DAELPOS.com – Anggota Pansus Rancangan Undang-Undang Ibu Kota Negara (RUU IKN) dari Fraksi PAN, Guspardi Gaus menyatakan harus ada penanganan yang serius terkait status lahan calon ibu kota negara yang direncanakan di Kabupaten Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur.
Dikatakannya, luas wilayah IKN direncanakan sebesar 256.142,74 hektare meliputi kawasan IKN seluas kurang lebih 56.180 hektar, termasuk kawasan inti pusat pemerintahan dengan luas wilayah yang disesuaikan dengan Rencana Induk IKN dan Rencana Tata Ruang KSN IKN.
Sementara itu kawasan pengembangan IKN seluas kurang lebih 199.962 hektar. Dimana status kepemilikan hak atas tanah atau bangunan yang berada dalam wilayah IKN tentu sangat beragam seperti hak pakai, hak pengelolaan (HPL), hak guna bangunan (HGB), hak guna usaha (HGU), hingga hak milik (HM).
“Makanya persoalan status tanah harus clear dan clean dulu sebelum pembangunan di lokasi ibu kota baru dilaksanakan,” ujar Anggota Komisi II DPR RI ini, dilansir dari Parlementaria, Selasa (28/12/2021).
Politisi Partai Amanat Nasional (PAN) tersebut menyampaikan, dari data hasil analisis spasial yang dilakukan oleh FWI (Forest Watch Indonesia), status kawasan di wilayah tersebut juga menunjukan hampir tidak ada areal yang tidak berizin. “Wilayah di sekitar Tahura Bukit Soeharto sudah padat dengan izin tambang, perkebunan kelapa sawit, HPH (Hak Pengusahaan Hutan), dan HTI (Hutan Tanaman Industri). Ada sekitar 92 izin yang terdiri dari 1 izin HPH, 2 izin HTI, 12 IUP perkebunan, dan 77 IUP pertambangan,” ungkapnya.
Legislator asal Sumatera Barat ini menilai, masifnya izin-izin konsesi di wilayah IKN tentu juga memerlukan penanganganan serius karena akan berimplikasi menimbulkan kemungkinan mekanisme tukar guling yang mungkin akan terjadi untuk lahan-lahan yang sudah berizin.
Menurutnya, terhadap persoalan ini perlu dilakukan penyisiran dan dilakukan pengkajian untuk selanjutnya dibuat kebijakan bagaimana menyelesaikannya agar jangan terjadi polemik dan dinamika yang kurang baik di kemudian hari.
“Hal lain yang tak kalah penting dan seharusnya menjadi pertimbangan oleh pemerintah adalah keberadaan masyarakat adat dan lokal yang sudah lama bermukim di sana. Di perkirakan ada sekitar 20 persen lahan masyarakat dengan bukti sertifikasi hak milik (SHM) yang harus dibebaskan. Tentu perlu dilakukan sosialisasi dan pendekatan yang persuasif dengan masyarakat setempat. Dan jika ada pembebasan lahan milik masyarakat, seharusnya dilakukan dengan ganti untung,” pungkas Anggota Baleg DPR RI tersebut.