Oleh: Dr. Syahganda Nainggolan
KITA harus mengacungkan jempol pada Anies, karena langkahnya diapresiasi pemerintah pusat. Sebagaimana dikatakan Achmad Yurianto, jubir pemerintah urusan Covid-19, untuk urusan penanganan wabah ini di Jakarta, mereka sudah sepenuhnya menyerahkan pada Anies.
Langkah Anies secara sistematis dan terukur yang mengarah nyaris lockdown, terakhir dengan keberhasilan menunda ibadah selama dua minggu, yang didukung tokoh-tokoh agama, serta langkah meminta warga Jakarta tinggal di rumah dan tidak keluar Jakarta selama 3 minggu, sesuai panduan internasional menangani pandemik ini.
Sebelumnya langkah-langkah Anies adalah mengumkan sebaran wilayah penderita Covid-19, membuat call center Covid-19, mengalokasi budget APBD untuk itu, memperbanyak rumah sakit dan tenaga medis melayani orang berpotensi suspect coronavirus, mengumumkan potensi transportasi KRL Jabotabek sumber penyebaran, meliburkan sekolah, menunda ujian akhir sekolah, menyiapkan pusat-pusat karantina di kelurahan, mengerahkan BUMD menjual masker yang sebelumnya hilang di pasaran, dan membuat “serangan kejutan” mengurangi jumlah operasi busway dan MRT.
Model penanganan wabah yang dilakukan Anies Baswedan ini, yang telah diapresiasi pemerintah pusat, ditambah rencana pemerintah pusat meningkatkan kapasitas peralatan medis, termasuk alat rapid test, menunjukkan langkah penanganan wabah ini ke depan sudah bisa mempunyai sistem secara nasional.
Artinya negara hadir. Jika negara sudah hadir, namun masyarakat masih kurang disiplin, tingkat berikutnya, seperti di Prancis adalah memberlakukan lockdown.
Langkah Berikutnya Apa?
Dalam konteks penangan wabah an sich, jika model Jakarta dapat di adopsi menjadi model nasional, mengingat pula Jakarta adalah epicentrum pandemic ini, maka bahu membahu penanganan wabah ini harus dijadikan titik balik bersama, bahwa kita siap menghadapi wabah ini. Tentu dengan resiko yang besar, mengingat masih adanya unsur elit rezim Jokowi yang belum bersinergi.
Ulasan saya selanjutnya bergeser pada dampak ekonomi yang dihadapi masyarakat. Kenapa, karena dampak yang terjadi juga bersifat langsung dan mengerikan.
Pada hari ini dan kemarin, kita melihat persoalan baru di masyarakat. Komunitas pengemudi online Jawa Barat, Posko Jabar, barusan mem briefing saya bahwa penutupan berbagai tempat wisata, hiburan, dan berbagai aktifitas di Bandung dan sekitarnya, telah membuat penghasilan anggota mereka 2.900 orang terhempas. Sebanyak 2.800 orang diperkirakan akan gagal membayar kewajiban cicilan pada leasing bulan depan.
Kemarin lalu, ketua Induk Koperasi Pasar, memberitahu saya bahwa penyediaan stok bahan makanan penting dan sembako, akan terkendala dengan kemampuan Inkoppas menebus pembelian barang. Menurutnya, jika pemerintah berusaha mengendalikan pembelian barang, namun terjadi “deadlock” di sisi supply, maka situasi kacau di pasar pasar tradisonal akan terjadi.
Situasi ekonomi lainnya yang kita sudah lihat melalui media, terbentang berbagai potensi kesulitan antara lain, kenaikan dolar AS sekitar 15 hingga 17 persen dalam waktu mendadak, akan menyulitkan penyediaan bahan baku impor, seperti gandum, bahan farmasi dan tekstil.
Akibatnya harga-harga pangan, sandang dan obat-obatan akan melambung. Urusan dolar AS dan hancurnya harga-harga saham membuat kemampuan perusahan-perusahaan juga semakin sulit, baik menggunungnya hutang dan menurunnya revenue.
Ini pada akhirnya akan membebani kemampuan membayar upah buruh, THR, dan kesejahteran lainnya. Atau lebih buruk lagi akan ada gelombang PHK beberapa bulan ke depan.
ILO (International Labor Organization) telah memperkirakan 25 juta orang di dunia akan kehilangan pekerjaan.
Berbagai negara telah menyiapkan uang untuk mengindari kehancuran ekonominya. Stimulus paket ini bahkan sudah di jalankan dibeberapa negara. Prancis menyediakan stimulus paket ekonomi sebesar 45 miliar dolar AS (Rp 720 triliun), sedang Amerika kemarin, untuk fase dua, sekarang, disetujui 104 miliar dolar AS (Rp 1.664 triliun).
Uang ini digunakan membayar orang-orang pekerja yang tidak bekerja karena sakit atau lainnya selama musim wabah. Di Hongkong, sejak Februri lalu telah diberikan uang sebesar 1.200 dolar AS (Rp 19.200.000) sebagai subsidi bagi semua orang dewasa di sana.
Indonesia, sebagai bangsa yang suka terlambat, masih menghitung-hitung berapa uang yang bisa dialokasikan untuk dampak ekonomi wabah ini. Bahkan dampak wabah itu sendiri dari sisi non ekonomi, seperti anggaran untuk “rapid test”, baru ada kemarin, dan Prabowo baru mau terbang ke Shanghai membeli alat itu.
Sri Mulyani memperkirakan dapat merelokasi anggaran APBN untuk daerah sebesar Rp 50 triliun. Jika anggaran ini meliputi juga untuk soal wabah sendiri, maka kemungkinan anggaran paket stimulus ekonomi hanya setengahnya.
Saat ini Sri Mulyani baru mengeluarkan Rp 8,5 triliun sebagai langkah stimulus fase satu. Stimulus fase dua yang sedang berlangsung dilakukan dengan insentif pajak.
Dalam diskusi saya per WA tadi dengan anggota Banggar DPR RI, Mulyadi, sebaiknya, selain pandangan dia untuk membelokkan semua atau sebanyak-banyaknya anggaran infrastruktur ke urusan wabah dan dampaknya, serta usulan saya agar anggaran pilkada 2020 diambil juga (pesta pilkada ditunda), maka kita dapat menyediakan uang lebih dari seratus triliun.
Seratus triliun itu setara dengan pengeluaran Mesir, misalnya, yakni sebesar 6,4 miliar dolar AS. Sesama negara yang tidak terlalu maju ekonominya. Itupun bisa Jika Jokowi ikhlas tidak memikirkan lagi ambisi ambisi infrastrukturnya.
Sisi fiskal ini dengan skala seratusan triliun, bisa membantu langkah2 makro ekonomi yang dijalankan Bank Indonesia.
Dengan uang itu pemerintah baik di pusat maupun di daerah sudah dapat meramalkan dampak ekonomi atas setengah lockdown saat ini. Selain itu memikirkan keperluan biaya untuk mempertahankan daya beli, subsidi pangan dan keperluan rakyat lainnya.
Penutup
Anies telah membangun model penanganan wabah coronavirus yang diapresiasi pemerintah pusat. Meski terlambat, tidak ada yang terlalu terlambat. Lalu bagaimana nasib ekonomi kita?
Meski tetap terlambat pula dalam mengantisipasi dampak ekonomi ke depan, niat Jokowi dari sisi fiskal sudah terlihat. Namun, niat ini harus di proses dalam sensitifitas mendesak. Kita tidak perlu berpikir mendesak untuk Omnibus Law, misalnya, namun lambat dalam menentukan jumlah stimulus fiskal. Kita juga harus mengumumkan moratorium Ibukota baru dan bahkan kemungkinan menunda pilkada 2020.
DPR juga harus berperan aktif untuk menghitung. Di USA misalnya, Amerika sudah masuk pada pengajuan fase ketiga dalam stimulus ini. Baik Demokrat maupun Republic (“seperti Kadrun dan Kodok”) bekerjasama secara cepat.
Rakyat setelah menuju tenang isu wabah akan masuk pada kegelisahan isu ekonomi. Isu ekonomi tidak main-main. Hantaman keras pada pengemudi online yang akan sulit bayar cicilan ke leasing, hantaman THR buruh sebulan lagi, dll di depan mata. Semua adalah pekerjaan besar. Apakah bulan depan pemerintah mampu menganggarkan jaminan kredit bagi ojek online agar motornya tidak disita leasing?
Semoga pemerintah mampu memberi ketenangan ekonomi bagai rakyat kecil. Tentu dengan uang stimulus ekonomi di angka seratusan triliun. (*)