Oleh Prof Hariadi Kartodihardjo
DAELPOS.com – Today, on World Environment Day—and in the days to come—it is important to understand the ways in which corruption is entangled with environmental devastation, and so work to mitigate their impact (Landau dan Glandorf, 2020).
Pernyataan dalam rangka Hari Lingkungan Hidup Sedunia 2020 itu tampak akan terus relevan dalam jangka panjang. Karena korupsi yang menyebabkan kerusakan lingkungan di berbagai belahan dunia masih terjadi secara sistemik, termasuk di Indonesia.
Dalam artikelnya “Corruption is a threat to planet Earth”, Kesley Landau dan Joseph Glandof menyebut empat pernyataan penting.
Pertama, korupsi besar-besaran — di mana undang-undang dan peraturan dibentuk oleh aktor-aktor korup yang menguntungkan mereka — dapat berdampak buruk bagi perlindungan lingkungan global. Banyak kepentingan bisnis perusahaan besar memiliki hubungan langsung ke tingkat pemerintahan tertinggi dan bergantung pada peraturan lingkungan yang lemah untuk mendapat keuntungan sebesar-besarnya.
Kedua, di tingkat nasional, Pemerintah menempatkan perusahaan-perusahaan itu di pusat strategi pembangunan, dan memberi mereka dukungan terus-menerus meskipun terjadi degradasi lingkungan yang meluas. Bahkan ketika teks peraturan kuat menopang perlindungan lingkungan, dalam pelaksanaannya ditegakkan secara tidak efektif dan korup, yang merusak semua perlindungan lingkungan selanjutnya. Di tingkat lokal, korupsi dapat berbentuk seperti menuntut suap dari perusahaan untuk mengesampingkan persyaratan peraturan dan di sisi lain, menegakkan persyaratan hukum hanya secara ad hoc berdasarkan suap.
Ketiga, sistem pemerintahan di daerah-daerah yang mengekstraksi sumber daya alam, seringkali kekurangan dana dan kekurangan staf maupun kapasitas teknis untuk menegakkan peraturan lingkungan dengan benar, yang menciptakan masalah penegakan hukum yang parah dan menimbulkan risiko korupsi. Di Indonesia, diperkirakan satu kantor pemberi izin dan kantor kesehatan kabupaten hanya memiliki sumberdaya untuk mengevaluasi 25 persen dari 285 perusahaan tambang batubara.
Dengan kondisi seperti itu, perusahaan berusaha membatasi inspeksi lingkungan dan tindakan penegakan hukum dengan membayar suap.
Keempat, risiko korupsi lingkungan yang parah di sekitar lokasi proyek ekstraktif melahirkan pusat ancaman dan kekerasan bagi para pembela lingkungan. Karena proyek ekstraksi itu biasanya terjadi di daerah yang relatif terisolasi dengan kehadiran negara yang lemah, masyarakat seringkali memiliki sedikit mekanisme yang dapat mereka gunakan selain protes dan ketidaktaatan untuk menuntut perubahan pada praktik lingkungan yang mengancam kehidupan dan mata pencaharian mereka. Namun, beberapa perusahaan justru memanfaatkan peran negara yang lemah itu untuk mengintimidasi atau mengancam penduduk setempat.
Dalam hal ini, pemerintah umumnya tidak responsif terhadap tuntutan lokal serta mengawasi aktivis atau membatasi gerak para aktivitas lingkungan. Dalam kasus yang paling ekstrim, ketegangan antara penduduk setempat dan perusahaan meningkat menjadi kekerasan langsung terhadap para pembela lingkungan.
Melibatkan banyak aktor
Pengalaman saya selama meneliti praktek perizinan pemanfaatan sumberdaya alam pada 2016-2018, kasus-kasus seperti itu seringkali melibatkan jaringan korupsi dengan banyak aktor, termasuk oknum-oknum pejabat publik, perusahaan, aparat keamanan, dan terkadang jaringan kejahatan terorganisir. Masing-masing memiliki andil dalam keuntungan membungkam para aktivis dan seringkali pelaku kekerasan tersebut tidak teridentifikasi.
Para akademisi dan aktivis di Indonesia, khususnya di bidang-bidang yang terkait dengan sumberdaya alam dan lingkungan hidup, dalam menjalankan fungsinya saat ini masih menghadapi tantangan lebih kompleks dan bahkan diliputi bahaya. Sebagai ahli misalnya, pernah direpotkan oleh ancaman dan serangan. Untuk kasus-kasus korupsi, ancaman dan serangan cenderung meningkat. Pada acara Corruption Summit di Makassar, Transparency International Indonesia menyajikan data ancaman sepanjang 2004-2006 sebanyak 19 orang dan meningkat menjadi 57 orang pada 2012-2017.
Ancaman sampai akhir 2018 yang menimpa kelompok anti korupsi sebanyak 48 orang, selebihnya terjadi pada aparat penegak hukum 21 orang, pegawai negeri sipil 10 orang, serta dosen dan mahasiswa 7 orang. Di negara lain, seperti Filipina, pada 2018, setidaknya 30 aktivis lingkungan dibunuh oleh anggota kelompok paramiliter dan penyerang tak dikenal. Pada tahun yang sama, setidaknya 164 pembela lingkungan dibunuh di seluruh dunia.
Ancaman kriminal kepada masyarakat dan aktivis lingkungan ataupun anti-korupsi demikian itu tidak bisa ditetapkan sekedar kesesuaian perbuatan itu dengan pasal-pasal peraturan perundangan sebagai suatu proses positivistik-instrumentatif. Perbuatan “kriminal” itu bukan terjadi dan harus dibuktikan kebenarannya, melainkan “dijadikan dan dikekalkan” kriminalnya melalui proses dominasi perbedaan posisi warga negara.
Dari pengalaman saya mengikuti proses-proses peradilan dalam kasus-kasus seperti itu juga dapat diperoleh kenyataan bahwa perbuatan “kriminal” itu sendiri diambangkan atau bahkan dihalang-halangi dari proses mengapa hal itu terjadi—dihapus hubungan kausalitasnya, kemudian dikoreksi dengan menggunakan instrumen pasal-pasal yang sangat jauh dari upaya mewujudkan kondisi adil.
Karena itu, mudah difahami mengapa dalam pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan hidup masyarakat dan para aktivis rentan dan dapat dengan mudah menjadi sasaran kriminalisasi. Bila diamati, kriminalisasi itu kemudian menjadi cara penggunaan kekuasaan untuk mengabaikan hak orang lain yang diproduksi berulang-ulang, dan secara historis sudah mencapai tingkat kestabilan relatif. Karena kejahatan sudah berakar secara materialistik, kejahatan itu sendiri menjadi pusat tindakan sosial maupun ekspresi kekuasaan itu sendiri.
Demokrasi dan lingkungan hidup
Keempat pernyataan Landau dan Glandof di atas sejalan dengan berbagai hasil kajian lainnya mengenai hubungan antara korupsi dan perusakan lingkungan hidup. Kajian Marina Povitkina, misalnya, dalam “The limits of democracy in tackling climate change” (2018), menyimpulkan bahwa secara umum kualitas demokrasi di suatu negara ikut menjamin komitmen pelaksanaan pengendalian perubahan iklim.
Namun, hubungan antara demokrasi dan perubahan iklim itu bervariasi dan tergantung pada kualitas demokrasi itu sendiri, termasuk toleransinya terhadap korupsi. Dalam hal ini dinyatakan bahwa demokrasi dapat meningkatkan upaya mengendalikan emisi karbon, hanya bila korupsi rendah. Bila korupsi tinggi, demokrasi nampak tidak lebih baik daripada rezim otoriter.
Dalam beberapa hal, menurut Povitkina, fitur demokrasi justru menghambat komitmen terhadap lingkungan. Hal itu karena tantangan politik terus-menerus melalui siklus pemilihan umum berakibat para pemimpin politik terbawa pandangan-pandangan sempit. Pandangan itu dapat mencegah mereka mengalokasikan anggaran untuk pelaksanaan program kebijakan jangka panjang seperti untuk perlindungan lingkungan.
Sebagai contoh, untuk Indonesia, anggaran belanja untuk Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) relatif kecil. Sejak 2016 anggaran itu berkisar antara Rp 6 trilyun hingga Rp 8 trilyun. Jumlah itu sekitar 40 persen dari kebutuhan anggaran sesuai rencana strategis kementerian yang ditetapkan. Dibandingkan dengan alokasi anggaran seluruh kementerian dan lembaga sebesar Rp 1.031 trilyun, anggaran untuk KLHK itu kurang dari satu persen.
Hubungan antara korupsi dan perlindungan lingkungan, untuk kasus di Malaysia, Indonesia dan Filipina, telah pula dianalisis secara ekonometrik berdasarkan data periode 1970-2017. Hasil ini membuktikan bahwa dalam jangka panjang semakin tinggi tingkat korupsi menyebabkan semakin banyak pencemaran lingkungan.
Salah satu contoh yang dikemukakan yaitu terjadinya pembuangan limbah ilegal dan kegiatan bisnis ilegal yang sangat berpengaruh terhadap pencemaran dan kerusakan lingkungan hidup (Ridzuan, dkk 2019). Hal senada dialami oleh 16 negara di kawasan selatan Afrika, bahwa korupsi berdampak negatif terhadap kelestarian lingkungan (Ganda, 2020).
Hasil kajian korupsi di bidang industri tambang, irigasi, pertanian, kehutanan, perikanan, dan kegiatan konservasi dengan fokus pada pengelolaan kawasan lindung dan perdagangan satwa liar, membuktikan bahwa korupsi di bidang tersebut bersifat sistemik (Tacconi dan Williams, 2020). Korupsi itu secara signifikan memiliki dampak negatif bagi lingkungan dan ekonomi dan pada gilirannya menimbulkan dampak negatif bagi kehidupan sosial.
Berbagai kenyataan di atas menunjukkan bahwa upaya untuk mempertahankan dan meningkatkan fungsi lingkungan hidup global, nasional maupun lokal tidak dapat dipisahkan dari upaya untuk memberantas korupsi. Korupsi telah terbukti menjadi sarana ampuh untuk dapat mengendurkan norma-norma dan praktek perlindungan lingkungan hidup ●