Haidar Alwi: Revisi RUU KUHAP Dan Kejaksaan Berpotensi Meruntuhkan Sistem Hukum Berkeadilan.

Sunday, 16 March 2025

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Pendiri Haidar Alwi Institute (HAI), R Haidar Alwi / foto istimewa

Pendiri Haidar Alwi Institute (HAI), R Haidar Alwi / foto istimewa

 

DAELPOS.com – Revisi Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP) berpotensi memutilasi kewenangan Polri secara sistematis, sekaligus memberikan Kejaksaan kekuasaan absolut dalam sistem peradilan. Jika dibiarkan, perubahan ini bisa menjadi titik balik yang menghancurkan keseimbangan hukum di Indonesia, di mana Polri dikerdilkan dan Kejaksaan menjadi satu-satunya otoritas penegak hukum tanpa pengawasan berarti.

Ir. R. Haidar Alwi, Mt, pendiri Haidar Alwi Care dan Haidar Alwi Institute, menyoroti ancaman besar di balik revisi ini. Menurutnya, jika polisi hanya menjadi eksekutor tanpa wewenang penyelidikan dan penyidikan, maka Kepolisian Republik Indonesia secara de facto telah dikebiri dan dipaksa tunduk di bawah kekuasaan tunggal Kejaksaan.

Polisi Tak Lagi Bisa Menyelidiki Kasus Secara Independen.

Salah satu perubahan paling berbahaya dalam revisi ini adalah hilangnya kewenangan Polri dalam menangani penyelidikan dan penyidikan perkara pidana. Dengan kata lain, polisi tidak lagi memiliki kendali atas proses hukum yang mereka tangani sendiri. Semua tahapan kasus, sejak awal hingga akhir, akan berada di tangan Jaksa.

“Ini bukan sekadar pengalihan peran, tetapi bentuk pemangkasan besar-besaran terhadap otoritas kepolisian. Polisi akan kehilangan independensi, hanya bisa bergerak berdasarkan arahan Kejaksaan. Jika demikian, untuk apa lagi ada institusi kepolisian dalam sistem peradilan pidana?” tegas Haidar Alwi. (Sabtu, 15 Maret 2025)

Jika revisi ini diterapkan, Polri akan mengalami dampak fatal:

1. Kewenangan Penyelidikan dan Penyidikan Hilang
Polisi hanya bisa bergerak jika ada perintah dari Kejaksaan. Semua langkah yang diambil dalam sebuah kasus harus mendapat restu Jaksa, termasuk penahanan dan pemanggilan saksi.

2. Polri Menjadi Alat Birokrasi, Bukan Lembaga Penegak Hukum
Dengan hilangnya peran investigatif, polisi hanya akan bertugas sebagai eksekutor teknis yang menjalankan perintah hukum tanpa independensi.

See also  Azis Syamsuddin Dicegah ke Luar Negeri, Ini Alasan KPK

3. Kriminalitas Bisa Meningkat Akibat Lambatnya Proses Hukum
Tanpa wewenang penuh, polisi akan mengalami hambatan birokrasi dalam menangani kejahatan, terutama dalam situasi yang membutuhkan tindakan cepat.

“Jika polisi kehilangan hak untuk melakukan penyelidikan sendiri, siapa yang akan memastikan proses hukum berjalan dengan adil? Apakah kita siap menyerahkan sepenuhnya sistem hukum kepada satu lembaga tanpa ada mekanisme pengawasan?” tanya Haidar Alwi.

Kejaksaan Berubah Jadi Penguasa Tunggal di Dunia Hukum?

Di sisi lain, revisi ini justru memberikan Kejaksaan otoritas yang nyaris tak terbatas. Jaksa tidak hanya menjadi penuntut, tetapi juga mengambil alih fungsi penyelidikan dan penyidikan. Dengan kata lain, Kejaksaan bisa menentukan kasus mana yang ditindaklanjuti, siapa yang harus diseret ke pengadilan, dan siapa yang bisa ‘diselamatkan’ tanpa intervensi dari pihak lain.

“Jika Kejaksaan memiliki kewenangan mutlak atas semua proses hukum, maka potensi penyalahgunaan kekuasaan akan meningkat drastis. Tanpa adanya kontrol dari kepolisian, Kejaksaan bisa dengan mudah dijadikan alat politik atau ekonomi bagi kelompok tertentu,” jelas Haidar Alwi.

Tiga ancaman utama dari monopoli hukum oleh Kejaksaan adalah:

1. Jaksa Bisa Mengontrol Siapa yang Dihukum dan Siapa yang Dibebaskan
Dengan kewenangan penuh, Kejaksaan memiliki kuasa untuk menghentikan atau mempercepat kasus sesuai kepentingan tertentu.

2. Peningkatan Kriminalisasi dan Politisasi Kasus
Tanpa polisi sebagai penyeimbang, hukum bisa dijadikan alat tekanan bagi oposisi atau individu yang tidak sejalan dengan kekuasaan.

3. Korupsi di Kejaksaan Bisa Meningkat Tajam
Jika satu lembaga memiliki kontrol absolut, maka celah suap, pemerasan, dan rekayasa perkara semakin terbuka lebar.

“Seharusnya kita belajar dari negara-negara yang pernah gagal dalam reformasi hukumnya. Ketika satu institusi memiliki kekuasaan terlalu besar tanpa pengawasan, maka hukum bisa berubah menjadi alat tirani, bukan lagi instrumen keadilan,” lanjut Haidar Alwi.

See also  Bacakan Eksepsi, Pengacara Sebut Dakwaan JPU Beropini

Dampak Sistemik: Runtuhnya Sistem Hukum Berkeadilan.

Jika revisi ini dipaksakan, Indonesia bisa menghadapi krisis hukum yang belum pernah terjadi sebelumnya. Beberapa efek yang dapat muncul di antaranya:

1. Polisi Tak Lagi Mampu Melindungi Masyarakat dengan Cepat dan Efektif
Jika polisi harus menunggu persetujuan Jaksa untuk bertindak, maka kejahatan bisa berkembang lebih cepat dibandingkan respons hukum.

2. Jaksa Menjadi ‘Hakim Bayangan’ dalam Proses Peradilan
Dengan kendali penuh atas penyelidikan dan penyidikan, Jaksa bisa mengatur jalannya perkara tanpa pengawasan berarti.

3. Keadilan Bisa Dibeli oleh yang Punya Kekuasaan dan Uang
Jika tidak ada mekanisme penyeimbang, hukum hanya akan berpihak kepada mereka yang memiliki akses ke kekuasaan dan sumber daya finansial.

4. Maraknya Kasus Rekayasa dan Peradilan Sesat
Tanpa kontrol kepolisian, potensi kasus rekayasa dan peradilan yang bias kepentingan semakin besar.

5. Kejaksaan Bisa Berubah Menjadi ‘Lembaga Superbody’ Tanpa Pengawasan
Jika revisi ini disahkan, tidak akan ada yang bisa membendung Kejaksaan jika mereka menyalahgunakan kewenangannya.

Haidar Alwi: Revisi Ini Harus Ditolak Demi Keselamatan Hukum Indonesia.

Sebagai pendiri Haidar Alwi Care dan Haidar Alwi Institute, Haidar Alwi menegaskan bahwa perubahan ini harus dikritisi dan ditolak keras. Ia menekankan bahwa reformasi hukum tidak boleh dilakukan dengan cara menghapus keseimbangan kekuasaan antara Kepolisian dan Kejaksaan.

“Jika hukum hanya dikendalikan oleh satu lembaga, maka kita sedang berjalan menuju era otoritarianisme hukum. Ini harus dihentikan sebelum terlambat,” tegas Haidar Alwi.

Ia pun menyerukan kepada masyarakat, akademisi, dan seluruh elemen bangsa untuk bersuara dan menolak revisi yang melemahkan Polri ini.

“Kita harus melindungi independensi kepolisian, bukan malah menyerahkannya ke tangan satu lembaga tanpa pengawasan. Jangan biarkan hukum berubah menjadi alat kepentingan, karena jika itu terjadi, maka keadilan hanya akan menjadi ilusi belaka,” pungkas Haidar Alwi.

Berita Terkait

Guru Tewas Diserang OTK, Sekolah Dibakar KKB, MPR for Papua Desak Aparat Usut Tuntas
Satgas Bea Cukai Dongkrak Pengawasan, Penindakan Capai Rp6,8 Triliun
HUT ke-80 TNI: Kapolri Perkuat Komitmen Sinergi ‘TNI-Polri untuk NKRI’
Tuntutan BEM UI Soal Polri Cenderung Emosional Ketimbang Rasional
BKSP DPD RI Minta Penyelidikan Tuntas Insiden Penembakan Staf KBRI di Peru
KADI Mulai Penyelidikan Antidumping Terhadap Impor Besi dan Baja dari Tiongkok
Haidar Alwi: Insiden Ojol Terlindas Adalah Duka Bersama, Kapolri Sudah Tunjukkan Kepemimpinan Moral
Haji Uma Antar Santri asal Aceh ke LPSK, Korban Tindak Penganiayaan di Pesantren Kabupaten Bogor
Tag :

Berita Terkait

Wednesday, 15 October 2025 - 06:23 WIB

Guru Tewas Diserang OTK, Sekolah Dibakar KKB, MPR for Papua Desak Aparat Usut Tuntas

Monday, 6 October 2025 - 13:46 WIB

Satgas Bea Cukai Dongkrak Pengawasan, Penindakan Capai Rp6,8 Triliun

Sunday, 5 October 2025 - 21:53 WIB

HUT ke-80 TNI: Kapolri Perkuat Komitmen Sinergi ‘TNI-Polri untuk NKRI’

Wednesday, 10 September 2025 - 12:09 WIB

Tuntutan BEM UI Soal Polri Cenderung Emosional Ketimbang Rasional

Wednesday, 3 September 2025 - 18:24 WIB

BKSP DPD RI Minta Penyelidikan Tuntas Insiden Penembakan Staf KBRI di Peru

Berita Terbaru

Berita Utama

Hari Santri, Mendes Yandri: Pondok Pesantren Benteng Pertahanan Bangsa

Wednesday, 22 Oct 2025 - 21:33 WIB