DAELPOS.com – Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Kamis, 23 Januari 2020. KLHK bersama-sama dengan Komisi IV DPR RI pada Kamis (23/1/2020), melakukan inspeksi mendadak atau sidak terhadap kontainer yang diduga berisi limbah plastik yang tidak diizinkan untuk masuk ke Indonesia. Dua direktur jenderal (Dirjen) di KLHK turun langsung mendampingi pimpinan dan anggota dewan Komisi IV DPR RI. Dua Dirjen tersebut adalah Dirjen Pengelolaan Sampah dan Limbah B3 (PSLB3), Rosa Vivien Ratnawati bersama Dirjen Penegakkan Hukum LHK (Gakkum), Rasio Ridho Sani.
Sesampainya di daerah Marunda, Ketua Komisi IV DPR RI, Sudin bersama wakil ketua Dedi Mulyadi dan G. Budisatrio Djiwandono, langsung membuka dua kontainer yang memang berisi limbah plastik. Isi di dalam kontainer tersebut memperlihatkan bahwa yang seharusnya adalah bahan baku untuk kertas dan bahan baku plastik tapi ternyata berisi dan bercampur dengan sampah. Pihak importir, yaitu PT. NHI mengatakan bahwa limbah plastik tersebut akan digunakan untuk bahan baku produksi bijih plastik.
Dirjen PSLB3, Vivien bersama stafnya saat itu juga langsung melakukan pemeriksaan isi kontainer. Tidak memerlukan waktu yang lama, Vivien menemukan isi kontainer tidak sesuai dengan peraturan yang ada. Vivien menemukan beberapa botol kemasan bekas bahan kimia dan juga kaleng minuman. Vivien juga menyimpulkan bahwa mayoritas isi kontainer menunjukkan bahwa limbah tersebut diduga berasal dari tempat pembuangan akhir sampah.
“Sesuai peraturan, yang boleh masuk adalah untuk bahan baku dan harus sudah bersih, tidak dari tempat pembuangan akhir sampah”, tegas Vivien di hadapan perwakilan perusahaan pengimpor dan Komisi IV DPR RI.
Keterangan Vivien kepada media menyebutkan bahwa terdapat kurang lebih 1078 kontainer. Jumlah tersebut rupanya berasal dari dua perusahan berbeda yaitu PT. NHI dan PT. ART. Semua kontainer tersebut saat ini sedang dalam proses untuk bisa dikembalikan atau reekspor ke negara asalnya.
“Sebetulnya larangan itu sudah ada di dalam undang-undang bahwa sampah limbah B3 dilarang masuk ke wilayah NKRI dan kalau masuk adalah pidana”, jelas Vivien.
Vivien menjelaskan lebih lanjut, bahwa tindakan yang akan dilakukan pemerintah sekarang adalah, adalah meminta pada importir atau untuk mereekspor ke negara asalnya. “Sekarang kami sedang dalam proses bersama dengan Bea Cukai, Kementerian Perdagangan untuk melakukan reekspor kontainer-kontainer tersebut”, ucap Vivien.
Vivien mewakili KLHK dan Pemerintah, menyampaikan terima kasih kepada Komisi IV DPR RI, karena dengan inspeksinya tersebut itu membantu mendorong agar kontainer-kontainer yang berisikan sampah dan limbah B3 dapat direekspor ke negara asal.
Dengan peristiwa ini juga, pemerintah akan meningkatkan upaya dalam pengelolaan sampah termasuk dalam hal pemilahan sampah dengan baik. “Kenapa kita mesti impor bahan baku dari luar, karena pemilahannya belum terlalu optimal di Indonesia, sehingga nanti kalau pemilahan sampahnya di Indonesia bersih, perusahaan daur ulang akan mendapatkan bahan baku yang lebih baik”, terang Vivien
Komisi IV DPR RI rencananya akan memanggil semua pihak terkait kejadian ini, dan KLHK menyambut baik, karena dapat mendorong bahan baku yang masuk ke Indonesia adalah yang baik dan bersih. Selain itu juga mendorong pengelolaan sampah di Indonesia yang mana masyarakat dapat melakukan pemilahan sampah mulai dari rumah, dan dapat menjadi sumber atau bahan baku untuk industri daur ulang di Indonesia.
Pada Oktober tahun lalu, Direktorat Jenderal Gakkum KLHK juga telah menetapkan 2 orang Warga Negara Asing (WNA) asal Singapura menjadi tersangka dalam kasus impor limbah. Penyidik KLHK menetapkan LSW dan KWL (Direktur PT. ART) sebagai tersangka kasus memasukkan 87 kontainer limbah berupa skrap plastik yang terkontaminasi limbah B3 ke wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Kedua WNA Singapura ini dikenakan Pasal 105 dan/atau Pasal 106 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup yang menetapkan bahwa setiap orang yang memasukkan limbah ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dipidana penjara paling lama 12 tahun dan denda paling banyak Rp. 12 Miliar, sedangkan setiap orang yang memasukkan limbah B3 ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dipidana penjara paling lama 15 tahun dan denda paling banyak Rp. 15 Miliar.(*)