Laporan: Em Simabua
Warga Dusun III Sumber Sari Desa Perhentian Sungkai, Kecamatan Pucuk Rantau, Kabupaten Sengingi, Riau minta aparat pemerintah daerah tersebut memenuhi janji dengan memberikan hak hak mereka sebagai warga masyarakat sebagaimana layaknya di Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Demikian disampaikan Agus Salim Tanjung, Kepala Dusun III Sumber Sari ketika diwawancarai daelpos.com di Dusun Sumber Sari Desa Perhentian Sungkai.
“Permintaan ini kami sampaikan sesuai janji yang disampaikan setiap pejabat aparat pemerintah daerah ini, khususnya para kepala Desa, Camat, Dinas Kehutan bahkan para calon Legislatif maupun bupati yang datang ke sini,” kata Agus, sapaan Kepala Dusun, Sumber Sari.
Didampingi dua tokoh masyarakat dusun III Sumber Sari lainnya, masing masing Sugrianto dan Misman, Agus menambahkan bahwa kedatangan para aparat dimaksud tentu diharapkan dapat memberikan perubahan ke arah yang lebih baik kepada warga dusun III Sumber Sari. Bukan hanya datang agar dibantu oleh warga seperti yang disampaikan setiap berkunjung.
“Tapi kenyataannya, sampai hari ini kami tidak pernah merasakan adanya bantuan terhadap apapun khususnya mengenai fasilitas umum ataupun lainnya. Sementara kami bersama warga menghadapi berbagai persoalan tidak hanya disektor pekerjaan, juga penyediaan berbagai fasilitas umum, seperti sarana pendidikan, rumah ibadah dan lainnya yang sangat diperlukan,” jelas Agus.
Tidak hanya itu, di sektor kenyamanan bermasyarakat, warga dusun III ini malah pernah di teror oleh masyarakat pemuda yang mengaku warga asli daerah tersebut. Mereka meminta semacam “upeti” dalam jumlah nominal tertentu, karena warga dusun yang umumnya pendatang ini disebut sebut mengambil lahan turun temurun mereka begitu saja.
“Rata rata warga masyarakat kami memang merupakan pendatang, tetapi kami datang ke sini bukan sebagai kriminal yang ambil hak orang ataupun kelompok seenaknya. Kami ditawarkan oleh para pemuka adat di daerah ini yaitu tempat kami berinduk di Desa Perhentian Sungkai. Kami punya lahan berdasarkan jual beli resmi dan diperkuat tandatangan dan stempel Kepala Desa Perhentian Sungkai,” cerita Agus (37 tahun) yang berasal dari Sumatera Utara.
Agus yang sudah tujuh tahun dipercaya dan menjabat sebagai Kepala Dusun III Sumber Sari ini bercerita, sekitar enam tahun lalu ada rombongan dari Dinas Kehutanan, Dinas Perkebunan dan Kejaksaan Kabupaten Kuantan Sengingi. Mereka datang karena mendapat informasi bahwa warga pendatang masuk hutan dan bermukim di daerah itu mendapatkan lahan dan melakukannya dengan membuka paksa hutan milik pemerintah.
“Kami terima kedatangan mereka dengan baik dan kami bawa keliling, sekalian melihat dan membuktikan apakah memang hutan yang dimaksud yang kami miliki. Ternyata mereka membuktikan dengan mata kepala sendiri bahwa lahan yang diusahakan para pendatang untuk berladang tersebut bukan lah dengan memaksa masuk dan merusak hutan, karena memang tidak ada hutan belantara seperti yang dimaksud,” jelasnya.
Sementara itu Sugrianto, tokoh masyarakat yang ikut mendampingi Agus menambahkan. Sejak dirinya datang ke dusun tersebut, pihaknya belum pernah merasakan bantuan sedikitpun dari pemerintah, apalagi yang namanya fasilitas umum, fasilitas pendidikan 12 tahun yang wajib disediakan oleh pemerintah dan lainnya.
“Kami ini diakui sebagai warga masyarakat seperti layaknya mereka yang di desa, kecamatan dan lainnya. Tapi ketika kami minta supaya dusun kami dibantu dengan berbagai fasilitas termasuk peningkatan status lahan, mereka selalu mengatakan “akan kami pelajari” ataupun jawaban jawaban lain dalam bentuk menjanjikan. Tapi semua itu nihil,” kata Sugrianto yang sejak 2012 masuk ke Dusun III Sumber Sari.
Sampai sampai, ujar Sugrianto dalam hal pendidikan anak anak kami, agar tidak buta huruf ataupun jangan sampai dicap sebagai orang tua yang tidak mau menyekolahkan anak yang diwajibkan mulai dari TK, SD dan SMP sampai SLTA tidak ada dukungan dari pemerintah setempat.
“Terus terang, kami tidak mampu menyekolahkan anak keluar ataupun ke desa lain. Dulu, untuk kami bisa mencapai Desa terdekat seperti desa Perhentian Sungkai yang ada sekolah SDnya harus menempuh jalan setapak sepanjang 30 km,” cerita Sugrianto.
Meski sudah berusaha ke sana sini, seperti Dinas Pendidikan, Korwil Pendidikan Kecamatan dan Desa tidak ada dukungan, akhirnya warga masyarakat secara bersama sama (swadaya) membangun sekolah sekitar sembilan tahun lalu. Akhirnya di sana berdirilah SD Kelas Jauh. Juga sudah ada rumah ibadah seperti mesjid dan mushola.
Begitu juga dengan jalan poros, bagaimana mereka bisa mencapai desa terdekat dengan jarak yang tidak jauh juga dilakukan bersama sama. Warga dusun dengan rela mengorbankan lahan mereka yang kena badan jalan. Sehingga terbukalah isolasi transportasi dari dusun III Sumber Sari ke desa Sopan Jaya, Kecamatan Padang Lawas.
Semua itu berkat swadaya warga dusun tersebut, disamping kepala dusun bersama para tokoh masyarakat lainnya saling mendukung. Termasuk menjalin hubungan baik dan harmonis dengan warga Masyarakat Kecamatan Padang Lawas, Damasraya, Sumatera Barat.
Lahan sawit milik salah satu PT di Sumbar juga mengijinkan badan jalan kebun mereka dilewati warga. Maka terbukalah komunikasi dengan masyarakat Sumatera Barat. “Terus terang, untuk memenuhi sembilan bahan pokok kami sehari hari masih harus dipasok dari Provinsi Sumatera Barat. Kami sangat bersyukur semuanya berjalan baik setelah dibukanya jalan tersebut,” cerita Sugrianto (52 tahun).
Dari beberapa informasi yang berhasil dikumpulkan menyebutkan, tiga desa resmi yang berada dibawah koordinasi wilayah Kecamatan Pucuk Rantau, Kabupaten Sengingi, Riau yaitu Desa Sungai Besar, Desa Perhentian Sungkai dan Desa Sungai Besar Hilir, kebutuhan sehari hari sembilan bahan pokok mereka umumnya masih banyak dipasok dari daerah provinsi Sumatera Barat.
Di tempat yang sama tokoh masyarakat lainnya, Misman (61) menambahkan, dusun III Sumber Sari mulai dibuka pada tahun 2009, namun baru ramai dibeli para pendatang tahun 2011. Hal itu dikatakan Misman, karena ia masuk tahun 2011, tepatnya tanggal 30 April 2011 dengan membeli lahan di dusun tersebut.
Menurut Misman, sejak tahun 2012 sudah ada upaya upaya dilakukan warga masyarakat kepada pemerintah kabupaten dan provinsi, tapi semua itu hanya sia sia bagaikan bayang bayang. “Soal bertemu bupati Kuantan Sengingi, anggota Polda Riau ataupun ke Pemda provinsi Riau bagi kami sudah biasa, namun semua itu sia sia,” kata Misman yang akrab dipanggil “pak Kumis”.
Masih cerita Misman, warga dusun III Sumber Sari sudah trauma dengan upaya upaya yang dilakukan agar hak dan status keberadaan mereka di bumi NKRI semua sama sesuai dengan Undang Undang Dasar 1945. Bahwa penduduk Indonesia adalah Warga Negara Kesatuan Republik Indonesia yang memiliki hak tempat tinggal dan semua fasilitas lain yang wajib disediakan oleh negara berdasarkan peraturan yang berlaku.
Tidak seperti sekarang, ada yang menyebut mereka pendatang ilegal, mengambil hak orang ataupun menyerobot tanah pemerintah dan lain sebagainya. Sementara orang asing saja diberi hak lebih bahkan mungkin istimewa dibanding para pendatang ini yang nota bene aslinya adalah penduduk asli di NKRI.
” Kami datang ke sini, karena di kampung halaman kami yang sudah padat penduduknya dan sulit untuk mendapatkan pekerjaan apalagi memiliki lahan pertanian. Kami ke sini menjual satu satunya harta milik kami berupa rumah. Beli lahan pun kami sangat hati hati. Rata rata warga pendatang sudah 10 tahun hadir disini, kami semua hidup rukun, harmonis dan saling bahu membahu membangun kebutuhan umum melalui swadaya. Tapi semua itu tentu dalam kapasitas yang sangat terbatas,” ungkap Misman.
Jika kemudian, kata Agus, Sugrianto maupun Misman, ada pihak yang menyebut bahwa lahan yang mereka miliki ini berstatus milik pemerintah atau lainnya, jangan salahkan mereka, karena di dalam jual beli itu ada tanda tangan dan stempel resmi Kepala Desa. Bukan hanya itu, dengan surat lahan berdasarkan jual beli itu mereka dapat meminjam uang ke bank resmi seperti Bank BRI. Nah, dimana salahnya mereka, termasuk dusun dusun lainnya yang berstatus sama.
Karena itulah, mereka minta kepada pemerintah daerah Kabupaten dan Provinsi Riau hingga Pemerintah Pusat untuk memberikan hak hak mereka. Bila hal ini tidak segera dilakukan, entah bagaimana nasib mereka ke depan. Karena bagaimanapun juga yang namanya gesekan antar kampung tentu bisa saja terjadi. Apalagi mereka adalah pendatang, berbagai rongrongan, teror dari kelompok yang mengaku warga asli dan lain sebagainya tentu akan bisa terjadi.
” Kami tidak minta yang muluk muluk kepada pemerintah, kami minta dibina dengan baik oleh siapa saja. Apakah kami masuk salah satu dari tiga provinsi,. Karena kami ada di tengah tengah perbatasan provinsi Riau, Jambi dan Sumatera Barat. Tapi binalah kami dengan baik dan benar. Kami juga ingin maju seperti warga masyarakat dari desa lainnya. Anak anak kami juga butuh sekolah, kami ingin juga melihat anak anak kami bisa pintar dan berguna kelak dikemudian hari hadir membangun nusa dan bangsa ini,” harap Agus, Sugrianto dan Misman.###