DAELPOS.com – Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Bahlil Lahadalia hadir menjadi pembicara pada kuliah umum di STP – STKIP Hatta Sjahrir di Banda Naira, Maluku belum lama ini. Di hadapan 150 mahasiswa, Bahlil menceritakan bahwa dirinya lahir di Banda, Maluku dan sempat menempuh sekolah dasar di Banda, sebelum akhirnya pindah ke Papua.
“44 tahun lalu, seorang bayi laki-laki lahir di Desa Gunung Api Utara, di kampung Batu Angus. Bayi tersebut menyelesaikan sekolah dasar di Banda, lanjut ikut orang tua di Papua. Bertransformasi dari hidup susah, pernah menjadi kondektur dan sopir angkot, lalu bisa menjadi Ketua Umum HIPMI, yang baru kali itu berasal dari Timur. Kini, 44 tahun kemudian, dipercaya oleh Bapak Presiden untuk mengemban amanah menjadi Kepala BKPM. Tidak ada keberhasilan tanpa perjuangan,” jelas Bahlil.
Bahlil menjelaskan bahwa kualitas mahasiswa diuji dalam 3 (tiga) hal yaitu profesionalisme, intelektualitas, dan ilmuwan. Profesionalisme diukur dari kemampuan spesifik yaitu dari ilmu yang ditekuni. Intelektualitas yaitu kemampuan untuk menguasai berbagai macam ilmu seperti politik, hukum, sosial, dan lainnya. Ilmuwan adalah bagaimana mempunyai tingkat kemampuan untuk mentransfer ilmunya kepada orang lain.
“Profesionalisme, intelektualitas, dan ilmuwan itu dapat diraih jika mahasiswa betul-betul berpikir, bekerja, dan belajar. Jangan hanya menjadi mahasiswa yang kutu buku saja, tapi harus aktif juga di organisasi. Ilmu negosiasi bisa didapatkan melalui organisasi, tidak diajarkan di kampus,” ucap Bahlil.
Dalam kesempatan ini, Bahlil mendorong mahasiswa untuk menjadi pengusaha yang sukses karena saat ini banyak sekali orang yang membutuhkan lapangan pekerjaan. Pemutusan hubungan kerja akibat pandemi COVID-19 dan lulusan perguruan tinggi yang bercita-cita menjadi karyawan atau Pegawai Negeri Sipil menyebabkan meningkatnya angka pengangguran.
“Mulai sekarang harus berpikir jadi entrepreneur, menjadi pengusaha yang mampu membuka lapangan pekerjaan untuk orang lain. Saya yakin kalian bisa. Itu bukan hal yang mustahil. Tidak perlu takut. Ada yang mengatakan kalau mau jadi pengusaha, harus anak orang kaya, anak pejabat, atau anak yang tinggal di Jakarta. Namun, Bapak dan Ibu saya bukan orang Jakarta, bukan juga pejabat dan bukan dari keluarga yang kaya. Ketika SD, saya harus pikul kelapa dari gunung api untuk membiayai uang sekolah saya. Ketika saya melanjutkan sekolah ke Papua, saya berjualan kue dari rumah ke rumah, dari hasil yang Ibu saya buat. Saya juga pernah menjual koran, menjadi kondektur dan sopir angkot. Tapi saya tidak pernah malu,” ungkap Bahlil.
Lebih lanjut, Bahlil menjelaskan bahwa menjadi pengusaha bukan merupakan hal yang susah. Yang perlu dilakukan adalah fokus, kerja keras, dan membuat jaringan seluas-luasnya.
“Yang dibutuhkan untuk modal sekarang bukan uang tapi cara berpikir. Bangun ide dan gagasan, bangun jaringan, cari investor, klop. Seorang mahasiswa yang hebat itu bagaimana ia mampu mengajak orang lain untuk mengikuti pemikirannya. Itu baru top. Saya mempunyai harapan besar kepada adik-adik semua untuk bisa bangkit, berdiri tegak bersama seluruh generasi muda yang ada di bangsa ini. Kalian tidak boleh minder. Banda jauh sebelumnya telah melahirkan orang-orang hebat dan memproses menjadi pendiri bangsa. Bung Hatta dan Bung Sjahrir, sudah ada sejak dahulu. Mereka founding fathers dari negara ini. Sekarang kita tinggal melanjutkan,” tegas Bahlil.
Banda Neira atau Banda Naira adalah salah satu pulau di Kepulauan Banda, Maluku Tengah, Maluku. Banda Neira pernah menjadi pusat perdagangan pala dan fuli (bunga pala) dunia, karena Banda adalah satu-satunya sumber rempah-rempah yang bernilai tinggi. Banda Neira erat kaitannya dengan pertukaran Pulau Run dengan Nieuw Amsterdam (Manhattan, sebuah pulau yang kini adalah bagian dari New York) yang tertuang dalam Treaty of Breda antara Inggris dengan Belanda. Pulau ini juga terkenal sebagai tempat pembuangan tahanan politik pada masa Pemerintahan Kolonial Hindia Belanda. Beberapa tokoh perjuangan nasional yang pernah merasakan tinggal di pulau ini di antaranya Mohammad Hatta, Sutan Sjahrir, dan Cipto Mangunkusumo.(*)