Penulis: Geisz Chalifah (Aktivis Sosial)
DAELPOS.com – Berteman dan berpisah adalah hal biasa, tapi berteman lalu bermusuhan akibat politik itu memiliki efek tersendiri.
Saya pribadi mengalaminya. Mual dan muak membaca posting dari orang yang mengenal secara dekat Anies Baswedan tapi dengan sadis tanpa beban selalu rajin menyebarkan fitnah. Mereka-mereka itu saya kenal dam umumnya mereka berada dalam satu barisan yang saya namakan LIBERAL UDIK. Ya mereka memang liberal udik yang tak faham sosiologis anak Jakarta lalu mengajarkan anak Jakarta tentang toleransi dan pluralisme.
Mereka sama sekali tak faham anak yang lahir dan bersekolah di Jakarta sangat amat terbiasa dengan perbedaan keyakinan. Sangat amat terbiasa bergaul dan bertetangga dengan beragam suku maupun agama. Tidak pernah bermasalah bahkan sejak sebelum Indonesia Merdeka.
Namun para liberal udik yang mandi masih diempang, dikampung terbiasa homogen dan mungkin sedang ngangon kebo ketika anak Jakarta sedang er er ran dijalan Sudirman bersama teman2nya yang Islam maupun kritiani, Budha dsbnya.
Tak pernah ada di Jakarta ketika bergaul lalu ditanyakan apa agamamu lalu dijauhkan karena berbeda keyakinan. Dari kampung Bali sampai Kampung Melayu anda tak akan menemukan yg seperti itu di Jakarta.
Mereka para Liberal Udik luar biasa sadisnya, luar biasa kekejamannya dalam menghujat orang lain yang tak sepemikiran.
Anti NKRI anti Pancasila dsbnya. Lalu dengan dukungan aparat berusaha menjebloskan lawan-lawan politiknya kepenjara. Ngaku liberal tapi rajin dan suka memenjarakan orang yang berbeda pikiran. Ironis dan udik seaslinya. Seolah hanya mereka pemilik negeri yang entah apa pula karyanya untuk negeri.
Bila terhadap orang yang berbeda orientasi politiknya mereka luar biasa kejamnya. Bagaimana pula dengan Anies Baswedan yang mengalahkan idola mereka dua digit?
Hampir tiada hari tanpa hujatan, tiada hari tanpa fitnah, tiada hari tanpa bullyan. Kalimat – kalimat berisi kedengkian seolah menjadi wirid harian mereka para pendengki.
Ejekan bermuatan rasis sudah bukan lagi sesuatu yang selayaknya mereka benci, bagi kaum yang katanya pro liberalisme yang terjadi malah sebaliknya.
Mereka menjadi garda terdepan dalam menggelorakan julukan bernada rasis pada Anies Gubernur yang terpilih dengan suara telak.
Apakah Anies bereaksi? Apakah Anies melawan dengan berbalik menghujat?
Anies bahkan tak pernah menyebut nama mereka satupun dan sekalipun. Dia fokus kerja dan semua kedengkian itu yang jauh dari subtansi kritik tak sekalipun dijawabnya dengan kata-kata melainkan dengan bukti dengan data – data yang dia kerjakan.
Tibalah pada satu soal yang menjadi kiamat kecil sebuah kekuarga bila terjadi kematian.
Beberapa dari pendengkinya mengalami sakit yang tak mudah disembuhkan sampai ajalnya menjemput.
Tak ada satupun dari orang-orang yang selama beberapa tahun belakangan ini yang selalu menghujatnya, tak ada yang ditolak bila Anies diminta pertolongan.
Anies selalu dengan sigap dan cepat memberi bantuan, tanpa bersuara tanpa megaphone, berteriak – teriak memberi tahu khalayak.
Anies secara senyap tetap perduli dengan mendahulukan kemanusiaan kepada siapapun mereka. (*)