Oleh:Yudhi Hertanto
DAELPOS.com – TOK! Keputusan Mahkamah Agung (MA) telah ditetapkan. Kenaikan premi BPJS Kesehatan yang sebelumnya ditentukan pemerintah dinyatakan tidak berlaku. Kembali ke nilai premi sebelumnya.
Publik bersorak, pemerintah dan BPJS Kesehatan kebingungan, sementara institusi pemberi layanan terkapar.
Hasil Judicial Review, final dan mengikat. Informasi awal yang beredar di media, menyatakan bila pemerintah akan melakukan evaluasi terkait atas putusan tersebut. Sebagian analis mengungkapkan keputusan MA itu tepat, karena perlunya relaksasi beban publik dari kontraksi ekonomi.
Lantas bagaimana melihat persoalan ini secara seimbang?
Sebuah kebijakan publik, tentu akan sangat terkait lingkup politik. Hal ini terkait dengan persoalan kesehatan publik, yang menjadi kepentingan publik secara nasional.
Pertama: program BPJS Kesehatan adalah amanat Undang-Undang Sistem Jaminan Sosial Nasional. Dengan demikian keberadaannya, menjadi sebuah perangkat tindakan yang berkesinambungan, guna memastikan akses kesehatan bagi publik secara meluas.
Kedua: mekanisme kerja BPJS Kesehatan merupakan format asuransi gotong royong secara universal. Di mana, format pendanaannya dikombinasikan melalui iuran swasta dari peserta terkategori mampu, dan subsidi negara untuk kelompok masyarakat yang tidak mampu, Penerima Bantuan Iuran -PBI.
Problemnya, terletak pada nilai negosiasi politik, dalam penentuan premi di tahap awal permulaan program. Premi tidak di-setting berdasarkan nilai aktuaria, basis kalkulasi ekonomi kesehatan. Penentuan nilai premi ditetapkan dengan mempertimbangkan dampak politik. Terlebih bila menjelang sebuah momentum politik.
Kandidat yang berkontestasi dalam pemilihan, kerap mengumbar janji kampanye untuk memberikan perlindungan kesehatan bagi kepentingan publik. Padahal, kapasitas kemampuan negara terbatas. Berbagai program kampanye dibuat tanpa menghitung visibilitas. Terbukti. Penetapan prioritas program kerja, kemudian terjadi secara tumpang tindih, karena keterbatasan anggaran.
Mari Lihat Dampaknya
Bersamaan dengan keputusan MA, kepentingan publik seakan terwakili. Premi rendah sesuai dengan budget yang mampu dibayarkan oleh masyarakat. Perlu dipahami, publik terbagi menjadi dua segmen, yakni kelompok yang disubsidi negara dan publik swasta yang membayar sendiri premi iuran.
Dalam hal ini, perlu juga dimengerti bila persoalan kesehatan adalah urusan yang dalam kerangka perilaku psikologis ekonomi, sebagai sesuatu yang tidak dikehendaki, sebisa mungkin dihindari.
Jadi ada kemungkinan terjadi moral hazard, karena dengan program BPJS Kesehatan publik mereduksi biaya kesehatan yang seharusnya dikeluarkan. Tetapi situasi itu, memang menjadi peluang yang disediakan.
Fenomena turun kelas memberikan gambaran, bagaimana kemudian publik merespons kenaikan premi. Ketika kini dikembalikan ke premi semula, arah berkebalikan untuk naik kelas sangat mungkin terjadi. Publik akan melakukan efisiensi biaya, economic behaviour-nya memang begitu.
Lantas, apa makna putusan MA bagi pemerintah? Jelas perlu memikirkan bagaimana skema bailout atas defisit BPJS Kesehatan. Tetapi bisa juga menggunakan kebijakan final MA sebagai escape clause untuk melepaskan program BPJS Kesehatan pada mekanisme pasar normal.
Sementara bagi BPJS Kesehatan, keputusan MA jelas menambah rumit permasalahan yang dihadapi. Defisit semakin membengkak.
Argumen awal kenaikan premi yang diajukan, adalah untuk menutup senjang pembiayaan. Bahkan dengan kenaikan premi saja, defisit masih diproyeksikan akan tetap terjadi. Bila kenaikan premi ditangguhkan, bisa dipastikan ada potensi untuk tersendatnya aliran finansial atas program tersebut.
Di sisi lain, bagi penyedia layanan sebagaimana institusi rumah sakit dan tenaga medis, khususnya pihak swasta akan semakin terombang-ambing dalam ketidakpastian. Dengan premi yang sudah naik saja, keterlambatan pembayaran klaim BPJS Kesehatan masih terjadi. Terlebih, tarif jasa layanan belum juga mengalami koreksi sekurangnya dalam kurun waktu 3 tahun terakhir.
Limbung. Berbagai upaya efisiensi biaya operasional dari operator pemberi layanan langsung, tidak mudah terjadi. Semisal, kebijakan UMP untuk komponen biaya tenaga kerja tidak bisa dikompromikan, setiap tahun mengalami kenaikan. Belum lagi soal pajak badan usaha yang setara industri layaknya.
Sulit untuk tetap bertahan, khususnya bagi pihak swasta yang terhidupi dari pendapatan layanan. Berbeda dari operator berbasis milik pemerintah, yang masih mendapatkan alokasi anggaran baik dari pemerintah pusat maupun daerah. Maka perlu ada pertimbangan prinsip keadilan, yang dapat diterima oleh semua pihak sebagai pemangku kepentingan program BPJS Kesehatan.
Lebih menyakitkan, selama ini tudingan kebocoran anggaran BPJS Kesehatan terjadi sebagai akibat dari tindakan fraud pemberi layanan. Ibarat nila setitik rusak susu sebelanga. Representasi yang dimunculkan, melalui imej perilaku curang, manipulatif dan mencari keuntungan bagi diri sendiri, adalah konstruksi kejam bagi pemberi layanan yang bersikap jujur dan mengikuti peraturan BPJS Kesehatan.
Mungkinkah Bendera Putih?
Bila dibiarkan, bukan tidak mungkin program BPJS Kesehatan akan ambruk. Padahal dalam kerangka kepentingan ideal, pemenuhan kebutuhan kesehatan publik, dengan kemudahan akses bagi pemberian layanan kesehatan sangat dibutuhkan.
Lalu bagaimana membangun keseimbangan dan harmoni, bagi keberlangsungan program BPJS Kesehatan yang menjadi amanat kehidupan bernegara?
Tidak pelak keputusan MA, membuat program ini menjadi semakin pelik. Tapi sekurangnya masih terdapat ruang solusi yang dapat ditempuh. Termasuk di antaranya, memungkinkan terjadinya cost sharing untuk pembiayaan jasa pelayanan. Kalau ide tersebut masih belum menarik, sebaiknya dipikirkan pula peneraman Single Premi. Jadi BPJS Kesehatan hanya menawarkan layanan satu kelas.
Dengan demikin kelas standar terbentuk, di mana bersamaan dengan itu, dapat dibuat tarif tunggal, sebagaimana rencana yang sudah beredar. Penawaran single premi ini, merupakan upaya untuk memastikan akses layanan -aspek primer, bukan tentang pilihan kenyamanan pelayanan. Sebelumnya, premi dilekatkan pada penetapan kelas, dari kelas III, II hingga I. Pilihan kelas adalah opsi kenyamanan, aspek sekunder.
Sekali lagi, kerangka kebijakan prosedural masih banyak yang mungkin dapat dibuat. Perlu perhatian bagi operator swasta yang terlibat memberikan pelayanan. Termasuk fokus pemberian layanan rumah sakit yang notabene milik pemerintah fokuskan pada layanan dasar dan standar. RSUD atau RSUP, tidak perlu memperluas layanan ke kelas pelayanan diatasnya, hal itu menjadi porsi kelolaan pihak swasta.
Meski banyak skema yang dapat ditawarkan, pada akhirnya akan berpulang pada komitmen politik kekuasaan. Bagaimana persoalan kesehatan dilihat dari sudut pandang pemerintah, dibandingkan dengan gencarnya pembangunan infrastruktur fisik yang sedang dilakukan.
Bila periode ini memang akan diarahkan bagi pembangunan sumberdaya manusia, maka tidak ada pilihan lain selain akseptasi kewajiban dan tanggung jawab etik kekuasaan untuk menutup beban defisit. Bailout adalah kata kunci.
Apalagi opsi serupa juga tengah dipertimbangkan untuk asuransi Jiwasraya. Jangan sampai pindah Ibukota, melalaikan kewajiban bagi pemenuhan kesehatan warga bangsa.
Semoga bendera putih itu tidak terkembang, lalu ambyar…!
(Penulis sedang menempuh Program Doktoral Ilmu Komunikasi Universitas Sahid)