DAELPOS.com – Perubahan iklim memberikan pengaruh berbeda kepada laki-laki dan perempuan serta kehilangan kekayaan biodiversitas, khususnya kehilangan akses atas sumber daya alam milik bersama (common property). Untuk memperkuat strategi penguatan isu gender dalam pengendalian perubahan iklim dan konservasi lingkungan, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) kembali menyelenggarakan Diskusi Pojok Iklim secara virtual pada Rabu, (7/4) dengan mengangkat topik “Gender, Konservasi Lingkungan dan Perubahan Iklim”.
Pada diskusi pojok iklim kali ini, Staf Ahli Menteri LHK Bidang Industri dan Perdagangan Internasional, Laksmi Dhewanthi dalam sambutan pengantarnya menyatakan bahwa pemahaman dan penerapan keadilan dan kesetaraan gender bisa menjadi kunci jawaban agar semua pemangku kepentingan dapat berperan aktif dalam konservasi lingkungan dan pengendalian perubahan iklim baik mitigasi maupun adaptasi.
“Hubungan yang inheren antara kemiskinan, kebermanfaatan biodiversitas dan gender serta implikasi simultan dari rangkaiannya membutuhkan pendekatan yang multidisiplin dan holistik serta pemahaman gender untuk dapat mencapai hasil yang berkelanjutan serta bisa membawa kita semua untuk mewujudkan usaha konservasi lingkungan dan upaya pengendalian perubahan iklim yang inklusif dan melibatkan semua pemangku kepentingan,” jelasnya.
Sementara itu, dosen, peneliti dan pelukis, Dewi Candraningrum menjelaskan bahwa krisis iklim yang ditandai dengan adanya kerusakan ekologi dan terjadinya zoonosis merupakan pemicu dari lahirnya pandemi COVID-19. Pandemi ini tidak hanya merupakan krisis kesehatan, tetapi juga merupakan krisis sosial, ekonomi, politik, budaya dan terlebih krisis gender, sehingga memperparah jurang ketidakadilan gender, dan jutaan perempuan berisiko kehilangan kapasitas untuk merawat keluarga, terganggu hak dan kesehatan reproduksi dan seksual serta kesehatan keluarga dan anak-anaknya.
“Krisis iklim menunjukkan kepada kita bahwa reproduksi sosial dan regenerasi kehidupan kapitalisme seharusnya berubah karena pandemi juga melahirkan resesi ekonomi yang terburuk dalam sejarah kapitalisme. Kapitalisme tidak serta merta lagi mengekploitasi lingkungan dengan tidak memperhatikan keberlanjutan lingkungan,” tuturnya.
Selanjutnya, Direktur Eksekutif Yayasan Bambu Lestari, Monica Tanuhandaru menyampaikan bahwa saat ini diperlukan solusi terintegrasi yang bisa menjawab isu global yang terjadi dengan tetap memperhatikan kesejahteraan manusia dan keberlanjutan pemanfaatan sumber daya alam dan lingkungan. Agroforestri bambu yang melibatkan kelompok ibu-ibu menjadi solusi iklim dan ekonomi terintegrasi dalam satu bentang alam sekaligus menjawab tantangan lingkungan hidup dan kehutanan.
Monica merekomendasikan pengarustamaan gender dalam rehabilitasi hutan dan lahan diantaranya menjamin bahwa perempuan dan/atau kelompok perempuan dapat memperoleh izin pengelolaan perhutanan sosial serta mendorong pengintegrasian gender dalam implementasi dan setiap tahapan bisnis perhutanan sosial.
Kemudian, Kepala Biro Perencanaan, KLHK, Ayu Dewi Utari juga turut menyampaikan bahwa dalam lingkungan hidup dan kehutanan, sebagian besar perempuan bekerja di sektor informal dan pertanian karena dasar negara Indonesia adalah negara agraris yang membutuhkan perempuan untuk mengambil alih pekerjaan di sektor tersebut.
“Masih ada suatu ketidakadilan yang sering dialami perempuan terutama di sektor informal dan ketidaksetaraan dalam pengakuan peran wanita. Namun itu semuanya sudah terperhatikan dalam peraturan perundangan yang disusun oleh Menteri LHK,” tegas Ayu.
Lebih lanjut Ayu menjelaskan Pengarustamaan Gender sudah masuk ke dalam Rencana Strategi KLHK, mewarnai proses bisnis KLHK, peraturan-peraturan di KLHK dan menjadi nafas dari setiap personil di KLHK untuk menjalankan tugasnya memberdayakan masyarakat dan menjaga lingkungan.
Diskusi yang dipandu Yulia Sugandi dari UNDP Accelerator Lab ini dihadiri oleh sekitar 144 peserta yang terdiri dari Kementerian/Lembaga, organisasi non-pemerintah, perguruan tinggi, sektor privat dan individu.