DAELPOS.com – Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Muhammad Tito Karnavian bersama Kepala Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) Muhammad Yusuf Ateh melakukan kesepakatan tentang koordinasi tugas dan fungsi pengawasan penyelenggaran pemerintahan daerah sebagai upaya untuk meningkatkan pengawasan realisasi APBD.
Hal itu disampaikan Mendagri pada Penandatanganan Nota Kesepakatan dan Dokumen Rencana Kerja antara Gubernur dengan Kepala Perwakilan BPKP Provinsi Seluruh Indonesia, Gubernur/Bupati/Wali Kota seluruh Indonesia, Inspektur provinsi seluruh Indonesia melalui Video Conference dan juga dihadiri secara langsung oleh Deputi Bidang Pengawasan Penyelenggara Keuangan Daerah, Deputi Bidang Akuntan Negara, Deputi Bidang Investigasi, di Ruang Sasana Bhakti Praja Kemendagri, Rabu (2/11/2020).
Mendagri mengatakan penandatanganan Nota Kesepakatan kali ini merupakan tindak lanjut Nota Kesepahaman Memorandum of Understanding (MoU) yang sudah dibuat sejak 3 September 2020 silam. Mendagri mengaku sangat berharap bahwa dengan kerja sama ini maka BPKP dapat mengawal sistem pemerintahan daerah agar berjalan lancar. Dengan demikian, program yang telah disusun dapat dirasakan oleh masyarakat.
“Terutama dari sisi program dan anggaran yang diinginkan oleh Bapak Presiden yaitu setiap rupiah dapat bermanfaat bagi rakyat, artinya semua program yang ada betul-betul bukan hanya dilaksanakan (sent), tetapi juga dirasakan manfaatnya oleh rakyat (delivered),” ujarnya.
Menurutnya di samping perencanaan dan eksekusi pelaksanaan dibutuhkan juga pengawasan. Dalam konteks ini, BPKP menjadi pengawas utamanya yang berperan sangat penting untuk melakukan pendampingan sehingga pemerintah daerah (pemda) yang belum memiliki kemampuan dan kesungguhan untuk membuat program yang efektif mendapatkan arahan langsung dari BPKP.
“Karena kita paham bahwa tidak semua pemerintah di daerah memiliki kapabilitas yang cukup dari sisi program anggaran dan lain-lain. Bervariasi, tentu ada kepala daerah yang memiliki kemampuan dan kesungguhan, idealisme, kreativitas, ketegasan untuk membangun dan membuat program-program yang pas serta mengeksekusinya dengan tepat juga,” tandasnya.
Lanjutnya, ia meminta agar BPKP dan para Gubernur untuk melaksanakan evaluasi pada program kerja Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) 2020. Mendagri mengatakan bahwa realisasi APBD masih sangat rendah. Dalam paparannya, realisasi pendapatan daerah rata-rata belum mencapai 80 persen, sementara waktu untuk melaksanakan realisasi belanja waktu lebih kurang dua sampai tiga minggu lagi.
“Kalau kita lihat angka belanjanya, penyerapannya belanjanya baru mencapai 65,74% sedangkan untuk kab/kota 62,68%. Apa artinya ini? Artinya uang yang beredar di masyarakat itu jumlahnya sedemikian, menurut persentase tersebut padahal kita tahu ini sudah menjelang akhir tahun,” imbuhnya.
Meskipun demikian, Mendagri mengaku paham dengan problematika yang sedang dihadapi oleh pemda, sehingga dengan dukungan dan pengawasan BPKP diharapkan hambatan-hambatan yang ada dapat terselesaikan.
“Nah ini yang perlu diketahui melalui kegiatan pemeriksaan kita ingin mendapatkan jawaban karena kita ingin sebetulnya belanjanya maksimal agar uang beredar di masyarakat sehingga ini menjadi tulang punggung untuk negara saat ini,” terangnya.
Dalam kesempatan yang sama, Kepala BPKP Muhammad Yusuf Ateh mendukung pernyataan Mnedagri tersebut. Menurutnya, APBD menjadi main engine dari roda perekonomian di masa pandemi. Sehingga, pembelanjaan anggaran harus benar-benar segera dipercepat. Bahkan, Presiden Joko Widodo sudah memberi amanah agar Januari 2021 belanja modal dan belanja sudah mesti berjalan. Untuk itu, dirinya meminta agar pada Desember 2020 ini perencanaan-perencanaan belanja sudah dipetakan, baik di tingkat pusat maupun daerah.
“Yang paling utama bahwa belanja pemerintah di pusat maupun di daerah itu menjadi main engine (penggerak utama) dari roda perekonomian di masa pandemi ini. Belanja-belanja pemerintah dalam penanganan kesehatan, pengaman sosial, dan pemulihan ekonomi nasional menjadi unsur utama penggerak ekonomi kita di masa pandemi,” tuturnya.
Berdasarkan pengawasan BPKP selama hampir setahun ini tantangan utama yakni menyangkut pengadaan barang dan jasa di masa pandemi. Bahwa memang banyak sekali kelonggaran aturan pengadaan barang dan jasa untuk kondisi darurat yang justru dimanfaatkan untuk hal-hal yang tidak lagi darurat. Misalkan, oknum supplier yang hanya ingin memperpanjang rantai pasokan atau menaikan harga dengan alasan darurat dan kualitas barang yang diterima buruk atau tidak sesuai dengan spesifikasi dan contoh yang diberikan. Selain itu, permasalahan lain muncul lantaran keraguan dan kebingungan dari PPK atau unit pelayanan pengadaan, sehingga realisasi Pengadaan Barang/Jasa (PBJ) menjadi lambat. Maka dari itu, BPKP dan Inspektorat provinsi/Kab/Kota berperan penting melakukan pengawasan PBJ.
“Perlu kami tegaskan sekali lagi darurat ini untuk barang-barang yang masih dibutuhkan seperti alat kesehatan dan pengobatan,” tegasnya.
Adapun berdasarkan data hasil monitoring BPKP, dari seluruh pemda pengawasan terhadap PBJ yang darurat ini baru dilakukan oleh 36% APIP di daerah, sementara sisanya sebanyak 64% belum melakukan review terhadap barang dan jasa di daerah masing-masing. Ia mengaku bersama Itjen Kemendagri akan segera mendorong pengawalan terhadap proses pengadaan barang dan jasa, terutama bidang kesehatan dan bantuan-bantuan sosial. “Di sinilah peran aktif kita semua baik BPKP, Inspektorat provinsi, kabupaten, kota untuk mampu mendampingi dan mengawasi pelaksanaan Pengadaan barang dan jasa ini agar cepat, efektif, namun tetap akuntabel,” pungkasnya.