daelpos.com – Secara hukum, tuduhan makar terhadap Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo dalam konteks pembentukan Tim Transformasi Reformasi Polri sama sekali tidak memiliki dasar yuridis.
Pasal 104 hingga 110 KUHP yang mengatur tentang makar secara jelas mendefinisikan makar sebagai tindakan yang dimaksudkan untuk mengganggu pemerintahan yang sah, merampas kemerdekaan Presiden, atau membahayakan keutuhan negara.
Pembentukan tim internal Polri sama sekali tidak memenuhi unsur-unsur tersebut. Tidak ada unsur kekerasan, upaya penggulingan, maupun tindakan melawan Presiden yang sah.
Sebaliknya, yang dilakukan Kapolri adalah langkah administratif, bersifat manajerial, dan berada sepenuhnya dalam kewenangan institusional yang dimilikinya.
Dari perspektif hukum tata negara, Kapolri adalah pejabat negara yang diberi mandat undang-undang untuk mengatur lembaga internal kepolisian.
Pasal 30 ayat (4) UUD 1945 menegaskan bahwa Polri sebagai alat negara yang menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum, serta memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat.
Dalam menjalankan fungsi tersebut, Kapolri dapat membentuk tim atau satgas untuk meningkatkan profesionalitas institusinya. Tindakan ini bukan pelanggaran, melainkan bagian dari diskresi kewenangan.
Jika dikaitkan dengan prinsip hubungan antara Presiden dan Kapolri, keduanya berada dalam kerangka koordinatif, bukan kompetitif.
Presiden memiliki hak prerogatif dalam menentukan arah kebijakan makro, sementara Kapolri sebagai pelaksana memiliki ruang untuk membentuk mekanisme internal yang mendukung kebijakan tersebut.
Membaca perbedaan waktu pembentukan tim sebagai “makar” adalah manipulasi tafsir hukum yang mengabaikan fakta bahwa inisiatif pembentukan tim Kapolri dan Presiden justru dapat saling memperkuat.
Dengan demikian, secara normatif maupun legalistik, tuduhan makar terhadap Kapolri bukan hanya tidak berdasar, tetapi juga berpotensi menyesatkan publik.
Alih-alih berlandaskan analisis hukum, tuduhan ini lebih menyerupai agitasi politik yang sengaja dilakukan untuk merusak hubungan antara Presiden dan Kapolri.
Tuduhan tersebut harus dipandang sebagai upaya delegitimasi yang mengandalkan retorika provokatif, bukan fakta yuridis.