DAELPOS.com – Dua tahun terakhir ini, peringatan Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas) diperingati di masa pandemi covid-19. Berkaitan dengan hal tersebut, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) pun kembali memberikan catatan penting bagi Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Mendikbud ristek), Nadiem Makarim.
Menurut Komisioner KPAI bidang pendidikan, Retno Listyani, bahwa pandemi telah berdampak signifikan terhadap menurunnya kualitas pendidikan di Indonesia.
Selain itu, angka putus sekolah meningkat, yang berarti target RPJMN untuk meningkatkan lama sekolah menjadi terancam gagal tercapai.
Badan Pembangunan Nasional (Bapenas) mencatat, bahwa pandemi Covid-19 di Indonesia telah menambah jumlah penduduk miskin, meningkatkan pekerja anak, dan meningkatkan putus sekolah.
Data ini, kata Retno, sejalan dengan pengawasan KPAI selama 2020 telah terjadi angka putus sekolah karena menikah sebanyak 119 kasus dan putus sekolah karena menunggak SPP sebanyak 21 kasus.
“Sedangkan pada Januari-Maret 2021 ada 33 kasus anak putus sekolah karena menikah, dua kasus karena bekerja, sebanyak 12 kasus karena menunggak SPP dan dua kasus karena kecanduan gadget sehingga harus menjalani perawatan dalam jangka panjang,” tutur Retno, seperti dilansir dari jpnn, Minggu (2/5).
Berikut ini sejumlah catatan KPAI, hasil pengawasan maupun survei dan kajian terkait penyelenggaraan pendidikan dan berbagai kebijakan pendidikan di masa pandemi Covid-19.
1. Kebijakan Belajar dari Rumah (BDR) atau pembelajaran jarak jauh (PJJ) terus menuai masalah dan tidak juga dapat dicarikan solusinya oleh pemerintah pusat maupun daerah, meskipun berbagai kebijakan dalam upaya mengatasinya sudah dibuat. Seperti kebijakan panduan BDR atau PJJ, kebijakan bantuan kuota internet, kebijakan kurikulum khusus dalam situasi darurat, kebijakan standar penilaian di masa pandemic, dan terakhir melakukan 3 kali relaksasi terhadap SKB 4 Menteri tentang pembelajaran tatap muka (PTM) di masa pandemi.
2. Menurut KPAI, tidak efektifnya sejumlah terobosan yang dibuat pemerintah untuk mengatasi BDR atau PJJ dikarenakan:
(a) BDR atau PJJ terlalu bertumpu pada internet, akibatnya sejumlah kendala pembelajaran daring terjadi karena keragaman kondisi keluarga peserta didik, keragaman kondisi daerah seluruh Indonesia; dan kesenjangan digital yang begitu lebar antar daerah di Indonesia.
(b) Tidak pernah ada pemetaan kesenjangan kemampuan digital dan kemampuan ekonomi antara anak-anak di pedesaan dengan di perkotaan, antara anak-anak dari keluarga miskin dengan anak-anak dari keluarga kaya. Padahal BDR atau PJJ sangat dipengaruhi oleh faktor peranan orang tua peserta didik.
(c) Tidak ada pemetaan variasi BDR atau PJJ yang dibangun bersama antara guru, siswa dan orang tua.
(d) Kebijakan BDR/PJJ yang terkesan menyamakan masalah sehingga hanya satu solusi untuk semua problem BDR atau PJJ yang ada.
(e) Kondisi setelah satu tahun lebih BDR atau PJJ mengakibatkan kejenuhan pada peserta didik sehingga menurunkan semangat belajar; munculnya masalah alat daring, masalah jaringan internet yang sulit, masalah tidak adanya interaksi guru-siswa dalam proses BDR/PJJ dan banyak anak kelas XII yang lulus tahun ini menunda kuliah karena sedang masa pandemi. Ini memunculkan potensi bertambahnya pengangguran, meningkatkan angka perkawinan anak dan pekerja anak;
3. Solusi dampak buruk PJJ atau BDR adalah merelaksasi PTM padahal secara riil Indonesia belum mampu mengendalikan pandemi Covid-19.