Oleh Hersubeno Arief
DI Amerika Serikat (AS) ada tradisi menarik, bagaimana publik memperlakukan mantan presiden.
Seorang presiden, tetap dipanggil sebagai Mr President kendati sudah pensiun. Semacam bentuk penghormatan atas pengabdiannya kepada bangsa dan negara
Sebagai sesama negara demokrasi, tradisi baik itu tak ada salahnya kita tiru. Apalagi bila setelah pensiun, ternyata dia tetap memikirkan dan melakukan hal-hal positif untuk kebaikan bangsa.
Jadi judul di atas tidak lah keliru.
Dalam situasi bangsa tengah menghadapi pandemi, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menunjukkan kelasnya sebagai seorang negarawan. Statemanship.
Melalui tulisan yang dimuat dalam akun facebooknya, SBY mengingatkan dan menyesalkan adanya telegram Kapolri.
Dalam telegram tersebut Kapolri Jenderal Idham Azis memerintahkan kepada jajaran Polri untuk melakukan penindakan hukum bagi penghina presiden dan pejabat negara lainnya.
Korbannya sudah ada. Beberapa orang ditangkap karena dinilai menghina Presiden Jokowi.
Di Jakarta Utara, polisi menangkap seorang pengemudi ojek online. Menghina Presiden Jokowi dan anggota Wantimpres Habib Luthfi Bin Yahya.
Di Tanjung Pinang, Kepulauan Riau seorang buruh ditangkap karena kedapatan menghina Presiden Jokowi di media sosial.
“Saya perhatikan beberapa hari terakhir ini justru ada situasi yang tak sepatutnya terjadi,” tulis SBY.
“Apa itu? Kembali terjadi ketegangan antara elemen masyarakat dengan para pejabat pemerintah, bahkan disertai dengan ancaman untuk “mempolisikan” warga kita yang salah bicara. Khususnya yang dianggap melakukan penghinaan kepada Presiden dan para pejabat negara,” tambah SBY.
Mumpung ketegangan ini belum meningkat, tambah SBY, “dengan segala kerendahan hati saya bermohon agar masalah tersebut dapat ditangani dengan tepat dan bijak.”
Dalam penilaian SBY, langkah Kapolri menunjukkan pemerintah tidak fokus menangani wabah Covid-19.
“Saya melihat masih ada elemen di negeri ini yang belum benar-benar fokus dan tidak bekerja sesuai prioritasnya. Ingat, first thing first. Waktu dan sumber daya kita terbatas, sehingga harus diarahkan kepada kepentingan dan sasaran utama kita saat ini,” katanya.
SBY mengingatkan kembali prioritas saat ini adalah menyelamatkan warga yang sudah terinfeksi. Membatasi serta menghentikan penyebaran virus corona. Bukan malah menebar ancaman kepada warga yang kritis kepada pemerintah.
Kritik dalam sebuah negara demokrasi adalah sebuah keniscayaan, dan tidak harus dihadapi dengan sikap keras, apalagi represif.
“Tanpa disadari, sebagian penguasa dan pejabat pemerintah menjadi sensitif. Menjadi kurang sabar dan tak tahan pula menghadapi kritik, apalagi hinaan dan cercaan,” ujarnya
Situasi seperti inilah, ujar SBY yang bisa memunculkan ‘benturan’ antara elemen masyarakat dengan pihak pemerintah. Apalagi kalau sebelumnya sudah ada benih-benih ketidakcocokan dan ketidaksukaan.
SBY juga mengingatkan agar masyarakat tidak apriori terhadap pemerintah. Dengan segala keterbatasannya pemerintah telah berupaya mengatasi wabah Corona.
Inilah waktunya kita bersatu.
Tidak asal bicara
SBY tidak asal bicara. Dia telah menunjukkan satu kata dengan perbuatan.
Pada saat masih menjabat sebagai Presiden, SBY pernah mendatangi Polda Metro Jaya. Sebagai pribadi, SBY melaporkan mantan Wakil Ketua DPR Zainal Ma’arif yang dinilainya melakukan pencemaran nama baik.
SBY tidak menggunakan kekuasaannya sebagai presiden. Memerintahkan polisi, menangkap orang yang menghinanya.
Kasus berakhir happy ending karena Zainal Ma’arif minta maaf, dan SBY memaafkannya.
SBY taat azas dan taat hukum. Berdasarkan keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 013-022-PUU-IV/2006 pasal penghinaan kepada presiden telah dibatalkan.
Pasal-pasal dalam KUHP yang menyasar kepada kasus-kasus penghinaan presiden terdapat pada pasal 134, pasal 136 bis, dan pasal 137 ayat (1).
Karena itu lah mantan Ketua MK Jimly Asshiddiqie mengingatkan kepolisian agar tidak menafsirkan sendiri arti ‘penghinaan presiden’ dalam melakukan penindakan.
Dalam Rancangan KUHP yang akan segera disahkan. Pasal-pasal tersebut juga berubah menjadi delik aduan.
“Jadi, orang yang merasa terhina itu yang mengadu. Jangan petugas yang menafsirkan sendiri si A, si B, terhina. Itu nanti merusak demokrasi,” kata Jimly kepada media.
Telegram Kapolri itu memang ditentang secara luas oleh para penggiat hukum dan demokrasi. Mereka meminta Kapolri segera membatalkan.
Tindakan polisi menangkap mereka yang dinilai menghina Presiden, menjadi sebuah ironi. Pemerintah baru saja membebaskan sejumlah narapidana karena adanya wabah Corona. Bersamaan dengan itu polisi kembali menangkapi warga.
Jadilah penjara akan kembali penuh, dan polisi akan disibukkan dengan hal-hal yang tidak perlu.
Wabah Corona membawa dampak serius berupa krisis ekonomi. Banyak warga yang kehilangan pekerjaan dan tidak bisa makan. Hampir dapat dipastikan situasi keamanan dan ketertiban masyarakat (Kamtibmas) akan sangat rawan.
Tugas polisi akan sangat berat. Jangan ditambah-tambahi lagi. Perut kosong dan keluarga yang tidak makan, bisa mendorong rakyat berbuat nekad.
Rakyat, ujar SBY, saat ini sedang dalam situasi stressful. Tegang, gamang, takut, emosional, dan gampang marah.
Polisi harusnya fokus pada antisipasi dan rencana darurat (emergency plan) krisis Kamtibmas sebagai dampak Corona. Tugas mengayomi dan melindungi warga. Bukan malah sebaliknya terpaksa disibukkan melindungi presiden atau para pejabat yang merasa harga dirinya terhina.
Harusnya para pejabat, termasuk Presiden bersikap sebaliknya. Harga dirinya akan sangat-sangat tersinggung, malu, kalau sampai terjadi banyak rakyat yang mati kelaparan. Jangan dibalik-balik.
Terima kasih Presiden SBY sudah ikut mengingatkan.
Tabiikkkkkkk……end (*)