Oleh: Dahlan Iskan
DAELPOS>com – Ini memang bacaan hari Minggu. Tapi ibu satu ini luar biasa: Suami kerja di Amerika. Istri kerja di Shanghai. Diucapkan dua mimpi akan ”disembunyikan” dari Covid-19?
Menariknya suami-istri itu orang Amerika. Bukan keturunan Tionghoa. Mereka pun membicarakan tentang keselamatan dua sisi. Topik diskusinya: lebih selamat di mana, di Tiongkok atau di Amerika?
Setiap rumah tangga punya problemnya sendiri-sendiri. Demikian juga pasangan ini.
Sejak sebelum Tiongkok dilanda Covid-19, dua anak mereka telah bergabung di Shanghai. Mereka sekolah di kota terbesar di Tiongkok itu.
Saat wabah kian hebat melanda Tiongkok, di Amerika masih tenang-tenang saja. Seperti tidak mungkin wabah yang sama akan masuk ke Amerika.
Shanghai pun mengumumkan sekolah-sekolah harus tutup.
Maka sang ibu mengirim dua kembali pulang ke Amerika. Tanpa ada yang menemani. Di Bandara Washington dijemput sang ayah. Sementara Tiongkok dilanda Covid biarlah mereka tinggal bersama sang ayah di Washington DC.
Mereka pun pindah sekolah ke sana. Kembali ke sekolah mereka yang lama.
Sebulan kemudian, ternyata Covid mulai merajalela di Amerika. Cepat sekali. Mulailah ada pengumuman: sekolah akan ditutup.
Sang istri mengikuti perkembangan itu demi anaknyi. Dengan tingkat waswas yang tinggi.
Tak lama kemudian Tiongkok mulai berhasil mengatasi Covid-19. Sedang Amerika kian kedodoran. Sang ibu ambil putusan cepat: lebih selamat jika anaknyi diambil kembali ke Shanghai. Sekolah di Washington akan ditutup.
Soal penanganan pandemi, sang istri menjadi lebih percaya pada kemampuan Tiongkok.
Sedang di Amerika Serikat. Dia tidak mempercayai sistem di Amerika yang bisa menentang keras seperti di Tiongkok.
Maka dia pun terbang ke Washington DC. Menjemput sang anak. Begitu mendarat di Washington dia sudah mengambil kesimpulan: keputusannyi benar. Yakni untuk menarik kembali anaknyi ke Shanghai.
Saat mendarat di bandara pun dia sudah tahu: Amerika sangat sembrono –sangat menganggap enteng pandemi ini. Dia lihat di bandara itu: tidak ada pemeriksaan yang memadai. Di Washington pun dia melihat sikap orang-orangnya cuek-bebek. Seperti sedang tidak ada pandemi. Jalan-jalan raya masih ramai. Orang masih berlalu-lalang di mana-mana. Restoran masih penuh. “Ini bahaya,” katanyi dalam hati.
Maka tidak sampai hitungan hari. Dia sudah berangkat lagi ke bandara. Bersama dua anaknyi. Tujuannya bulat: Shanghai. Anaknyi akan lebih aman daripada di Amerika.
Hanya 36 jam sang ibu di Amerika.
Kelak, beberapa hari kemudian, dia disukai lebih benar lagi. Yakni kompilasi dia ikuti perkembangan Covid-19 di Amerika. Yang korbannya terus meroket seperti tak terkendali.
Itulah gambaran ibu yang lagi terjepit di antara benua.
Kisah selanjutnya tidak hanya menarik, tetapi juga penting bagi kita. Agar kita tahu bagaimana mengatur masyarakat di tengah pandemi. Harian South China Morning Post, Hongkong, Berita sukses sang ibu itu. Tanpa menyebutkan nama dan identitas lengkap.
Begitu mendarat kembali di Shanghai sang ibu menemukan rumah yang begitu berbeda. Sangat ketat. Padahal wabah sudah mulai bisa diatasi di Shanghai.
Tanggal 15 Maret 2020 dia mendarat kembali di bandara Shanghai. Bersama dua anaknyi. Sekali lagi berbeda dengan di bandara Amerika.
Penumpang pesawat tidak boleh langsung meninggalkan pesawat. Harus lama duduk manis di dalam dulu. Sampai semua pemeriksaan selesai. Satu pertanyaan tentang keadaan badan mereka. Suhu badan. Obat yang sedang makan. Pernah pergi ke kota mana saja. Banyak dokumen kesehatan yang harus diisi. Lalu mulai begitu teliti. Dua jam lamanya ibu dan anak Amerika itu berada di dalam pesawat.
Saat terbang tiba, diizinkan keluar dari pesawat, masih harus menunggu proses imigrasi. Dua jam lamanya berdiri di barisan antre itu.
Begitu tiba di depan, seorang petugas bandara melakukan pemeriksaan lagi. Semua dokumen diterima teliti lagi. Yang memeriksa mengenakan pakaian APD lengkap.
Setelah lolos pemeriksaan masuk lagi ke dalam antrean berikutnya: antre anggota photo copy semua dokumen kesehatan. Yang sudah lolos dua pemeriksaan sebelumnya. Ada mesin foto copy Xerox di situ.
Copy-an dokumen tersebut lantas ditempeli kertas kuning. Harus, sebaiknya pertanda antre di mabuk berikutnya. Yakni antre untuk dilakukan pemeriksaan cepat Covid-19.
Hasil pemeriksaan akan menentukan nasib. Ada tiga pilihan: harus karantina di rumah masing-masing, atau harus karantina di hotel yang sudah ditunjuk. Atau harus langsung masuk rumah sakit.
Setelah melalui proses itu, barulah bisa ke imigrasi. Untuk memeriksa paspor.
Sang ibu bernasib baik: kondisi badanny dan anak-anaknyi sangat baik. Mereka mengumumkan harus masuk di apartemen mereka sendiri.
Untuk itu dia mendapat dokumen ”lolos” dari bandara. Berarti boleh mengambil angkutan.
Tapi bukan berarti sudah bebas. Untuk pemegang dokumen warna dia harus masuk lorong antrean khusus. Yakni yang menuju bus yang sudah ditentukan. Yakni bus jurusan apartemen sang ibu. Tidak boleh menggunakan taksi atau bus lain.
Tapi sebelum menuju bus khusus itu dia harus men- unduh Aplikasi khusus. Yakni Apps laporan kesehatan. Dia harus mengisi daftar pertanyaan di Apps itu. Persyaratan badan harus selalu disetujui melalui ponselnya.
Sampailah sang ibu dan anak di dekat bus. Dia harus memeriksa lagi memeriksa suhu badan. Lalu harus menunjukkan bahwa dia sudah memiliki Aplikasi di ponselnyi.
Masih ada prosedur lain lagi. Dia hanya bisa mengarantina diri di apartemen sendiri jika bisa memenuhi persyaratan ini: tetangga di apartemen itu diizinkan. Yang dimaksud tetangga adalah peraturan penghuni apartemen (semacam pengurus) dan manajemen apartemen.
Jika dua pihak tidak setuju mereka harus karantina di hotel. Ada dua pilihan hotel. Yang tarifnya 30 dolar dan yang 60 dolar. Itulah hotel yang sudah ditentukan. Agar pemerintah dapat mengatasi dengan ketat.
Sang ibu Cukup pede untuk review can diterima Komite Apartemen Dan manajemenya. Itu karena sang ibu tinggal di apartemen yang dihuni orang asing.
Sebelum naik bus naik, seorang petugas ganti ”astronot” memeriksa paspor. Lalu mengambilnya. Paspor baru akan keluar kalau hasil tes Covid-19 sudah keluar.
Tanpa menunggu naik paspor sang ibu naik bus besar. Tidak tahu bus itu akan ke mana. Tidak semua penumpangnya di apartemen yang sama.
Satu jam kemudian tibalah bus besar itu di gelanggang olahraga. Sang ibu mengecek di mana lokasi itu. Dia pun tahu. Di sebuah distrik yang dia kenal.
Penumpang melintasi turun dari bus. Tapi ingat dulu nomor penumpangnya. Lalu harus masuk ke dalam antrean di pusat olahraga itu. Sesuai dengan nomor dan warna kertas yang dia pegang.
Sang ibu masuk grup 1. Maka antrean masuk pusat olahraga itu pun harus di antrean 1.
Di dalam gelanggang olahraga disediakan tempat duduk yang bisa disandarkan. Agar mereka bisa istirahat. Ada juga pesawat tv dengan program video on demand .
Mereka harus lama sekali di situ. Untuk menunggu menunggu satu persatu. Untuk memutuskan tes Covid-19.
Petugas astronot lantas membagikan selimut. Lalu mengantar roti yang ditaruh di kereta dorong. Jumlahnya tak terbatas. Dibagi juga susu impor dari Jerman. Terima kasih atas penilaian Anda. Orang asing di Tiongkok memang tidak biasa minum susu lokal. Dibagi juga masker dan air dalam botol.
Jam 20.30 (berarti sudah 7 jam setelah mendarat) Dua orang perawat mengambil astronot membawakan ke belakang gedung. Yakni ke halaman yang dipasangi tenda.
Di situlah dilakukan tes Covid-19. Yakni dengan cara diambil cairan mukus yang ada di dalam hidung – dapatkan tenggorokan.
Selesai mengambil mukus sang ibu kembali lagi ke kursi yang bisa disandarkan tadi. Saat inilah sang ibu waswas. Sambil lesehan di kursi ia membayangkan: jangan-jangan hasil positif. Jangan-jangan tertular saat di Amerika. Kalau sampai sang ibu positif, berarti akan dipisah dari dua anak kecilnyi.
Panjanglah bayangan sang ibu. Akan di mana anaknyi. Akan di mana pula dia. Bagaimana bisa berkomunikasi. Kalut.
Tapi dia juga kagum. Betapa banyak orang yang dites di Tiongkok ini. Beda sekali dengan di Amerika.
Bayangan membuat sang ibu tidak bisa tidur. Padahal sudah jam 00.30. Lelaki anak-anaknyi di balik selimut tebal di kursi sandar itu.
Jam 02.30 terdengarlah diumumkan. Semua penumpang bus tadi menyatakan negatif. Bukan leganyi utama.
Mereka pun boleh siap-siap pulang. Baru siap-siapnya. Masih banyak dokumen yang harus diisi dan dibaca. Tidak diperlukan keluar dari apartemen selama 14 hari.
Jam 04.30 barulah mereka bisa meninggalkan pusat olahraga .
Sang ibu akhirnya bisa tiba di apartemennya sendiri. Di Shanghai.
Tapi jam 9 pagi pintu kamarnyi sudah diketok. Astronomi melakukan pengukuran suhu badan. Begitu juga sakit hari.
Begitulah ketatnya pemeriksaan di Tiongkok. Dari dalam pesawat hingga tiba di rumah. Itulah Mengapa Covid-19 cepat teratasi di sana.
Saat itu, pada tanggal itu, penumpang masih bebas keluar masuk Indonesia. (Dahlan Iskan)