DAELPOS.com – Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI bersama Menteri Kelautan dan Perikanan RI menyampaikan sambutan kunci pada seminar peluncuran hasil studi Indonesia Ocean Justice Initiative (IOJI) bertajuk “Ekosistem Karbon Biru sebagai Critical Natural Capital: Blue Carbon Ecosystem Governance di Indonesia” hari ini Senin (30/1) di Gedung Manggala Wanabakti Jakarta.
Dalam sambutannya, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI Siti Nurbaya menyampaikan bahwa kajian Ekosistem Karbon Biru (EKB) yang telah disusun IOJI dengan mengintegrasikan ekosistem laut yang meliputi hutan mangrove, padang lamun, estuaria atau rawa air payau/rawa air asin, dan terumbu karang, telah cukup menjelaskan potensi Ekosistem Karbon Biru yang besar sebagai penyerap dan penyimpan karbon (carbon sequestration and storage) yang berperan penting dalam upaya mitigasi perubahan iklim.
“Jika atas dasar paradigma ecosystem base, maka diantara bagian-bagian studi tersebut menjadi sangat relevan dengan agenda FOLU Net Sink 2030 yang menjadi tekad kita sebagai bangsa,” ujarnya
Menteri Siti pun melanjutkan pandangannya, bahwa studi tersebut akan bisa menjadi arahan Governance/Tata kelola di Indonesia terkait karbon dengan paradigma ecosystem based, yang mencakup aspek-aspek regulasi, institusi, proses, sistem dan prosedur, partisipasi masyarakat, sistem pembiayaan, data base dan policy excercise and policy making, serta interaksi national (pemerintah pusat) dan sub national (masyarakat, swasta, pemrintah daerah) dan terutama bagaimana pola coercive dan cooperatives bisa terbangun dan terjalin baik berkenaan dengan karbon yang dapat dielaborasi, seperti dalam hal peran, tekanan, mandat antar lembaga, pengendalian, asumsi implementasi, sumber inovasi kebijakan dan penekanan implementasi menuju Carbon Governance.
“Saya sangat menghargai bila usaha awal IOJI ini dapat berkembang pada langkah-langkah lanjut dalam upaya Indonesia kita menuju Carbon Governance dengan berbagai kemajuan kerja yang telah kita miliki. Saya optimis juga pada sektor ocean dan wetland dimana pada konteks wetland sebagai ekosistem sangat erat relevansi kerja bersama KLHK,” tutur Menteri Siti.
Sementara itu, Menteri Kelautan dan Perikanan Sakti Wahyu Trenggono menyampaikan bahwa saat ini program terkait karbon biru cenderung berfokus hanya pada satu jenis ekosistem, yaitu mangrove, sehingga perkembangan karbon biru di Indonesia juga perlu memperhitungkan ekosistem karbon biru penting lain, yaitu ekosistem lamun. Trenggono juga menjelaskan bahwa pengelolaan karbon biru dalam konteks perubahan iklim merupakan bagian penting pada dua dari lima kebijakan Ekonomi Biru yang sedang didorong KKP, yaitu perluasan Kawasan Konservasi Laut hingga 30% di tahun 2045 dan Pengelolaan Berkelanjutan Pesisir dan Pulau-pulau Kecil.
“Dengan memperluas kawasan konservasi menjadi 30% maka ekosistem lamun dan mangrove yang berada di kawasan konservasi berpotensi menyerap sekitar 188 juta ton CO2eq”, ujar Trenggono.
Lima kebijakan Ekonomi Biru yang sedang didorong KKP disebutnya meliputi (1) Memperluas dan Menetapkan Kawasan Konservasi Baru hingga 30 %, (2) Perikanan Tangkap Terukur berbasis Kuota, (3) Pembangunan Perikanan Budidaya Laut, Pesisir dan Darat yang ramah lingkungan, (4) Pengelolaan Pesisir dan Pulau-pulau Kecil, (5) Pengelolaan Sampah plastik di laut.
Menanggapi pernyataan positif kedua menteri, CEO IOJI Mas Achmad Santosa menambahkan, “Sekalipun EKB memiliki potensi yang besar dalam mengatasi perubahan iklim dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat pesisir, kondisi EKB telah lama terancam oleh tekanan antropogenik. Ketika terdegradasi, EKB akan beralih dari penyerap karbon menjadi pelepas emisi karbon yang signifikan. Degradasi juga merusak perlindungan ekosistem pesisir, serta mengancam penghidupan masyarakat yang bergantung pada EKB. Oleh karenanya, IOJI mendorong supaya Pemerintah Indonesia menjadikan EKB ke dalam kategori critical natural capital.”
Lebih lanjut Santosa kembali menegaskan bahwa bukti keilmuan peran EKB sudah sangat jelas. EKB adalah solusi berbasis laut (ocean-based solution) sekaligus sebagai critical natural capital untuk pengendalian perubahan iklim, serta menjadi sumber penghidupan bagi masyarakat pesisir.
Santosa juga mengungkapkan jika setidaknya ada 6 (enam) elemen tata kelola EKB yang perlu dikembangkan dan diperkuat di Indonesia yang merupakan fokus dari penulisan studi ini, yaitu (1) Kerangka Hukum dan Kebijakan Nasional; (2) Penataan Kelembagaan; (3) Partisipasi dan Pemberdayaan Masyarakat; (4) Keamanan Tenurial; (5) Pengawasan dan Penegakan Hukum; serta (6) Pendanaan dan Pendistribusian Manfaat secara Berkeadilan.
Seminar ini diselenggarakan atas kerjasama Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) bersama Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) dengan Indonesia Ocean Justice Initiative (IOJI) yang didukung oleh The Asia Foundation (TAF).
KLHK dan KKP sebagai pemangku kepentingan kunci pengelolaan Ekosistem Karbon Biru (EKB) di Indonesia terus berupaya menjadikan Ekosistem Karbon Biru sebagai Modal Alam yang harus dikelola secara berkelanjutan di Indonesia. Untuk itu, upaya perlindungannya akan semakin diperkuat berdasarkan prinsip keilmuan dan keterbukaan.
Sebagai pemilik 17 persen cadangan karbon biru dunia, Indonesia memiliki peluang besar memanfaatkan Ekosistem Karbon Biru sebagai salah satu solusi untuk mengatasi perubahan iklim.
EKB yang meliputi hutan mangrove, padang lamun (seagrass), rawa air asin (salt marshes), memiliki potensi yang besar sebagai penyerap dan penyimpan karbon (carbon sequestration and storage) yang berperan penting dalam upaya mitigasi perubahan iklim. EKB juga memegang peran signifikan untuk adaptasi perubahan iklim terutama bagi masyarakat pesisir yang ruang hidup dan penghidupannya berpotensi terdampak oleh climate-related coastal risks, seperti cuaca ekstrem, badai, erosi, banjir dan sebagainya. Berbagai risiko ini bisa mengakibatkan dampak sosial-ekonomi, terancamnya keanekaragaman hayati, dan berkurangnya layanan ekosistem yang berdampak pada kelangsungan hidup manusia dan alam.
Seminar yang digelar secara luring selama dua hari pada 30 – 31 Januari 2023, pada hari pertama diisi diskusi menghadirkan panelis yang ahli di bidang masing-masing, yaitu Nani Hendiarti (Deputi Bidang Koordinasi Pengelolaan Lingkungan dan Kehutanan, Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi), Daniel Murdiyarso (Principal Scientist, CIFOR-ICRAF), Andre Rodrigues de Aquino (Lead Environmental Specialist, the World Bank), Gubernur Provinsi Kepulauan Riau yang diwakili oleh Sekretaris Daerah, dan Subhan (Ketua Kelompok Tani Hutan Ramah Lingkungan Salo Sumbala, Kalimantan Timur).
Kemudian pada hari kedua seminar dilanjutkan dengan diskusi interaktif via Zoom dengan tiga topik besar dalam breakout session sebagai berikut: 1) Kerangka Hukum dan Kebijakan serta Penegakan Hukum, 2) Peran Masyarakat dan Keamanan Tenurial, dan 3) Pendanaan dan Pendistribusian Manfaat secara Berkeadilan. Tiga topik ini diarahkan untuk menjawab tiga pertanyaan utama, yaitu: Pertama, bagaimana kerangka hukum dan kebijakan nasional mengatur pengelolaan EKB. Kedua, apa tantangan utama yang dihadapi aktor pemerintah dan non-pemerintah dalam memberikan perlidungan efektif terhadap EKB, serta masyarakat yang bergantung pada EKB. Ketiga, apa saja rekomendasi bagi upaya kebijakan yang dapat menguatkan perlindungan EKB dan memberdayakan masyarakat yang bergantung pada EKB.
Hadir sebagai pembicara dan pemantik diskusi: Hana A. Satriyo (Country Representative, The Asia Foundation), Hartono (Kepala Badan Restorasi Gambut dan Mangrove RI), Laksmi Dhewanthi (Direktur Jenderal Pengendalian Perubahan Iklim, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI), Stephanie Juwana (Direktur Program IOJI), Vivi Yulaswati (Deputi Bidang Kemaritiman dan Sumber Daya Alam, BAPPENAS) Haruni Krisnawati (Peneliti Senior (/Badan Riset Inovasi Nasional), Irjen. Pol. Victor Gustaf Manoppo (Direktur Jenderal Pengelolaan Ruang Laut, Kementerian Kelautan dan Perikanan RI), M. Imran Amin (Direktur Program Kelautan, Yayasan Konservasi Alam Nasional), Sonny Mumbunan (Peneliti, University of Indonesia Research Centre for Climate Change), dan Roy Salam (Peneliti, Indonesian Budget Centre).
Turut hadir dalam acara tersebut Wakil Menteri LHK, Kepala BRGM, Direktur Jenderal PPI, Direktur Jenderal PPKL, Direktur Jenderal PHL, Direktur Jenderal PSLB3, Pejabat Tinggi Madya dan Pratama, serta para undangan.(*)