Terkait Masa Jabatan Diperpanjang Kades Harus Sesuai UU

foto ist

DAELPOS.com – Sekitar ribuan kepala desa yang melakukan aksi demonstrasi di depan Gedung MPR/DPR RI Kamis (16/1/2023), yang menginginkan agar Undang-Undang (UU) Nomor 6/2014 Tentang Desa khususnya di Pasal 39 Ayat (1) direvisi. Mereka menginginkan masa jabatan kepala desa yang semula enam tahun diubah menjadi sembilan tahun.

Alasan para kepala desa mendesak adanya revisi UU Desa, karena menginginkan para kepala desa berdaulat memimpin wilayahnya. Mereka meminta dikembalikannya kewenangan mengurus Dana Desa dan yang menjadi hak prerogratif kepala desa.

Sebab, menurut mereka dalam praktiknya saat ini mereka merasa terkekang dan tidak leluasa menjalankan tugas dan fungsinya, karena terganjal dengan aturan-aturan yang dianggap tidak memberikan keleluasaan untuk mengurusi wilayahnya sendiri.

Padahal, para kepala desa merupakan ujung tombak pemerintah pusat melakukan berbagai program pemerintahan. “Tuntutan kami adalah bahwa kedaulatan desa dikembalikan ke desa, selama ini kita merupakan ujung tombak dari pemerintahan pusat, akan tetapi aturan yang ada di daerah masih bergantung pada kebijakan di pusat,” ujar Joko Priyanto, Kepala Desa Buloh, Kecamatan Kunduran, Kabupaten Blora, Jawa Tengah saat menyampaikan orasi di depan gedung MPR/DPR RI, Jakarta, Selasa (17/1/2023) lalu.

Sudah Diatur UU

Menurut Presiden Jokowi aturan mengenai masa jabatan kepala desa sebenarnya sudah diatur melalui UU Desa. “Undang-undangnya sangat jelas, membatasi enam tahun dan (dan dibolehkan kalau terpilih Kembali) selama tiga periode,” ujar Presiden Jokowi kepada media usai meninjau Proyek Sodetan Kali Ciliwung, Jakarta, Selasa (24/01/2023).

Presiden menyebut perpanjangan masa jabatan tersebut merupakan aspirasi para kepala desa. Ia pun mempersilakan para kepala desa untuk menyampaikan aspirasi tersebut kepada DPR. “Iya yang namanya keinginan, yang namanya aspirasi itu silakan disampaikan kepada DPR,” ungkap Presiden.

Sementara banyak juga komentar miring terhadap tuntutan para kepala desa. Sebut saja pendapat Achmad Hariri, seorang pakar Hukum Tata Negara dari Universitas Muhammadiyah Surabaya. Menurut dia, wacana jabatan kepala desa menjadi sembilan tahun bertentangan dengan konstitusi yang seharusnya membatasi kekuasaan agar tidak terlalu lama berkuasa.

“Pembatasan kekuasaan itu penting dalam penyelenggaraan negara. Kekuasaan yang tidak dibatasi akan cenderung korup,” kata Achmad seperti dikutip dari situs tempo.co Senin (30/1/2023)

Secara substansi dalam hukum tata negara memang perlu dilakukan pembatasan kekuasaan untuk mencegah absolutisme atau kesewenang-wenangan. Seperti kata Analis Sosial Politik Universitas Negeri Jakarta, Ubedilah Badrun, yang mengatakan jabatan publik yang dipilih oleh rakyat dalam demokrasi harus digilir untuk menghindari adanya kecenderungan korupsi dan otoritarian.

Tapi para kepala desa itu juga memiliki argumentasi dengan latar belakang usulan pertambahan masa jabatan kepala desa dari enam tahun menjadi sembilan tahun yang pada intinya adalah untuk meningkatkan stabilitas dan kontinuitas pembangunan di tingkat desa. Dengan memperpanjang masa jabatan, para kepala desa dapat lebih fokus dan konsisten dalam menjalankan tugas dan tanggung jawabnya tanpa terlalu terpengaruh oleh kepentingan politik jangka pendek.

Usulan itu juga didasari oleh keinginan untuk mempermudah pelaksanaan program pembangunan di tingkat desa dan mengurangi beban biaya administrasi yang dibutuhkan untuk melakukan pemilihan kepala desa secara rutin setiap enam tahun.

Pro-kontra itu terhadap usulan perpanjangan masa jabatan kepala desa ini, Menteri Dalam Negeri Tito Karniavan angkat bicara. Menteri Tito, mengatakan bahwa ia memastikan kementeriannya sedang mengkaji keinginan perpanjangan masa jabatan kepala desa.

“Kami kaji dulu positifnya apa, negatifnya apa. Kalau banyak positifnya, ya kenapa tidak? Tapi kalau banyak mudaratnya, ya mungkin tetap di posisi UU Desa sekarang, enam tahun kali tiga, jadi 18 tahun, kan lama juga itu,” kata Mendagri Tito Karnavian kepada wartawan di Jakarta, Sabtu (25/1/2023).

Saat ini, menurut data dari Kementerian Dalam Negeri, jumlah desa tercatat ada 74.961 desa. Kelahiran UU Desa yang diterbitkan pada 2014 adalah untuk mengatur pemerintahan desa sebagai tingkat pemerintahan terdekat dari rakyat. Tujuannya adalah untuk memfasilitasi partisipasi masyarakat dalam pembangunan dan pengelolaan desa, meningkatkan kualitas hidup masyarakat desa, serta memperkuat otonomi dan pemerintahan desa.

Dalam UU Desa itu sudah diatur tentang pengelolaan keuangan desa, pembentukan dan tugas lembaga desa, pengangkatan dan pemberhentian kepala desa, serta hak dan kewajiban warga desa. Dan dalam praktiknya, UU Desa membutuhkan implementasi yang baik dan sinergis antara pemerintah, masyarakat desa, dan lembaga-lembaga terkait agar dapat memberikan manfaat yang optimal bagi masyarakat desa.

Tetapi juga harus diakui bahwa masih terdapat beberapa kendala dalam implementasi UU Desa meliputi kurangnya sumber daya, kapasitas lembaga desa yang belum optimal, serta masih rendahnya partisipasi masyarakat dalam pembangunan desa. Termasuk praktik korupsi yang dilakukan oleh kepala desa atau penyalahgunaan terhadap Dana Desa.

Padahal Dana Desa – sumbernya dari APBN dan APBD provinsi dan kabupaten/kota – adalah dana yang diterima oleh desa dari pemerintah untuk pembangunan desa. Tujuannya adalah untuk meningkatkan kualitas hidup masyarakat desa dan memfasilitasi pembangunan desa sesuai kebutuhan masyarakat. Alokasi Dana Desa ini ditentukan dengan memperhatikan prioritas pembangunan desa, seperti untuk pembangunan jalan, air bersih, pendidikan, kesehatan, dan lain-lain.

Sebagai gambaran tercatat pagu Dana Desa tahun 2022 ditetapkan sebesar Rp68 triliun dan dialokasikan kepada 74.961 desa di 434 kabupaten/kota seluruh Indonesia. Jumlah ini menurun sebesar Rp4 triliun rupiah dibandingkan pagu Dana Desa tahun sebelumnya.

Menghadapi aspirasi kepala desa yang menginginkan perpanjangan masa jabatan, Presiden Jokowi sempat memanggil politikus PDI-P Budiman Sudjatmiko, yang merupakan inisiator dan penggagas UU Desa ke Istana beberapa waktu lalu. “Saya memahami dinamika pembangunan di desa. Tampaknya memang masa enam tahun itu tidak cukup waktu bagi pemimpin desa dalam mewujudkan pembangunan dalam meningkatkan pelayanan dan kesejahteraan warga desa,” kata Budiman kepada InfoPublik di sela-sela diskusi yang bertajuk “periodisasi jabatan kepala desa dan keberlanjutan pembangunan di desa” di Jakarta Selatan Minggu (29/1/2023).

Mengenai fakta bahwa KPK mencatat ada lebih dari 600 kasus korupsi yang melibatkan aparatur desa sepanjang 2012-2021, menjerat sedikitnya 686 kepala desa. Menurut Budiman, “Betul bahwa saya tidak menutup mata terhadap kasus korupsi kepala desa. Tetapi jumlah itu tidak signifikan dibandingkan dengan jumlah kepala desa yang lebih dari 74 ribu,” kata Budiman.

Menurut Budiman, aspirasi perpanjangan masa jabatan kepala desa penting untuk kestabilan politik di desa. Menurutnya, dari temuan-temuan di lapangan selama ini, kerap konflik selama pemilihan kepala desa berlangsung selama bertahun-tahun dan dapat menghambat proses pembangunan desa. Masa jabatan enam tahun bagi kepala desa dirasakan kurang, apalagi buat kepala desa yang visioner.

“Itu sebabnya saya mendukung aspirasi perpanjangan masa jabatan sembilan tahun tetapi dibatasi hanya boleh dua periode,” katanya lagi. Ia merujuk dalam UU No. 6/2014 Tentang Desa yang berlaku saat ini adalah masa jabatan kepala desa enam tahun namun boleh dipilih kembali sampai tiga periode.

Betapa penting memang pembangunan di desa. Asri Hadi MA, dosen senior IPDN merujuk ilustrasi pembangunan di beberapa negara maju – seperti yang diuraikan oleh Budiman – yaitu pembangunan berbasis dari desa. Contohnya di Jerman, Korea Selatan, Jepang dan Cina. “Kita harus belajar dari negara-negara itu” kata Asri Hadi alumni Sosiologi UI yang melanjutkan studinya di Monash University, Melbourne, Australia. Menurutnya, Jerman misalnya bahwa kisah suksesnya pembangunan desa di Jerman bermula pada tahun 1850-an, yaitu membangun koperasi modern dari sektor pertanian. Kini perekonomian Jerman menduduki peringkat No. 4 Dunia.

Lihat juga Jepang, kata Asri lagi, di sana ada gerakan rehabilitasi ekonomi pada tahun 1930-an yang disebut Keizai Kosei Undo. Ini merupakan program pembangunan partisipatif nasional berbasis komunitas desa yang paling awal di dunia, yaitu memperkuat struktur pertanian dan peternakan di Jepang secara gotong royong dan berbasis data. Kini ekonomi Jepang berada di peringkat 3 Besar Dunia.

Dalam diskusi itu Budiman memaparkan Peta Jalan yang dengan UU Desa ini dipatok target sekitar 38 ribu desa menjadi desa industri yang terhubung secara global. Serta membuat pengelompokkan desa sesuai dengan potensi SDA dan kompetensi SDM nya untuk menghasilkan produk industri berkualitas. Dengan begitu desa menjadi subyek dari rantai pasok yang dikelola bersama dalam jaringan konsolidasi desa industri yang dapat bersaing di level global.

Follow kami di social media

admin

Read Previous

BPJPH Kejar Target Capaian 1 Juta Sertifikasi Halal

Read Next

Pemerintah Segera Bangun Hunian ASN, TNI, dan Polri di IKN

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *