DAELPOS.com – Anggota Komisi XI DPR RI Mukhamad Misbakhun mendorong Pemerintah melalui Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) menyamakan persepsi dan menghitung dengan cermat seberapa besar dampak pandemi Corona (Covid-19) terhadap ekonomi dan keuangan nasional. Terlebih, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyebutkan dampak tersebut lebih kompleks dibandingkan dengan krisis moneter tahun 1998 dan krisis keuangan pada 2008 lalu.
“Perlu samakan persepsi sizing krisisnya seperti apa. Dari bahan yang ada, apa yang terjadi saat ini akan mengalami situasi lebih dibandingkan Great Depresion 1928, 1998, dan 2008. Kalau saat itu hanya sebagian negara yang terkena dampak, sekarang ini total, karena kalau sekarang dari sisi supply dan demand. Saya minta Menkeu benar-benar mengukur, jangan pernah underestimate krisis ini,” kata Misbakhun dalam Rapat Kerja (raker) virtual Komisi XI DPR RI dengan Menteri Keuangan, Senin (6/4/2020).
Politisi Fraksi Partai Golkar tersebut juga mengkhawatirkan jika kebijakan-kebijakan yang sudah ada tidak disinkronisasi dengan baik, maka golden momentum akan hilang dikarenakan adanya timelag antara kebijakan dan implementasinya. Jika dilihat dari sisi kebijakan, dirinya mengatakan bahwa berdasarkan sejumlah pengamat ekonomi, kondisi ekonomi yang terjadi saat ini masih dalam tahap awal.
“Perkiraan dari banyak pengamat, yang ada saat ini itu baru pada tahapan awal. Puncaknya kapan? Ini yang belum bisa diperkirakan, ada yang bilang Juni, Juli, dan sebagainya. Dulu pada 1998, kita hanya sektor moneter yang kena, tetapi ekonomi yang dibangun Presiden Soeharto 32 tahun langsung turun minus 13 persen, saat itu kita melakukan bailout Rp 600 triliun atau 40 persen dari PDB kita. Jadi sekarang bagaimana Pemerintah mengimplementasikan (kebijakan) dengan cepat,” imbuhnya.
Konsep quantitatif easing (QE) juga sempat dipertanyakan Misbakhun, mengingat PDB akan mengalami shirinking atay penyusutan yang risikonya harus dihitung sampai berapa persen. “Kalau saya harus mengatakan, mau tidak mau, QE yang dilakukan Pemerintah adalah melakukan pencetakan uang baru, tidak bisa tidak,” tegas Misbakhun.
Dengan melakukan QE dengan pencetakan uang baru, legislator dapil Jawa Timur II itu menilai, keberlangsungan eknomi akan tetap terjaga dibandingkan dengan meminjam dari lembaga donor internasional. Disaat seluruh dunia mengalami kebutuhan yang sama akan likuiditas, antreannya akan semakin panjang dan yield-nya akan semakin mahal.
“Mau tidak mau, kalau menurut saya, harus dicetak emisi baru. Ini menjadi pertaruhan bagi Bank Indonesia yang sudah diberikan kewenangan. Pada saat seperti ini risiko pencetakan emisi ada dua, capital outflow atau capital flight dan inflasi. Ini baik meningkat dari pada tidak melakukannya sama sekali. Perlu disamakan dulu QE-nya seperti apa,” jelasnya.
Sebelumnya, Menteri Keuangan Sri Mulyani sempat memaparkan beberapa langkah kebijakan ekonomi yang dilakukan beberapa negara untuk meredam dampak Covid-19. “Australia dan Singapura menggelontorkan stimulus 10,9 persen dari total PDB-nya. Amerika Serikat mengeluarkan emergency fund 2 triliun dollar AS dan penurunan suku bunga the Fed hampir 0 persen . Suku bunga belum cukup masih ditambah dengan QE dan penjaminan,” paparnya.
Namun menurut perhitungan Misbakhun, QE di AS sudah mencapai 9 triliun dollar AS. Untuk itu perlu Pemerintah menyamakan persepsi mengenai QE. “Jangan ganggu cadangan devisa dulu, kita harus cetak uang, intinya persepsi harus disamakan soal besaran yang dibutuhkan dan siapa saja prioritasnya. UMKM pertama kali harus di-bailout, bayarkan listik dan sebagainya. Ditambah bidang usaha. Jangan alergi untuk membantu pengusaha, karena merekalah kita bisa tumbuh ekonomi,” saran Misbakhun.