Oleh : Machfudz Maulana
DAELPOS.com – Kebanyakan daripada masyarakat dan penduduk betawi ini sendiri khususnya di kemanggisan sendiri masih banyak yang belum mengetahui ataupun keliru mengenai asal kata dan darimana nama “KEMANGGISAN”, memang mengherankan mungkin pada umumnya daerah atau kampung mempunyai asal muasal kata ataupun nama dan sejarah mengenai kampung tersebut dan langsung berkaitan dengan nama, tokoh besar, tempat kejadian dan kegiatan tempat tersebut, ataupun pohon dan kebon didaerah tersebut dan mungkin masih banyak dari anak-anak dan keturunan orang-orang kemanggisan yang belum mengetahui asal kata dan sejarah nama “KEMANGGISAN” karena mereka tidak bertanya pada orang tua atau sesepuhnya dan rasa ingin tahunya juga kurang tinggi terhadap tempat dan turunan yang mereka berdiam atau tinggal sampai saat ini.
Berhubung belum ada artikel dan web atau blog, serta media cetak atau online yang secara gamblang yang mengupas dan menuliskan tentang asal kata dan asal muasal kampung Kemanggisan pada zaman dahulunya hingga sampai sekarang yang sudah menjadi fenomena kampung yang padat penduduk, Elit, Modern dan Ramai dengan penduduk yang bermacam-macam etnis dan suku bangsa.
Dari kebanyakan artikel dan situs internet hanya membahas tentang Silat (maen atau gerak pukul saja) bukan sholat, ngaji dan ibadah yang lebih identik dan kesehariannya pada kala itu, malah menurut saya lebih kepada kultur Jawara, Jagoan, Centeng, Mandor, Bek (padahal banyak juga ulamanya) jarang sekali dan hampir tidak ada yang membahas tentang Sejarah Kampoeng “KEMANGGISAN”, karena memang dulunya banyak Jawara/ Jagoan bahkan Ulama/ Kiayi yang terlahir dalam area Kemanggisan yang sampai saat ini menjadi tokoh sejarah, nama jalan dan mewangikan nama “KEMANGGISAN”
Tapi tidak dengan Kemanggisan secara tradisional kultur masyarakat Betawi Kemanggisan pada umumnya “in General” terbagi dalam 4 kelompok:
- Petani Kembang dan Pohonan Hias
- Pedagang Hewan; Kerbau (kebo), Kambing, Buah-buahan dan Makelar/ Calo
- Ulama dan Kyai
- Jawara (jagoan, centeng, mandor, bek)
Kelompok Petani dan Pedagang tidak banyak yang menekuni permainan silat (maen pukul/ gerak pukul) hanya beberapa saja yang menekuni karena kultur Betawi Kemanggisan yang sudah menjadi pameo/ koyokan, adat dan budaya sebagai “Sholat dan Silat”. Tidak seperti kelompok Jawara “Jagoan” mereka sangat menekuni silat “maen pukul”. Kelompok Ulama/ Kyai juga tidak seluruhnya jago main Silat atau pukulan kadang untuk sekedar tau saja, ada juga yang menekuni sampai selesai/ rapi, tetapi lebih pada ahli dalam Ilmu kebathinan/ Hikmah seperti Sin Lam Ba, Al hikmah, Alif dan lainnya.
Perilaku dan Sifat Masyarakat Kemanggisan
Asumsi kebanyakan orang tentang masyarakat Betawi ini jarang yang berhasil, baik dalam segi ekonomi, pendidikan, dan teknologi. Padahal tidak sedikit orang Betawi yang berhasil. Beberapa dari mereka adalah Muhammad Husni Thamrin, benyamin Sueb, dan Fauzi Bowo yang menjadi Gubernur Jakarta saat lalu, Bem Benyamin dan masih banyak lagi yang lainnya.
Ada beberapa hal yang positif dari orang-orang Betawi antara lain Jiwa sosial mereka sangat tinggi, walaupun terkadang dalam beberapa hal terlalu berlebih dan cenderung tendensius. orang betawi juga sangat menjaga nilai-nilai agama, adab dan akhlak yang tercermin dari ajaran orangtua (terutama yang beragama islam), kepada anak-anaknya. Masyarakat betawi kemanggisan sangat menghargai pluralisme. hal ini terlihat dengan hubungan yang baik antara masyarakat betawi dan pendatang dari luar Jakarta.
Orang betawi kemanggisan sangat menghormati budaya yang mereka warisi. terbukti dari perilaku kebanyakan warga yang masih memainkan lakon atau kebudayaan yang diwariskan dari masa ke masa seperti lenong, ondel-ondel, gambang kromong, panjat topeng, tari-tarian dan lain-lain.
Memang tidak bisa dipungkiri bahwa keberadaan sebagian besar masyarakat betawi kemanggisan masa kini agak terpinggirkan oleh modernisasi di lahan lahirnya sendiri namun tetap ada optimisme dari masyarakat betawi generasi mendatang yang justru akan menopang modernisasi tersebut dan bahkan bisa menjadi pioner orang-orang betawi yang lainnya.
Seni dan Kebudayaan di Kemanggisan
Dalam bidang kesenian, misalnya, orang Betawi memiliki seni Gambang Kromong yang berasal dari seni musik Tionghoa, tetapi juga ada Rebana yang berakar pada tradisi musik Arab Keroncong tugu dengan latar belakang Portugis – Arab, dan Tanjidor yang berlatar belakang ke Belanda-an. Saat ini Suku Betawi terkenal dengan seni Lenong, Gambang Kromong, Rebana Tanjidor dan Keroncong
Sifat campur-aduk dalam dialek Betawi Kemanggisan adalah cerminan dari kebudayaan Betawi Kemanggisan secara umum, yang merupakan hasil perkawinan berbagai macam kebudayaan, baik yang berasal dari daerah-daerah lain di Nusantara maupun kebudayaan asing. Dalam bidang kesenian, misalnya, orang Betawi memiliki seni Gambang Kromong yang berasal dari seni musik Tiongkok Tetapi juga ada Rebana yang berakar pada tradisi musik Arab, Keroncong Tugu dengan latar belakang Portugis, Arab, dan Tanjidor yang berlatar belakang ke Belanda an.
Secara biologis, mereka yang mengaku sebagai orang Betawi Kemanggisan adalah keturunan kaum berdarah campuran aneka suku dan bangsa ada darah arab, tionghoa, india, pakistan dan samarkhan. Mereka adalah hasil kawin-mawin antar etnis dan bangsa di masa lalu.
Bahasa dan Logat Betawi Kemanggisan
Sifat campur-aduk yang logatnya mengayun berciri khas “E” bukan “A” seperti betawi yang berada dipinggiran Jakarta, karena betawi kemanggisan masuk dalam kategori betawi tengah dan elit dalam dialek betawi kemanggisan adalah cerminan dari kebudayaan Betawi secara umum, yang merupakan hasil perkawinan berbagai macam kebudayaan, baik yang berasal dari daerah-daerah lain di Nusantara maupun kebudayaan asing dan timur tengah.
Ada juga yang berpendapat bahwa suku bangsa yang mendiami daerah sekitar batavia juga dikelompokkan sebagai suku Betawi awal (proto Betawi). Menurut sejarah, Kerajaan Tarumanagara, yang berpusat di Sundapura atau Sunda Kalapa, pernah diserang dan ditaklukkan oleh kerajaan Sriwijaya dari Sumatera. Oleh karena itu, tidak heran kalau etnis Sunda di pelabuhan Sunda Kalapa, jauh sebelum Sumpah Pemuda, sudah menggunakan bahasa Melayu, yang umum digunakan di Sumatera, yang kemudian dijadikan sebagai bahasa nasional.
Karena perbedaan bahasa yang digunakan tersebut maka pada awal abad ke 20 Belanda menganggap orang yang tinggal di sekitar Batavia sebagai etnis yang berbeda dengan etnis sunda dan menyebutnya sebagai etnis betawi (kata turunan dari Batavia). Walau demikian, masih banyak nama daerah dan nama sungai yang masih tetap dipertahankan dalam bahasa sunda seperti kata Ancol, Pancoran, Cilandak, Ciliwung, Cideng (yang berasal dari Cihideung dan kemudian berubah menjadi Cideung dan tearkhir menjadi Cideng), dan lain-lain yang masih sesuai dengan penamaan yang digambarkan dalam naskah kuno Bujangga Manik yang saat ini disimpan di perpustakaan Bodleian, Oxford, Inggris.
Meskipun bahasa formal yang digunakan di Jakarta adalah Bahasa Indonesia bahasa informal atau bahasa percakapan sehari-hari adalah Bahasa Indonesia dialek betawi
Kepercayaan Betawi Kemanggisan
Orang Betawi Kemanggisan sebagian besar menganut agama islam, yang diyakini selain warisan leluhurnya mereka juga istiqomah dalam menjalankan syariat agamanya tetapi yang menganut agama kristen, protestan dan katholik juga ada namun hanya sedikit sekali. Di antara suku Betawi Kemanggisan yang beragama Kristen, ada yang menyatakan bahwa mereka adalah keturunan campuran antara penduduk lokal dengan bangsa Portugis Hal ini wajar karena pada awal abad ke-16, Surawisesa, raja Sunda mengadakan perjanjian dengan Portugis yang membolehkan Portugis membangun benteng dan gudang di pelabuhan sunda kelapa sehingga terbentuk komunitas Portugis di Sunda Kalapa. Komunitas Portugis ini sekarang masih ada dan menetap di daerah kampung tugu, jakarta utara
Profesi Masyarakat Kemanggisan
Di Jakarta orang Betawi Kemanggisan sebelum era pembangunan orde baru, terbagi atas beberapa profesi menurut lingkup wilayah (kampung) mereka masing-masing. Semisal di kampung Kemanggisan dan sekitaran Rawabelong banyak dijumpai para petani kembang (anggrek, kemboja jepang, dan lain-lain). Dan secara umum banyak menjadi guru, pengajar, dan pendidik semisal K.H Taisir, K.H Syahdan, K.H Djaimin, K.H. Djunaedi, K.H. Suit, H. Muchtar, H. Cholil dll. Profesi pedagang, pembatik juga banyak dilakoni oleh kaum betawi kemanggisan. Petani dan pekebun juga umum dilakoni oleh warga Kemanggisan.
Kampung yang sekarang lebih dikenal dengan Kuningan adalah tempat para peternak sapi perah. Kampung Kemandoran di mana tanah tidak sesubur Kemanggisan. Mandor, bek, jagoan silat banyak di jumpai disana semisal Mat Item, Ji’ih teman seperjuangan Pitung dari Rawabelong. Di kampung Kemanggisan banyak warga adalah kaum pekerja buruh kantoran sejak zaman Belanda dulu, meski kemampuan pencak silat mereka juga tidak diragukan. Guru, pengajar, ustadz, dan profesi pedagang eceran juga kerap dilakoni.
Warga Kemanggisan aslinya adalah orang-orang Betawi turunan arab dan tionghoa, karena saat itu tekanan perang zaman Belanda yang menyebabkan warga Betawi eksodus ke Kemanggisan dan sekitarnya untuk “mencari” tempat dan kenyamanan hidup yang hakiki yang sekarang dinikmati oleh anak cucunya sampai saat ini. Karena asal-muasal bentukan etnis mereka adalah multikultur (orang Nusantara, Tionghoa, India, Arab, Belanda, Portugis, dan lain-lain), profesi masing-masing kaum disesuaikan pada cara pandang bentukan etnis dan bauran etnis dasar masing-masing.
Asal Kata Nama Kemanggisan
Kembali lagi kita berfikir dan telusuri dalm benak kita, apakah benar waktu itu banyak pohon manggis ataupun ada kebon manggis yang luas sehingga jadi patokan dan acuan namanya, dan ternyata setelah ditelusuri dan ditanya-tanya pada orang tua dan sesepuh Kemanggisan yang saat itu masih ada (2012) ternyata tidak ada kebon manggis, pohon manggis pun yang banyak dan berlebihan juga tak ada, hanya ada dirumah tumbuh pohon manggis itupun tidak semua rumah yang ada di kemanggisan,
Dan jikalau memang itu berasal dari sebuah “Manggis” atau buah Manggis kenapa namanya tidak “Kebon Manggis, Pondok Manggis ataupun Kampung Manggis” ini malah Kemanggisan yang awalannya Ke- dan akhirannya – an, yang sangat janggal, tidak biasa dan jarang bahkan tidak dijumpai dalam setiap penamaan suatu daerah yang ada di Indonesia.
Tapi, dari mana asal kata Kemanggisan? Saya pernah menelusurinya, dengan bertanya kepada penduduk, encang, encing, engkong, kumpi dan orang-orang tua setempat. Juga mencoba membuka-buka literatur yang berisi kampung tua di Jakarta. ternyata tidak (atau belum) ditemukan asal kata Kemanggisan yang ada saat ini adalah sebuah perekayasaan nama yang diambil dari buah manggis yang dijadikan suatu Tugu di pertigaan untuk mengklirkan suatu sejarah yang bukan aslinya ataupun mengaburkan sejarah asli nama kemanggisan.
Jika kita menilik dari namanya, seolah sepertinya berasal dari kata “Manggis”. Yakni jenis buah-buahan yang kulitnya berwarna hitam namun dalamnya putih dan rasanya manis. Manggis pun sering dijadikan permainan teka-teki atau tebakan zaman orde baru, yakni dengan menebak jumlah buah lewat bagian luarnya. Dari sinilah muncul istilah, “tebak-tebak buah manggis”.
Bila demikian, saya berpendapat boleh jadi saat itu ataupun dulu di Kemanggisan
terdapat banyak pohon manggis “mungkin asumsi dan nalar saya mengatakan itu”. Tapi
Sayang, banyak orang tua dulu dan sesepuh yang bilang dan mengatakan tidak
adanya kebon manggis yang luas dan besar, misal seperti; salak condet di condet
itukan ada kebonnya, salah cipondoh itu juga ada kebonnya luas dan bahkan
beberapa orangtua dan sesepuh dikemanggisan geleng kepala saat saya tanyakan
soal ini. Mereka tak tahu di mana ada kebun manggis dulu. Hanya yang pasti,
saat Kemanggisan masih kampung, banyak rumah penduduk yang masih memiliki kebun
yang diisi berbagai buah-buahan seperti nangka, pisang, pepaya, mangga sampai
durian. Tapi yang namanya manggis, tampaknya tidak hampir ditemukan.
Kembali ke soal nama, jadi dari mana kata Kemanggisan itu berasal? Apakah berasal dari kata Kemang? Ohya, kemang adalah sejenis buah yang masih satu keluarga dengan mangga. Nama latinnya mangifera kemang caecea. Hingga tahun 1950-an, di Jakarta masih terdapat buah kemang. Tapi sekarang sudah tidak ada lagi. Kabarnya hanya ditemukan di kawasan Bogor. Tapi jikalau asalnya dari buah kemang itupun sudah ada namanya yang sekarang sangat terkenal di daerah selatan Jakarta.
Jadi dari semua literatur dan wawancara yang saya lakoni dari tahun 2012 pada orang tua, keluarga, sesepuh dan tokoh masyarakat dikemanggisan (H. Muchtar Azhari, Hj. Hakimah, RW 011 Zainuddin, Hj. Tiharoh, H. Mar’uf, dll), bahkan ada yang sudah meninggal dunia saat artikel ini selesai, akhirnya ketemulah benang merahnya bahwa Asal kata Kemanggisan adalah dari “KEBENGISAN”. Yang dikenal sejarah Tragedi Pecah Kulit yang mana orang bangsa kita khususnya orang kemanggisan saat itu diseret memakai kuda oleh Belanda dari Kemanggisan sampai Harmoni Kota samapi kulitnya pada pecah dan ngelupas (makanya disebut tragedi pecah kulit), dengan prilaku belanda yang demikian semua orang yang menyaksikan kala itu berteriak termasuk kalangan tionghoa mengatakan “Bengis…bengis, Kebengisan…. Kebengisan(artinya sangat kejam dan sadis)” yang akhirnya berubah menjadi Kemanggisan dikarenakan banyak orang tionghoa yang agak pelo logat suaranya. Dari namanya saja sangat kontroversial dan mengandung makna sejarah yang tinggi, adapun orang tidak percaya tapi inilah fakta dan sejarahnya, ada juga yang saya kulik mengatakan karena Tragedi Pecah Kulit di zaman Perang Belanda itu maka masyarakat Kemanggisan dendam dan bersatu, jika ada orang-orang belanda masuk ke daerah kemanggisan langsung habis dibantai, dari situ timbul-lah kata-kata dari mulut orang belanda “orang-rang disana sangat bengis…kebengisan…kemanggisan (logat pelo belanda) akhirnya jadi kemanggisan seiring berjalannya waktu”. Dan terlebih uniknya lagi nama Kemanggisan hanya ada satu saja yaitu di Jakarta Barat doang, berdasarkan survey tidak ada ditempat lain, tidak seperti nama kampung dan jalan yang lain itu banyak ataupun dobel misalnya Mampang ada beberapa mampang di Jaksel dan di Depok juga ada Mampang, begitupun Pramuka, Harmoni, Ciledug, Kebon Jeruk, Kemang, Kebon Jahe, Kebon Pala dan lain sebagainya
Jadi itulah sejarah dan asal muasal kata “KEMANGGISAN” yang sesungguhnya berdasar informasi yang saya gali dan telusuri selama beberapa tahun ini, mudah-mudahan artikel ini bermanfaat bagi pencari sejarah kemanggisan, penulis, khususnya orang-orang Kemanggisan agar mengetahui informasi dan sejarah yang hak dan benar, bukan tebak-tebak seperti buah manggis hehehe…dan ingat jika mengutip artikel ini harus mencantumkan nama penulis (blog/ identitas), karena setiap tulisan itu dilindungi hak cipta sesuai UU No. 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta
Hasil Survey Lapangan (Metode Empiris)
- Wawancara langsung pada Sesepuh Kemanggisan H. Muchtar Azhari bin Taisir, 29 Januari 2013
- Wawancara langsung pada Sesepuh Kemanggisan H. Ma’ruf bin Abdul halim, Januari 2013
- Ngobrol langsung dengan Tokoh Masyarakat, Ustadzah Hj. Hakimah Aminullah, Juni 2013
- Ngobrol langsung dengan Sesepuh Kemanggisan Nyi Hj. Tiharoh Maret 2015
- Ngobrol langsung dengan Ketua RW 011 Palmerah, Zainuddin, November 2017
- Daerah Khusus Ibukota Jakarta (DKI Jakarta, Jakarta Raya) adalah ibu kota negara Indonesia. Jakarta merupakan satu-satunya kota di Indonesia yang memiliki status setingkat provinsi. Jakarta terletak di bagian barat laut Pulau Jawa. Dahulu pernah dikenal dengan nama Sunda Kelapa (sebelum 1527), Jayakarta (1527-1619), Batavia, Betawi, atau Jacatra (1619-1942), dan Djakarta (1942-1972).
- Jakarta memiliki luas sekitar 661,52 km² (lautan : 6.977,5 km²), dengan penduduk berjumlah 7.552.444 jiwa (2007). Wilayah metropolitan Jakarta (Jabotabek) yang berpenduduk sekitar 23 juta jiwa, merupakan metropolitan terbesar di Indonesia atau urutan keenam dunia.
- Jakarta berlokasi di sebelah utara Pulau Jawa, di muara Ci Liwung, Teluk Jakarta.
- Jakarta terletak di dataran rendah pada ketinggian rata-rata 8 meter dpl. Hal ini mengakibatkan Jakarta sering dilanda banjir. Sebelah selatan Jakarta merupakan daerah 4 pegunungan dengan curah hujan tinggi. Jakarta dilewati oleh 13 sungai yang semuanya bermuara ke Teluk Jakarta. Sungai yang terpenting ialah Ci Liwung, yang membelah kota menjadi dua. Sebelah timur dan selatan Jakarta berbatasan dengan provinsi Jawa Barat dan di sebelah barat berbatasan dengan provinsi Banten.