Merdeka Tanpa Kemerdekaan

Monday, 17 August 2020

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Oleh:Mukhaer Pakkanna
 SIRKULASI pergantian kepemimpinan nasional, tampak belum mampu mengangkat harkat, martabat, dan kesejahteraan rakyat. Kontras dari itu, kesejahteraan elite politik dan pemilik modal, jauh terdongkrak tinggi.

Bahkan, sirkulasi itu hanya memproduksi ketimpangan, segregasi sosial, dan disparitas ekonomi yang menganga lebar. Akhirnya, rakyat bertanya, apa hasil gonjang-ganjing elite politik selama ini?

Sejak proklamasi kemerdekaan, seyogianya bangsa Indonesia telah mampu melepaskan nasib anak bangsa dari belenggu penderitaan. Pada faktanya, penjajahan dalam format baru belum mampu dienyahkan. Kekuasaan ekonomi masih diakumulasi oleh segelintir orang dengan sokongan kuasa politik.

Jika zaman kolonialisme primitif dilakukan secara kasar, bahkan dengan pendekatan militer, saat ini proses relasinya dilakukan secara sophisticated .

Jika pada zaman kolonialisme primitif, menggunakan sistem cultuurstelsel  untuk menopang surplus ekonomi Negara kapitalis maju, dewasa ini menggunakan logika perdagangan bebas yang dikendalikan sistem informasi.

Makna kemerdekaan ada dua, yakni kemerdekaan secara prosedural-konstitusional dan kemerdekaan substantif. Kemerdekaan prosuderal-konstitusional adalah kemerdekaan yang secara prosedur, bangsa dan rakyat Indonesia telah mampu mengusir penjajah dan melepaskan diri dari kolonialisme asing.

Bahkan, secara konstitusional, alinea Pertama Pembukaan UUD 1945 menyatakan: “Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan”.

Sementara kemerdekaaan substantantif, yakni kemerdekaan bermakna luas, seperti kemerdekaan sosial, budaya, ekonomi, hukum, dan seterusnya.

Pada suatu ketika Bung Karno  menyampaikan konsep Trisakti: “berdaulat secara politik, berdikari secara ekonomi, dan berkepribadian dalam kebudayaan”. Menurut Bung Karno, suatu negara tidak akan mampu berdaulat di bidang politik, jika tidak berdikari di bidang ekonomi dan berkepribadian dalam kebudayaan.

See also  Pemerintah Targetkan 30 Juta Transformasi UMKM Digital

Dengan demikian, penjajahan yang harus dihapuskan di bumi Indonesia adalah penjajahan yang tidak sesuai perikemanusiaan dan perikeadilan. Artinya, penjajahan yang dimaksud tidak semata kolonialisme asing tapi juga kolonialisme domestik.

Fakta sejarah mengonfirmasi, kemerdekaan kata Bung Karno, merupakan “jembatan emas” menuju kemakmuran yang berkeadilan dan berperikemanusiaan.

Sebelum Indonesia dijajah, secara fakta politik sudah ada kekuasaan di tangan para raja dan sultan. Tatakala VOC tiba di tanah air, maka para raja dan sultan banyak yang menjual sumberdaya ekonominya berserta rakyat yang diperlakukan bagai budak, diserahkan kepada VOC.

Usai penjajahan VOC, dilanjutkan oleh pemerintah Belanda yang selama berabad-abad rakyat kita sengsara dieksploitasi, kerja rodi, dan dihina sebagai inlander (jongos).

Hinga kemudian di alam kemerdekaan prosedural-konstitusional sejak 17 Agustus 1945 hingga dewasa ini, fakta telanjang masih akrab terlihat penjajahan masih dilakukan oleh bangsa sendiri, pemodal kakap dan komprador domestik berkolaborasi dengan bangsa asing.

Sumberdaya ekonomi bangsa akhirnya dikuasai korporatokrasi global. Sehingga kemerdekaan substantif hanya sekadar imajinasi yang tidak pernah terwujud karena disandera oligarki kepentingan ekonomi dan politik.

Yang terjadi kemudian, penguasa modal kakap domestik menyebarkan “teologi balas budi” kepada penguasa dan calon penguasa politik baik secara individu maupun kelembagaan, termasuk kekuatan partai politik (parpol) besar.

Penguasa modal kakap itu tidak pernah berafiliasi dengan siapa pun, kecuali berafiliasi dan merawat kepentingan modalnya.

Mereka inilah yang sejatinya menentukan “hitam-putihnya” republik, yang seolah mereka tidak ada tapi pada faktanya merekalah yang mengatur kekuatan dan kebijakan ekonomi dan politik nasional.

Di Amerika Serikat misalnya, jumlah populasi Yahudi hanya sebesar 7 juta jiwa dari 340 juta penduduk Amerika. Orang-orang Yahudi tidak pernah berambisi menjadi Presiden Amerika. Namun, fakta berbicara bahwa siapa pun presiden di negeri Paman Sam itu, pastilah otak kebijakannya berpihak ke bangsa Yahudi.

See also  Gugus Tugas Puji Penanganan COVID-19 Berbasis Kearifan Lokal di Maluku Utara

Begitu pula kekuasaan pemilik modal kakap di Tanah Air, mereka yang jumlah secuil itu telah menentukan corak dan arah kebijakan negeri nan elok Indonesia ini. Merdeka !!

(Rektor ITB Ahmad Dahlan Jakarta)

Berita Terkait

Listrik SuperSUN Hadir di Pulau Satangnga, Hidupkan Denyut Kehidupan Warga
Mardani: BKSAP Janji Bantu Anak Muda Kerja di Jepang
Peresmian 3 Gedung Fakultas IPDN, Sinergi Kementerian PU dan Kemendagri Dukung Infrastruktur Pendidikan
Pertamina Luncurkan Green Movement
Zulhas Apresiasi Jateng Bentuk 3.000 Kopdes Merah Putih
Kementerian PU Tegaskan Dukungan Penuh Arah Kebijakan Pemerintah
Badai PHK Pabrik, LaNyalla Berharap Koperasi Merah Putih Jadi Pintu Gerakan Kembali ke Desa
Hutama Karya Wujudkan Kemandirian Ekonomi dan Pendidikan Berkualitas Melalui Program HK Hadir di Sumatera

Berita Terkait

Friday, 9 May 2025 - 14:24 WIB

Listrik SuperSUN Hadir di Pulau Satangnga, Hidupkan Denyut Kehidupan Warga

Thursday, 8 May 2025 - 14:11 WIB

Mardani: BKSAP Janji Bantu Anak Muda Kerja di Jepang

Thursday, 8 May 2025 - 09:01 WIB

Peresmian 3 Gedung Fakultas IPDN, Sinergi Kementerian PU dan Kemendagri Dukung Infrastruktur Pendidikan

Wednesday, 7 May 2025 - 21:48 WIB

Pertamina Luncurkan Green Movement

Wednesday, 7 May 2025 - 13:33 WIB

Zulhas Apresiasi Jateng Bentuk 3.000 Kopdes Merah Putih

Berita Terbaru