DAELPOS.com – Pandemi COVID-19 menyebabkan guncangan pada aktivitas perekonomian di semua sektor, termasuk sektor kehutanan. Namun secara positif masa pandemi ini juga bisa diartikan sebagai pemicu (trigger) untuk meningkatkan perhatian dan inovasi bidang kehutanan, agar kelestarian hutan dan kesejahteraan masyarakat dapat berjalan berdampingan.
Luas tutupan hutan daratan Indonesia yang mencapai 94,1 juta ha, merupakan potensi yang sangat besar yang bisa dioptimalkan untuk mensejahterakan masyarakat. Pengelolaan hutan yang tepat, efektif dan efisien diperlukan, untuk memastikan semua elemen masyarakat dan para pihak mendapat manfaat ekonomi, sosial dan lingkungan dari hutan.
“Program, kebijakan dan strategi pembangunan hutan yang tepat dan berkelanjutan dituntut untuk diterapkan dengan melibatkan partisipasi masyarakat dan para pihak,” ujar Agus Justianto, Kepala BLI KLHK pada sambutan pembukaan Webinar Teras Inovasi: Bincang Seru Profesor episode ke empat dengan tema ”Hutan Kaya, Masyarakat Sejahtera Pasca Pandemi COVID 19”, Rabu, (8/7). Webinar ini dihadiri empat Panelis, yaitu Prof. San Afri Awang (UGM), Prof. Riset Sri Suharti dan Dra. Lincah Andadari (Puslitbanghutan), serta Rudi Syaf (Direktur Komunitas Konservasi Indonesia Warsi).
Dilanjutkan Agus jika sektor kehutanan dengan produk-produknya baik yang tangible maupun intangible harus bisa menggeliatkan sektor ekonomi di tengah pandemi khususnya untuk masyarakat kecil yang tinggal di dalam dan di sekitar kawasan hutan.
Meskipun Pandemi COVID-19 telah menyebabkan ekspor sektor kehutanan menurun 10,79%, penyerapan tenaga kerja di sektor hasil hutan menurun sebesar 0,87%; nilai tambah sektor kehutanan menurun sebesar 0,55%; harga dan output sektor menurun masing-masing sebesar 0,59% dan 0,6%, namun kekayaan hutan yang memiliki multi manfaat disebutnya bisa dioptimalkan lagi melalui riset dan kebijakan integratif dalam pengembangan produk-produk alami dari hutan. Agus mencontohkan komoditas Sutera Alam, Ekaliptus, Gaharu, Cendana, dan Kayu Putih belum banyak disentuh secara maksimal boleh para pihak.
Prof. San Afri Awang Guru Besar Fakultas Kehutanan UGM mengungkapkan bahwa untuk mensejahterakan masyarakat dari hutan yang kaya, pemerintah perlu mendudukan kembali khitah pengelolaan sumberdaya hutan sesuai amanat UUD 45 pasal 33. KLHK disebutnya sudah lebih baik dalam mengemban amanah itu. “Kebijakan KLHK sudah menuju Khitah Kesejahteraan Sosial menurut UUD 45 Pasal 33,” tuturnya.
Profesor ilmu sosial politik kehutanan ini memandang perlunya keterlibatan aktif masyarakat dalam sistem pengelolaan hutan, Program Reforma Agraria dengan Tanah Obyek Reforma Agraria (TORA) dan Perhutanan Sosial disebutnya merupakan contoh baik bagaimana telah bergesernya keberpihakan Pemerintah sebagai pemegang kebijakan dari awalnya pro korporasi menjadi pro kepada rakyat. Salah satu hasilnya adalah semakin berimbangnya akses kepemilikan dan akses legal atas lahan, tinggal bagaimana lahan yang telah diberikan kepada masyarakat bisa produktif.
“Rakyat kalau diberi kepercayaan bisa produktif dari lahan hutan yang diberikan, karena ini riil, akan ada geliat ekonomi masyarakat jika kebijakan pemerintah yang mendukung masyarakat jelas, seperti akses pendanaan, dukungan iptek dan fasilitas pendampingan,” ujarnya.
Sementara itu Prof. Riset Sri Suharti menyoroti tentang resiliensi/kemampuan masyarakat untuk beradaptasi dan tetap teguh dalam situasi sulit masa pandemi. Menurunnya perekonomian masyarakat disebutnya dapat memicu tekanan terhadap hutan. Kerusakan hutan pada salah satu sisi juga dapat memicu timbulnya zoonosis yang mungkin dapat memicu menuculnya virus-virus penyakit baru yang akan mengancam kehidupan manusia kedepan.
Kerusakan hutan disebutnya akan semakin memiskinkan masyarakat yang tinggal di pedesaan dan mengancam terpenuhinya hak-hak dasar masyarakat seperti kesehatan dan mata pencaharian. Lebih lanjut kerusakan hutan juga akan meningkatkan resiko bencana alam yang sangat merugikan.
“Diperlukan upaya penyusunan program pemulihan pasca Pandemi Covid 19 halnini untuk mendukung kelestarian huta dan membangun ketahanan masyarakat yang bergantung dari hutan,” jelasnya.
Dari segi produksi hasil hutan, Lincah Andadari Peneliti Ahli Persuteraan Alam dari Puslitbanghutan KLHK mengakui pandemi Covid-19 memberikan dampak terhadap penurunan kegiatan agroindustri tersebut.
Persutraan Alam yang merupakan kegiatan agroindustri mulai dari budidaya tanaman murbei, pengadaan telur ulat sutra, budidaya ulat sutra dan pengolahan kokon, sampai jadi produk kain sutra perlu segera berinovasi dan merancang strategi pengembangan sutra paska pandemi agar geliat industri persuteraan alam tidak semakin terpuruk.
Strategi tersebut disebutnya terdiri dari sosialisasi, pelatihan, fasilitasi penyusunan rencana, dan monitoring evaluasi memanfaatkan media sosial. Peningkatan daya saing dengan menggunakan jenis murbei dan bibit ulat sutra unggul, mengembangkan teknologi tepat guna, mengembangkan system informasi pasar usaha persuteraan alam dan diversifikasi/inovasi produk sutra alam seperti teh murbei dan lain-lain perlu di dorong.
“Perubahan pola kegiatan atau pola kerja dan kemitraan juga dilakukan untuk menaikkan produktifitas persuteraan alam,” kata Lincah Andadari.
Sementara itu Direktur Komunitas Konservasi Indonesia Warsi, Rudi Syaf, menjelaskan jika harmonisasi hutan dan kehidupan masyarakat telah terjalin lama, yang dibuktikan dengan banyaknya slogan adat masyarakat yang berkaitan dengan menjaga hutan.
Pasar karbon menurutnya telah memberikan hasil nyata pada masyarakat yang tinggal di sekitar hutan. “Di Bujang Raba, ada berkah karbon, sudah 2 kali pembelian 300 juta pada 2018 dan 1 M pada 2019. Di sana telah mendapatkan penetapan SK Hutan Desa, sebelumnya tanpa SK tersebut, laju deforestasi di kawasan itu sekitar 2%, namun setelah diberikan SK HUtan Desa laju Deforestasi 0%,” ujarnya.
Dengan dana karbon tersebut seluruh masyarakat merasakan manfaat langsung dari keberadaan hutan yang lestari. Yang tak kalah menarik menurutnya dengan dana tersebut keuntungan dan pemanfaatannya dapat diputuskan langsung oleh masyarakat, seperti untuk dana santunan, beasiswa, peningkatan kapasitas institusi hutan desa, kegiatan sosial keagamaan, sunatan masal, patroli perlindungan hutan, pengembangan kegiatan ekonomi warga, dan lain sebagainya.(*)