daelpos.com – R. Haidar Alwi, pendiri Haidar Alwi Care dan Haidar Alwi Institute, kembali menyuarakan pandangan tajamnya terkait dinamika perdagangan global yang berdampak langsung pada kedaulatan ekonomi Indonesia. Kali ini, ia menanggapi penurunan tarif ekspor Indonesia ke Amerika Serikat dari 32% menjadi 19% setelah kesepakatan bilateral antara Presiden Donald J. Trump dan Presiden Prabowo Subianto.
Bagi sebagian orang, penurunan tarif ini mungkin dianggap sebagai kemenangan diplomatik. Namun Haidar Alwi melihat lebih dalam: tarif memang turun, tetapi dengan syarat yang dapat melemahkan pertahanan ekonomi nasional jika tidak disertai kebijakan pengaman atau safeguard yang tepat. Indonesia diminta membuka seluruh pasar domestiknya bagi produk-produk Amerika tanpa tarif dan tanpa hambatan non-tarif, sementara ekspor kita tetap dikenakan tarif 19%. Ini bukan kesetaraan. Ini adalah ketimpangan.
Tarif Turun, Ketimpangan Tetap.
Kesepakatan dagang yang diumumkan Trump pada 15 Juli 2025 mencatat bahwa Indonesia akan membeli:
– $15 miliar produk energi Amerika
– $4,5 miliar produk pertanian AS
– 50 pesawat Boeing, termasuk seri 777
Sementara itu, ekspor Indonesia ke AS, seperti tekstil, elektronik, dan minyak sawit, tetap dikenakan tarif 19%. Tidak ada jaminan bahwa produk kita akan lebih kompetitif. Bahkan sebaliknya, dengan pasar Indonesia dibuka total untuk produk AS tanpa hambatan, industri dalam negeri dan UMKM berisiko tersingkir di rumah sendiri.
Haidar Alwi menyebut ini sebagai bentuk “kompensasi politik” demi menurunkan tarif. Padahal, dalam negosiasi internasional, kita tidak boleh membayar pengampunan dengan menyerahkan kedaulatan pasar. Alih-alih merayakan penurunan tarif, Haidar Alwi mempertanyakan: Di mana keberpihakan negara terhadap produsen dan petani kita?
Belanja Demi Ampunan: Siapa Untung?
Haidar Alwi dengan tegas mengkritik pendekatan diplomasi yang berujung pada komitmen belanja besar untuk menyenangkan pihak asing. Dalam hal ini, rakyat Indonesia diminta membayar mahal agar produk Indonesia bisa diterima di pasar Amerika, sementara produk Amerika masuk ke Indonesia tanpa hambatan.
“Apakah nilai ekspor yang bebas tarif sebanding dengan miliaran dolar uang rakyat yang dipakai untuk membeli produk mereka? Jika kita membeli pesawat, jagung, dan teknologi mereka, lalu produk kita tetap dikenai tarif, siapa sebenarnya yang menang?” ujar Haidar Alwi.
Ia juga menyoroti risiko jangka panjang: ketergantungan struktural pada pasar AS, ketimpangan neraca dagang, serta ancaman terhadap ketahanan pangan dan energi. Apalagi, komoditas seperti pertanian dan energi adalah fondasi ekonomi rakyat kecil, bukan korporasi besar. Jika kita tidak segera membangun pertahanan ekonomi internal, maka bangsa ini hanya akan menjadi pasar konsumen dari kepentingan luar.
Safeguard Ekonomi: Jalan Menuju Kedaulatan.
Sebagai solusi, Haidar Alwi menyerukan pembentukan mekanisme safeguard nasional. Ini bukan sekadar instrumen teknis, tapi garis pertahanan bagi ekonomi rakyat. Safeguard adalah bentuk keberanian politik untuk melindungi sektor strategis dari ancaman banjir impor.
Langkah-langkah konkret yang disarankan antara lain:
1. Regulasi selektif terhadap masuknya barang AS ke pasar strategis nasional, seperti pangan, pertanian, dan teknologi.
2. Kebijakan afirmatif untuk UMKM dan koperasi rakyat, agar tidak mati menghadapi produk murah dari luar negeri.
3. Penguatan ekosistem industri substitusi impor, dengan insentif teknologi dan pendanaan dari APBN.
4. Ketentuan belanja negara yang mewajibkan pemakaian produk dalam negeri, terutama untuk proyek-proyek pemerintah dan BUMN.
5. Audit nasional terhadap semua kesepakatan dagang, untuk memastikan tidak ada pasal-pasal tersembunyi yang merugikan kedaulatan negara.
Haidar Alwi menegaskan bahwa safeguard bukan berarti menutup diri dari perdagangan global. Safeguard adalah bentuk pertahanan, sebagaimana pagar rumah diperlukan bukan untuk memusuhi tetangga, tapi untuk melindungi keluarga sendiri.
Jangan Jadikan Diskon Tarif Sebagai Alat Menjual Negeri.
Tarif 19% bukan kemenangan jika dicapai dengan mengorbankan keseimbangan ekonomi nasional. Haidar Alwi mengingatkan bahwa bangsa ini sudah terlalu lama tunduk pada tekanan ekonomi global yang dibungkus dalam retorika kerja sama. Kini saatnya kita tidak sekadar menerima diskon tarif, tapi membangun keberanian untuk menyatakan batas dan syarat kita sendiri.
Haidar Alwi kembali mengingatkan bahwa ekonomi bukan sekadar angka, tapi tentang siapa yang dilindungi dan siapa yang dikorbankan. Dan dalam hal ini, rakyat harus selalu jadi prioritas pertama.
“Kalau dulu kita melawan tarif 32% dengan martabat, maka hari ini kita harus menjawab tarif 19% dengan kesadaran dan safeguard nasional. Jangan sampai diskon tarif membuat kita menjual terlalu banyak dari apa yang seharusnya kita jaga.” pungkas Haidar Alwi.