Penulis: Dr. Chazali H. Situmorang, APT, M.Sc (Dosen FISIP UNAS- Pemerhati Kebijakan Publik)
DAELPOS.com – Kementerian Pendidikan berbeda dengan kementerian lainnya. Kementerian ini adalah paling tua, tidak pernah diliquidasi. Sebab masalah pendidikan tercantum dalam UU Dasar 1945. Pemerintah tidak bisa membubarkan kementerian ini, karena nomenklaturnya ada di Konstitusi. Hanya bisa dibubarkan jika disetujui DPR.
Bahkan satu-satunya sektor adalah sektor pendidikan yang didalam UU Dasar 1945, dicantumkan Negara harus menyediakan 20% dari APBN untuk sektor Pendidikan
Pada periode pertama pemerintahan Jokowi ( Kabinet Kerja, Kerja, Kerja) 2014-2019, Kemendikbud mengalami perubahan struktur organisasi. Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi dikeluarkan, dan bergabung dalam Kementerian baru bernama Kemenristekdikti.
Hampir setahun Kemenristekdikti melakukan penataan
organisasi, pembentukan nomenklatur baru eselon I, II, III, dan IV, yang
menggmbarkan tupoksi, dan target program prioritas kementerian perpaduan ristek
dan pendidikan tinggi.
Bayangkan dari satu Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi ( seorang eselon I),
dipecah menjadi beberapa eselon I, dengan nomenklatur yang susah di ingat, dan
uraian tugas yang tipis bedanya satu sama lain.
Bagi Kemendikbud, yang tidak lagi menangani pendidikan tinggi, tidak banyak perubahan. Karena tidak ada penambahan organ, tetapi bagaimana organ yang yang ada lebih difokuskan pada Tupoksi dan target program priotas sektor yang diamanatkan dalam Nawa Cita.
Di Kemenristekdikti, 3 bulan belakangan geger seluruh perguruan tinggi. Karena Menteri Prof. Nasir punya obsesi agar Rektor PT ({erguruan Tinggi), dapat di isi dari PT asing, untuk mendapatkan ranking 100 PT terkemuka di dunia. Dalam soal ini, Prof Nasir jauh lebih *visioner “ dan cenderung nyeleneh dari Nadiem Makarim, yang sudah malang melintang berselancar di dunia maya.
Tapi kenapa Pak Jokowi tidak melanjutkan Prof Nasir menjadi Menristekdikti, di Kabinet Indonesia Maju 2019-2024. Bahkan kementeriannya dipreteli lagi. Padahal Prof. Nasir sudah berdarah-darah membela Jokowi, sampai dimusuhi para dosen-dosen.
Dikti dikeluarkan dari Kemenristekdikti, dan namanya menjadi kemenristek, dengan Menterinya Prof Bambang Brodjonegoro,. Mantan Menteri PPN/Ketua Bappenas, yang bersemangat luar biasa dalam mempersiapkan kepindahan Ibu Kota Negara dari Jakarta ke Kalimantan Timur. Semangat beliau membuahkan hasil diangkat menjadi Menteri lagi.
Kembali ke soal Prof. Nasir, masyarakat luas menduga ini
barang pasti jadi menteri lagi. Mengingat begitu loyalnya pada Presiden. Bahkan
sampai menjelang akhir periode di minta Presiden Jokowi melarang mahasiswa
untuk demo dilaksanakan dengan baik, bahkan over dosis.
Prof Nasir mengancam mahasiswa untuk _back to Campus_ Belajar, belajar,
belajar. Rektor diancam akan dipecat jika tidak menindak dosen yang mendorong
atau tidak melarang mahasiswa demo.
Ada Rektor yang berani melawan, tapi banyaknya yang takut, dan mengeluarkan
ancaman yang sama pada dosen dan mahasiswa. Forum Rektor se Bogor melawan Prof
Nasir. Sampai sekarang tidak dipecat bahkan Prof Nasir terpental, tidak jadi
menteri lagi.
Sekarang bagaimana nasib para eselon I, eks Kemenristekdikti, yang Diktinya
dikembalikan ke Kemendikbud belum jelas. Karena umumnya mereka berasal dari PT,
ya kembali jadi dosen mengajar.
Nadiem Makarim belum lagi sempat memikirkan berselancar untuk masa depan,
dengan membawa para anak didiknya, mulai dari SD, SMP,SMK, S1,S2, S,3 Diploma
III, Diploma IV, sudah kedatangan pasukan eks perangkat Pendidikan Tinggi yang
kembali pulang ke kampung halaman. Seperri pengungsi Wamena yang minta pulang
ke kampung halamannya, dengan membawa apa ada nya.
Mereka-mereka ini adalah orang-orang pintar, akademisi, profesor, doktor, sudah
bertaraf internasional, melapor kepada Nadiem Makarim anak muda usia 35 tahun
yang menjadi Mendikbud. Pendidikan Magister (MBA) dari _Harvard University_.
Tidak ada pengalaman menjadi pendidik, tetapi berhasil mencipatkan lapangan
kerja jutaan anak muda dengan kendali aplikasi yang luar biasa.
Katanya banyak pengangguran yang tertolong, dengan bonus aplikasi Go jek yang
sangat menjanjikan dan pendapatan berlimpah di awalnya, sampai dengan saat ini
pendapatan menyusut sehingga kebutuhan sehari-hari sudah pada megap-megap.
Di kantor saya, beberapa anak buah saya brhenti bekerja sebagai tenaga honorer
karena tergiur pendapatan Go Jek pada awal-awalnya. Beberapa tahun kemudian
datang ke kantor dengan wajah murung hitam legam, kurus, kurang gizi, berbeda
sewaktu menjadi tenaga honorer segar bugar, bersih dan tidak hitam legam. Ya
maklumlah lebih banyak di ruang kantor ber AC, adem dan sejuk.
Berbagai macam produk GO Nadiem utak atik. Mulai dari membonceng orang, bawa
surat, bawa makanan, bawa obat, semua bisa dibawa dan terkendali dalam satu
aplikasi. Pokoknya mana yang menjadi duit mainkan melalui aplikasi yang dibuat
Nadiem.
Persoalan di pendidikan tinggi sangatlah luar biasa, dan rumit. Perubahan
global yang cukup pesat, belum semua PT dapat mengikutinya. Nadiem Makarim
harus menggunakan sebelah belahan otaknya untuk memikirkannya.
Persoalan akreditasi PT, Prodi, pengangkatan Guru Besar, sertifikasi dosen,
pergolakan pemilihan rektor ( jual beli suara calon rektor), mutu pendidikan
yang perlu terus di kontrol, remunerasi dosen, prodi-prodi yang _on off_,
karena tidak memenuhi syarat SDM dan sarpras, tentu berbeda dengan persoalan
Ojol dan Go Pay, atau Go, Go lainnya.
Pada belahan otak lainnya, Nadiem Makarim harus dikosongkan untuk di isi
persoalan pendidikan dasar, menengah dan lanjutan. Beratnya koordinasi dan
pengendalian dengan Pemerintah Daerah, untuk memajukan pendidikan yang menjadi
otorisasi daerah, tidak sama dengan menggunakan jari-jari mengutak atik
aplikasi, dan manusia berlari seperti laron megejar sesuap nasi yang didapat
jika mengikuti arah aplikasi.
Simak apa kata Nadiem Makarim kepada media sesudah dilantik. Nadiem Makarim
mengatakan alasannya terpilih menjadi menteri yang mengurusi bidang pendidikan
karena dirinya lebih mengerti apa yang akan terjadi di masa depan. Ia menyebut
selama ini telah bergelut dalam bisnis yang membidangi masa depan.
“Walaupun saya bukan dari sektor pendidikan adalah satu saya lebih mengerti,
belum tentu mengerti, tapi lebih mengerti apa yang akan ada di masa depan
kita,” kata Nadiem di Kompleks Istana Kepresidenan Jakarta, Rabu (23/10).
Apakah itu menggambarkan sikap rendah hati, atau kesombongan, atas rencananya
pada dunia pendidikan yang dia yakin dapat dicapai sesuai keinginannya atau
sesuai dengan amanat UU 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional?.
Nah yang dimengeri Nadiem tentang masa depan tersebut, tentu perlu di
formulasikan lagi lebih sempurna dihubungkan dengan cita-cita Proklamasi
“mencerdaskan kehidupan bangsa”, merujuk pada Undang Undang Sistem Pendidikan
Nasional, dan karakter serta budaya pendidikan bangsa.
Apakah yang dimaksudkan Nadiem Makarim mengerti tentang yang terjadi pada masa
depan, untuk membangun generasi yang masuk perangkap aplikasi dalam semua lini
kehidupan.
Membangun masa depan manusia tidak sama dengan membangun sistem digital. On
line sistem,atau aplikasi sistem sebagai suatu produk teknologi, yang tidak
akan bekerja dengan hati, dengan perasaan, dan tidak mengenal Iman dan Taqwa
kepada Allah SWT.
Kita simak juga apa kata Jokowi kepada Nadiem Makarim sehari sebelum di lantik.
Jokowi berharap pada Nadiem: “Kita akan membuat terobosan-terobosan yang
signifikan dalam pengembangan SDM yang siap kerja, siap berusaha, dan _link and
match_ antara pendidikan dan industri,” kata Presiden Jokowi saat pengenalan.
Kata kunci _link and match_ harus menjadi pegangan Nadiem. Disektor industri
tentu Nadiem sudah punya jaringan dan akses yang luas. Tetapi bagaimana meramu
anak didik menjadi SDM yang handal, berkepribadian, berkarakter, kreatif, ber
Iman dan ber-Taqwa adalah persoalan modal masa depan yang sangat berat. Ramuan
itu tidak ada dalam star up atau unicorn atau apapun yang mengandalkan bigdata
sebagai basis data untuk masa depan yang hendak digenggam Nadiem.
Salah-salah Nadiem mengelolanya, dengan modal nekad yakin menguasai persoalan
masa depan, jika gagal akan terpotong satu generasi. Kita akan _setback_ satu
generasi, ingat itu. Kali ini tidak boleh lagi trial and error_. Berpuluh tahun
sistem pendidikan kita penuh dengan experiment. Sehingga pameo ganti Menteri
ganti kurikulum, sudah populer dikalangan masyarakat.
Kehadiran Nadiem Makariem yang “tidak familier” dengan kurikulum, apalagi
dengan Sistem Pendidikan dengan kultur Indonesia, dan lebih terfokus pada hasil
untuk mengisi pasar kerja, oleh mereka-mereka yang berkecimpung di pendidikan
tolong mengulurkan tangan membantu Nadiem bahwa mimpinya itu masih bersifat
fatamorgana.
Kita semua sebagai pendidik, baik dosen, guru, dengan seabrek-abrek gelar yang
disandang, mengawal Nadiem dengan memberikan masukan yang konstruktif. Nadiem
merupakan generasi milenial. Ciri utama milenial tidak sulit menerima pendapat
orang lain. Mereka senang menggunakan kata-kata iya sih, oke bro, sip guys,
tolonk ajarin donk pak.
Bagi para pendidik di PT, yang selama ini malang melintang di birokrasi sektor
pendidikan, apa lagi sudah puluhan tahun menikmati kekuasaan pendidikan,
mungkin sudah tidak sensitif lagi dengan berbagai terobosan pendidikan yang
akan dilakukan Makarim, tentu tidak dapat dihindari terjadinya benturan. Jika
benturan ini tidak dikelola dengan baik, dapat menghambat laju pemcapaian target
pendidikan, yang sudah menggunakan dana rakyat sangat besar.
Presiden Jokowi bahkan Presiden sebelumnya sudah memberikan kesempatan kepada para Profesor, Doktor, dosen senior, untuk mengelola Kementerian Pendidikan, dan disediakan dana 20% dari APBN untuk pendidikan hasilnya, ya…..masih babak belur.
Bahkan 5 tahun belakangan ini, Menterinya ada yang bergaya otoriter, pendekatan ancaman remunerasi tidak dibayar. Dosen disibukkan urusan-urusan administrasi, jika tidak selesai, uang honor tidak keluar, dan sterusnya.
Persyaratan berlapis-lapis hendak naik pangkat sungguh menjadikan banyak mereka para dosen yang menjadi stress, dan apatis. Mengajar sekedar memenuhi kewajiban tanpa motivasi yang tinggi untuk mendidik.
Sang Menteri, sangat rajin kumpulin Rektor, para Warek, Direktur Pendidikan vokasi, menanyakan kemajuan realisasi anggaran, proyek. Jika tidak memuaskan dipermalukan di depan peserta yang hadir. Mungkin karena latar belakang akuntan yang berfikir rigit, detail.
Sedangkan seorang Menteri itu, seharusnya lebih pada kekuatan Kepemimpinannya, untuk menggerakkan para akademisi, orang pintar yang terbiasa berfikir dan bekerja independen.
Apakah kondisi-kondisi tersebut diatas dapat diselesaikan oleh Nadiem. Jawabannya bisa dapat, bisa tidak.
Parameter ukurannya adalah sejauh mana kekuatan dan kekenyalan Kepemimpinan Nadiem Makarim dalam menghadapi persoalan-persoalan di dalam pendidikan.
Dunia pendidikan memerlukan kekuatan Kepemimpinan untuk menyelesaikannya. Bukan pada kemampuan teknis. Sebab yang dihadapi adalah akademisi, orang pintar, pandai, cerdik cendekia, tetapi belum tentu _strong_ dalam _leadership_.
Apakah Nadiem Makarim dapat menghadapi dan menyelesaikannya dengan baik. Rakyat menunggu dengan harap-harap cemas. Saat ini saja, Nadiem sudah di “hajar” di medsos, terkait persoalan keluarganya. Khususnya perkawinan beda agama yang menjadi isu sensi di masyarakat. Masyarakat menilai, bahwa persoalan keluarga ini , terkait Menteri Pendidikan memerlukan persyaratan lebih berat
Jika memang Nadiem adalah keluarga yang kawin dengan beda agama, dan masing-masing menjalankan agamanya, dikhawatirkan akan menjadi model, dan contoh yang ditiru para anak didik. Sebab mereka adalah milenial yang salah satu kebiasaannya adalah cepat dan suka meniru. Bisa dibayangkan kepanikan para orang tua yang umumnya masyarakat religius dan taat pada ajaran agamanya.
Keresahan-keresahan di masyarakat sudah mulai menggejala, dan Presiden Jokowi harus cepat meresponnya. Apalagi Wakil Presiden KH.Ma’ruf Amin, Ketua MUI. Tidak boleh diam saja pak Kyai.
Berikan masukan pada Presiden, sebelum meluas dan melebar kemana-mana. Maaf, bukan menggurui Presiden dan Wakil Presiden, jika ingin memanfaatkan potensi Nadiem, mungkin lebih tepat posisinya sebagai Kepala BKPM, atau Menaker. Siapa yang tepat menjadi Mendikbud banyak yang punya kompetensi tinggi, profesional, dan berintegritas. Bisa juga Presiden lakukan dalam bentuk pertukaran posisi yang lebih tepat, dan optimal.Cibubur,
27 Oktober 2019, (*) sumber :lapan6online.com