daelpos.com – Direktur Gas dan BBM PLN Energi Primer Indonesia (PLN EPI), Erma Melina Sarahwati, menegaskan bahwa gas bumi tetap menjadi pilar utama dalam transisi energi nasional. Meski ekosistem gas Indonesia terus berkembang, dua tantangan fundamental masih dihadapi, yakni kepastian pasokan dan kesiapan infrastruktur untuk menyalurkan gas dari sumber menuju pembangkit. Hal tersebut disampaikan dalam Breakout Room Forum Natural Gas Ecosystem bertopik Progress of Natural Gas Infrastructure and Supply Availability, bagian dari gelaran Electricity Connect 2025 oleh Masyarakat Ketenagalistrikan Indonesia (MKI) pada Rabu (20/11).
Menurut Erma, gas bumi memegang peran strategis sebagai bridging fuel dalam upaya mencapai target emisi nol bersih. Dibandingkan batu bara dan BBM, gas merupakan energi fosil paling bersih sehingga tetap dibutuhkan sebagai penyangga fleksibilitas sistem ketenagalistrikan. Ia merujuk pada RUPTL 2025–2034, yang menetapkan tambahan pembangkit 69,5 GW hingga 2034, dengan lebih dari 75 persen berbasis energi terbarukan. Namun demikian, gas tetap disiapkan sebesar 10,3 GW sebagai pengaman sistem, mengingat sifat intermiten energi surya dan angin, sementara pengembangan pembangkit geothermal dan hidro memerlukan waktu.
Erma menjelaskan bahwa kebutuhan gas PLN meningkat rata-rata 5,3 persen per tahun. Pada 2025 kebutuhan mencapai 1.600 BBTUD, dan melonjak menjadi 2.600 BBTUD pada 2034, dipicu program konversi pembangkit BBM ke Gas. Penurunan alamiah produksi gas pipa membuat PLN semakin bergantung pada pasokan LNG, termasuk kontrak LNG Tangguh sekitar 60–62 kargo per tahun yang akan berakhir bertahap hingga 2034, sehingga diperlukan tambahan pasokan gas dari penemuan cadangan baru, pengalihan ke domestik dari kontrak ekspor yang akan berakhir, maupun perpanjangan kontrak eksisting untuk mengisi gap kebutuhan.
Ia menekankan bahwa disparitas antara lokasi cadangan dan pusat permintaan menjadi faktor krusial. Cadangan terbesar berada di Indonesia bagian timur, seperti Maluku, Papua, dan Kalimantan, sedangkan pusat beban berada di Jawa dan Sumatera. Untuk menjembatani ini, Indonesia memiliki jaringan pipa dan berbagai FSRU seperti Lampung, Arun, Nusantara Regas, Bali, dan Gorontalo, dengan total kapasitas penyimpanan sekitar 700 ribu meter kubik dan kemampuan regasifikasi 1,4 juta kaki kubik per hari.
PLN EPI kini tengah mengembangkan berbagai proyek gasifikasi pembangkit di klaster Nias, Sulawesi–Maluku, Nusa Tenggara dan Papua. Infrastruktur gas, menurut Erma, adalah fondasi agar program gasifikasi benar-benar berjalan. PLN EPI juga memperluas dan meng upgrade sejumlah FSRU, termasuk FSRU Bali yang diperbesar karena kenaikan permintaan listrik di sektor pariwisata. Penambahan FSRU di Jawa Barat, Jawa Timur, dan Cilegon juga diperlukan. Setelah seluruh pengembangan rampung, kapasitas penyimpanan LNG nasional akan meningkat menjadi 1,2 juta meter kubik, sementara kapasitas regasifikasi meningkat hampir tiga kali lipat mencapai 4 juta kaki kubik per hari.
Beberapa proyek strategis kini memasuki fase penting. Klaster Nias ditargetkan beroperasi pada Desember 2025, pembangunan pipa WNTS–Pemping ditargetkan selesai pada 2026, dan pengembangan klaster Sulawesi–Maluku, Nusa Tenggara, dan Papua dijadwalkan tuntas di 2028. Erma menegaskan bahwa percepatan pembangunan infrastruktur gas membutuhkan kolaborasi dengan seluruh pemangku kepentingan, termasuk dukungan pemerintah dalam hal proses perizinan, penetapan proyek strategis nasional, serta penjaminan alokasi gas.
Transisi energi tidak akan berjalan tanpa fondasi gas yang kuat. Pasokan yang pasti dan infrastruktur yang andal adalah syarat mutlak menuju sistem energi bersih dan berkelanjutan.
Acara ini turut menghadirkan sejumlah pembicara yang memperkaya diskusi, antara lain Mohammad Andita Rafi (Siemens Energy Indonesia) sebagai moderator, serta Reza Maghraby (PGN), Antony Lesmana (PT Kayan LNG Nusantara), dan Tajudin Noor (PLN EPI – Indokorea Gas Consortium).








