisa diberantas maka langkah pentingnya adalah mencegah terjadinya korupsi di tanah air. Baik menimbang segi kelayakan upah penyelenggara negara maupun upaya serius sedini mungkin sebelum perbuatan korupsi terjadi.
Harapan paling utama dari KPK zaman now adalah orientasi pencegahan, yang tadinya tertimbun dengan prestasi menangkap sekaligus memenjarakan pelaku korupsi. Indah terlihat di ruang publik hukuman ditimpakan pada mereka, tapi belum tentu berefektif dalam menyelamatkan uang negara.
Sejatinya pencegahan dapat dilakukan sedini mungkin, agar pemberantasan korupsi terkikis sampai ke akarnya. Kikisan yang selama ini hadir sepintas lalu mencabut akar, tapi sebenarnya hanya sampai bonggol saja.
Logika mencabut akar korupsi selama ini memang ditopang oleh seberapa banyak menangkap tangan dan memenjarakan, tidak bisa masuk ke wilayah pencegahan. Publik memang terkesima dengan itu, tapi belum bisa menjadikan korupsi berhenti.
Bahkan ada yang sudah menjadi terpidana korupsi bisa menggerakkan mesin korupsi di tanah air. Karena penjara kita sudah banyak dibuktikan tidak bisa membuat terpidana korupsi berhenti beroperasi.
Fakta fasilitas mewah bagi koruptor telah menguatkan betapa penjara tidak membuat semua aksi korupsi berhenti. Jasadnya memang di penjara, tapi semangat dan komando korupsi bisa terus berjalan.
Penjara hanya menjadi syarat memenuhi ketentuan hukum putusan persidangan. Selesai secara formil, tapi belum mampu menyentuh aspek materil dari prilaku korupsi.
Kami meyakini poblem ini akhirnya menjadikan orientasi KPK lebih banyak diarahkan pada pencegahan terjadinya korupsi. Tanpa meniadakan upaya penindakan yang selama ini terasa meriah di ruang publik.
Orientasi pencegahan bukan baru dalam platform penegakan hukum. Jauh-jauh hari teoritikus hukum menempatkan hukuman adalah jalan terakhir dari penegakan hukum.
Hukuman adalah hidangan cepat saji dalam penegakan hukum. Bahannya dengan mudah didapatkan di pasaran, mengingat pasal tersaji melimpah ruah.
Belum lagi aparatur hukum yang tertata rapih dalam tata kelola negara. Mereka sudah siap seratus persen untuk menindak sekaligus menghukum setiap warga yang melanggar norma hukum.
Ini akan sangat berbeda dengan penegakan hukum yang menekankan kesadaran hukum dalam masyarakat. Lebih banyak melibatkan upaya spekulatif dan tidak banyak tergantung pada pasal yang tersedia melimpah ruah.
Kesadaran hukum adalah makanan yang tidak banyak menarik minat dalam upaya penegakan hukumnya. Pasalnya punya risiko coba dan salah yang sekaligus ditengarai tidak cepat menghadirkan rasa keadilan hukum di ruang publik.
Rasa keadilan paling telanjang adalah ketika pelaku pidana korupsi dihukum di jeruji besi. Jika mungkin dilpermalukan semeriah mungkin agar jera dan menjadi contoh buat publik.
Tapi hal itu nyatanya tidak bisa membentuk kesadaran hukum dalam pemberantasan korupsi. Hukuman hampir menjadi barang murahan; tidak membuat jera bahkan jadi ledekan para terpidana.
Jika menghitung kerugian yang mereka terima tidak terlampau besar jika mereka mendapatkan hukuman. Selama menjalani hukuman masih bisa memberi komando dan jika satu saat bebas rampasan korupsi masih melimpah ruah.
Para mantan terpidana korupsi juga pada praktiknya masih ada yang bisa meraih kekuasaan yang satu saat bisa mereka manfaatkan untuk menambah kembali pundi rupiah yang masih tersisa banyak.
Kenyataan ini boleh jadi menyakitkan; tidak ada problem hukum karena terpidana sudah menjalani hukuman. Dan korupsi akan terus terjadi.[]