DAELPOS.com – Awal Tahun baru 2020 diwarnai musibah banjir, melanda di beberapa tempat tanah air. Yang paling mendapat perhatian adalah banjir melanda Ibu Kota DKI Jakarta, yang merasa di setiap wilayah.
Banjir di DKI Jakarta yang terbilang rutin tahunan, menjadi sangat semarak ketika akar penyebab jadi debat publik. Dari soal normalisasi versi pemerintah pusat sampai naturalisasi ala Anies Baswedan.
Dua cara menanggulangi banjir DKI Jakarta tersebut tidak mampu menangkal banjir. Yang normalisasi terkendala pembebasan lahan hanya mampu dikerjakan 16 KM, sementara naturalisasi lebih terasa sebagai retorika daripada sebuah langkah kongkrit menanggulangi banjir.
Normalisasi kali di DKI Jakarta pada praktiknya akan menjadikan luapan sungai teratasi karena luas dan panjang sungai sangat memadai. Prinsipnya mengalirkan air sampai ke tempat terakhir, bukan menjadikannya terserap oleh wilayah terlewati air.
Lepas dari debat kusir normalisasi dan naturalisasi, lebih baik mengedepankan langkah produktif. Karena yang tertimba musibah sangat membutuhkan penanganan cepat dan tepat, terutama pemulihan pasca banjir.
Kelompok yang menjadikan banjir sebagai penggorengan kepentingan jangka pendek adalah penista kemanusiaan. Mereka adalah penumpang gelap dari setiap tragedi kemanusiaan yang kerap lahir di ibu pertiwi.
Nalar bengkok gemar menjadikan musibah sebagai adonan yang dijual murahan di ruang publik. Seolah negeri ini harus diramaikan dengan narasi picik bersumbu pendek, sorak sorai ketika jungjungannya lebih mulia dari yang lainnya.
Politisasi banjir adalah nestapa paling memuakkan di tengah upaya serius komponen bangsa untuk menjadikan negeri ini lebih aman di masa mendatang. Kalaupun mereka mau mengambil langkah politik untuk memperbaikinya, bukan berarti harus berjualan murahan.
Masih banyak kanal rasional dan konseptual, dibandingkan menonjolkan narasi picik. Jika pada praktinya seorang pemimpin harus menanggung dosa dari setiap pilihan programnnya, maka silahkan menempuh jalur lebih santun dan beradab.
Kita semua berharap cara-cara kurang bijak tidak dipertahankan lagi, mendewasan bangsa ini harus dari mengubah narasi picik. Ada saat nanti jika harus menaikkan tensi kontestasi, bukan saat di mana banyak warga terkena musibah banjir.
Hukum besi demokrasi akan bekerja secara sistematis bagi siapa saja yang mencoba bermain dengan rasa keadilan publik. Serangan begitu rupa pada seorang Anies boleh jadi melapangkan kampanye gratisan.
Memainkan isu banjir untuk mengerem laju Anies masih terlalu pagi. Selain banjir adalah akibat dari cacat sejak lahir pembangunan DKI Jakarta, juga melibatkan aspek alam lainnya yang pada gilirannya harus dipikul semua orang.
Kalaupun memang ada kesalahan Anies lebih bijak diserahkan pada kanal demokrasi yang ada, bukan bising di pagi hari dengan narasi picik yang berjangka pendek. Tidak mendidik dan menoreh luka bagi yang kena musibah.
Negeri ini membutuhkan rasa keadilan yang harus diperhatikan oleh kita semua. Ada saatnya nanti jika harus menjadikannya sebagai acuan prioritas kepentingan politik, bukan saat di mata cucuran air mata musibah sedang berjatuhan. Kasihan!