DAELPOS.com – Aktivitas La Nina dan angin monsun menjadi salah satu pemicu banjir di beberapa wilayah di Jawa. Hal tersebut diungkap Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Dwikorita Karnawat.
“Kami katakan siaga banjir, hujan pemicunya, kami prediksi dapat mencapai lebih dari 100 milimeter. Pemicunya ini yang menjadikan potensi banjir, benar-benar menjadi banjir,” ujar Dwikora melalui akun instagram @infobmkg, Senin (8/2).
Dwikora menjelaskan La Nina adalah fenomena anomali iklim. Dia mengatakan La Nina akibat dari pemanasan iklim secara global.
Dwikor berkata suhu muka air luat di Samudra Pasifik saat ini lebih dingin dibandingkan dengan suhu muka air luar di wilayah Indonesia. Dia menyebut suhu muka air laur di Indonesia saat ini rata-rata 29,4 derajat Celsius atau naik dari biasanya sekitar 25 derajat Celsius.
“Perbedaan mencolok di sini (Indonesia) panas, di Pasifik dingin, akibatnya terjadi aliran massa udara basah dari Pasifik menuju kepulauan Indonesia dan membawa uap-uap air dari Samudera Pasifik. Dan ini menambah pasokan curah hujan bulanan di Indonesia hingga 40 persen,” ujarnya.
Sedangkan fenomena angin monsun Asia, dia berkata sedang mencapai puncaknya pada bulan ini. Dalam laman resmi, BMKG menyatakan angin monsun atau bisa disebut juga angin musim adalah angin yang bertiup dalam skala regional (skala benua) yang berubah arah azimut minimal 120 derajat dan terjadi secara periodik (6 bulan sekali).
Indonesia, kata BMKG terkena dampak dari 2 tipe angin monsun, yakni Monsun Timuran dan Monsun Baratan. Angin Monsun Timuran rata-rata bertiup dari atah timur hingga tenggara dan bertiup pada bulan April sampai dengan Oktober di setiap tahunnya. Angin Monsun Timuran ini adalah indikator musim kemarau bagi wilayah Indonesia.
“Sedangkan Angin Monsun Baratan rata-rata bertiup dari arah barat hingga barat laut dan bertiup pada bulan Oktober sapai dengan April di setiap tahunnya. Angin monsun Baratan ini adalah indikator musim hujan bagi wilayah Indonesia,” kata BMKG.
Kepala Sub Bidang Peringatan Dini Iklim BMKG, Supari menjelaskan La Nina adalah kejadian penyimpangan iklim yang ditandai dengan kondisi suhu muka laut di Samudra pasifik equator bagian tengah dan timur yang lebih dingin dibanding normalnya. Kondisi ini akan memicu penyimpangan pada gerak masa udara di atmosfer.
Fenomena La Nina umumnya terjadi setelah El Nino sehingga para ahli berpendapat kejadian La Nina merupakan salah satu cara sistem iklim mencapai keseimbangan. El Nino merupakan kejadian penyimpangan iklim dimana suhu muka laut di samudra pasifik menghangat hingga diatas normalnya.
“La Nina dan El Nino adalah fenomena alamiah yang memiliki periode ulang berkisar 2-7 tahun. La Nina terakhir sblm ini adalah La Nina 2017/2018,” kata Supari.
Kajian akademik BMKG, kata Supari menunjukkan bahwa La Nina dapat meningkatkan jumlah curah hujan bulanan hingga 40 persen. Namun sebaran wilayah terdampaknya berbeda tergantung bulan kejadiannya.
Prakirawan BMKG, Nanda Alfuadi menjelaskan monsun merupakan istilah yang berasal dalam bahasa Arab ‘mausim’ yang artinya musim. Monsun di Indonesia merupakan bagian dari aktivitas monsun Asia Timur dan Asia Tenggara.
Angin Monsun Asia adalah pergerakan massa udara dari Asia, yakni Siberia dan China menuju wilayah ekuator (Indonesia) yang dapat menyebabkan atmosfer di wilayah Indonesia menjadi lebih lembap dan potensi pembentukan awan hujan menjadi meningkat signifikan.
“Monsun digunakan untuk menggambarkan kondisi iklim yang berubah dengan jelas secara musiman akibat adanya pergantian angin kuat saat antara musim dingin dan musim panas,” kata Nanda
Nanda membeberkan monsun Asia disebabkan peningkatan tekanan udara di wilayah Asia Timur dan Siberia ketika di belahan bumi utara mengalami musim dingin. Hal ini menyebabkan peningkatan beda nilai tekanan udara di wilayah sekitar ekuator dan Asia.
“Perbedaan tekanan ini menyebabkan udara akan cenderung bergerak dari Asia (tekanan tinggi) menuju Indonesia (tekanan rendah),” ujarnya.
Ada sejumlah dampak dari monsun Asia yang aktif. Pertama, peningkatan kecepatan angin di sekitar Laut Cina Selatan, Selatan Karimata, dan Laut Jawa. Kedua, peningkatan ketinggian gelombang di Laut Cina Selatan, Selatan Karimata, dan Laut Jawa.
“Ketiga, peningkatan potensi pembentukan awan hujan di Indonesia sehingga Indonesia mengalami musim hujan,” ujar Nanda