DAELPOS.com – Ada pesan dunia usaha yang tidak sampai ke DPR dan Presiden bahwa masalah pengusahaan bidang energi untuk pembangkit listrik bukan terletak pada perlu dibuat/ditambah aturan baru, melainkan adanya ketidakpastian skema tariff listrik, kepastian sosial, dan menyelesaikan masalah perijinan yang panjang.
Sebab, ketiga hal ini telah menjadi faktor resiko terbesar dalam pengambilan keputusan investasi di bidang energi, khususnya panas bumi.
RUU EBT tidak akan menyelesaikan masalah tersebut, justeru akan menambah masalah baru terjadinya tumpang tindih dan disharmoni peraturan perundangan-undangan.
EBT telah diatur didalam UU Nomor 30 Tahun 2007 tentang Energi, sehingga yang diperlukan bukanlah pengaturan baru yang bersifat lex spesialis tentang EBT, melainkan peraturan pelaksana (peraturan pemerintah), khususnya energi terbarukan; Angin, biomasa, sinar matahari, aliran dan terjunan air, sampah, limbah produk pertanian, gerakan dan perbedaan suhu lapisan laut, dll.
Jadi yang diperlukan adalah aturan pelaksana atau operasioalisasi UU Energi, Nomor 30 Tahun 2007.
Apalagi berkenaan dengan PLTN, selain Nuklir bukan bagian dari Rumpun Energi Baru dan Terbarukan, tetapi juga Nuklir sudah diatur tersendiri (lex spesialis) melalui UU Nomor 10 Tahun 1997 tentang Ketenaganukliran.
Begitu pula dengan Panasbumi telah diatur secara tersendiri didalam UU Panasbumi Nomor. 21 Tahun 2014.
Kita harus belajar dari PLTU dan PLTD, meskipun tidak ada Undang-Undang Energi Tidak Terbarukan, terbukti kedua jenis pembangkit ini dapat berkembang pesat.
Artinya, hal ini tergantung pada political will pemerintah, dalam hal ini keseriusan kementerian terkait, dan memberikan “pesan” atau masukan yang faktual, nyata dan objektif kepada DPR dan Presiden tentang persoalan yang harus segera diselesaikan, yaitu: kepastian skema tariff listrik yang memihak pada investasi pembangkit listrik bersumber dari energi terbarukan, mengatasi ketidakpastian sosial dan perijinan yang panjang dan tidak rasional bagi investasi.
Dengan langkah yang saat ini dilakukan pihak pemerintah, bukanlah menyelesaikan masalah yang menghambat tumbuhnya investasi yang berpotensi menyebabkan defisit energi, malahan memproduksi terjadinya surplus peraturan perundang-undangan yang akan menambah ketidakpastian usaha.