Oleh : Dahlan Iskan
iDAELPOS.com – Tentu saya memilih Sinovac dibanding Pfizer dengan logika saya sendiri. Tentu saya bukan ahli menilai, apalagi menilai obat, termasuk vaksin.
Tapi publik dunia sudah tahu. Vaksin Sinovac berasal dari virus Covid yang dilemahkan, sedangkan vaksin Pfizer dari modifikasi gen.
Tentu saya tidak anti-modifikasi gen. Kalau vaksin yang ada, misalnya, hanya yang modifikasi itu saya pun akan menjalaninya.
Yang penting pandemi ini harus berakhir lebih cepat. Juga lebih sedikit korbannya. Jangan sampai mengulangi pandemi 1918 yang korbannya sepertiga penduduk, yaitu Flu Spanyol.
Bayangkan kalau di zaman ini sepertiga penduduk meninggal dunia. Berarti akan ada 100 juta orang Indonesia meninggal.
Memang, mungkin, itu cara semesta menyeimbangkan kembali tatanan kehidupan. Tapi semestinya ilmu pengetahuan akan selalu bisa mengatasi persoalan.
Seperti di awal 1900-an, para ahli di Inggris meramalkan punahnya manusia akibat kekurangan pangan yang berat. Itu didasarkan statistik pertumbuhan penduduk dibanding produksi pangan dunia.
Tapi seorang ahli di Jerman, Yahudi, kemudian menemukan cara pembelahan ‘N’. Itulah awal dari ditemukannya pupuk yang bahan bakunya dari udara. Pupuknya itu kita pakai sampai sekarang. Dan itu membuat pabrik pupuk kaya raya dan petani tetap miskin. Tapi, kenyataannya, produksi pangan bisa melebihi kebutuhan. Tinggal punya uang atau tidak untuk membelinya.
Kini juga sudah ditemukan bahan baku kertas yang tidak usah dari serat kayu. Minggu lalu saya mengikuti publikasi penemuan itu secara online dari Tiongkok.
Di sana sudah ditemukan bahan baku kertas yang baru, yaitu batu. Bahan itu dilembutkan menjadi tepung yang amat halus lalu dicampur dengan berbagai ramuan.
Penemuan di bidang cocok tanam pun akan terus meroket. Misalnya, pertanian tanpa lahan, termasuk bisa ”menanam” telo rambat (ubi jalar) yang umbinya bergelantungan di udara. Uji coba ini sukses di Henan, Tiongkok.
Modifikasi gen tanaman juga akan terus dilakukan. Sampai sekarang modifikasi itu sangat sukses untuk kedelai, kapas, dan banyak lagi. Kedelai jenis DMO itu di Amerika untuk makanan ternak. Dan yang kita impor, apa boleh buat, untuk membuat tempe.
Tiap kilogram kedelai jenis ini bisa menjadi tempe lebih banyak. Kedelainya besar-besar. Hanya pabrik tahu yang kurang suka memakainya. Sebab, sari kedelainya, yang bisa menjadi tahu, lebih sedikit.
Saya juga makan tempe dari kedelai modifikasi itu. Tapi kalau boleh memilih saya lebih senang makan tempe dari kedelai lokal. Selain lebih gurih, yang yang pasti bukan hasil modifikasi gen.
Sikap saya terhadap vaksin juga seperti menghadapi sajian tempe di meja makan. Kalau ada yang asalnya dari kedelai yang bukan modifikasi, saya pilih itu. Kalau adanya hanya tempe dari kedelai hasil modifikasi ya saya makan juga.
Di Barat salah satu alasan penolakan terhadap vaksinasi Covid adalah soal modifikasi gen itu. Otang yang anti-modifikasi gen tanaman saja begitu banyak, apalagi ini modifikasi gen manusia.
Tanpa itu pun penolakan terhadap program vaksinasi pasti ada. Tenang saja. Itu bukan menunjukkan warga kita terbelakang. Di Amerika atau Inggris atau negara maju lainnya juga banyak yang menolak vaksinasi.
Bahkan penolakan vaksinasi seperti itu sudah terjadi sejak 100 tahun lalu. Misalnya, yang terjadi di Kota Rio de Janeiro, Brasil. Bahkan di sana sampai terjadi kerusuhan besar segala. Asalnya dari pro-kontra vaksinasi cacar. Hampir saja pemerintah Brasil terguling akibat kerusuhan itu.
Salah satu isu besarnya adalah vaksinasi cacar itu membuat kecantikan kulit rusak seumur hidup. Sebab, kulit yang digores untuk vaksinasi itu. Padahal, biasanya di lengan atas.
Rupanya, bagi masyarakat yang budayanya mengenakan baju you can see, cacat akibat cacar itu sangat merisaukan.
Di lengan saya pun bekas vaksinasi cacar itu masih ada sampai usia setua ini. Tentu vaksinasi Covid tidak merusak kecantikan seperti cacar di zaman dulu. Tapi vaksin yang berasal dari virus yang dilemahkan tetap lebih menarik bagi saya. Sejarah pemakaiannya sudah begitu panjang untuk begitu banyak wabah di masa lalu. (*)