DAELPOS.com – Pemeliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi), Lucius Karus, menilai Menteri Hukum dan HAM, Yasonna Laoly, memanfaatkan situasi pandemi Covid-19 untuk membebaskan koruptor. Langkah kontroversi Yasonna itu terlihat dari rencana revisi PP 99 Tahun 2012.
PP itu diterbitkan zaman pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) untuk membatasi pemberian remisi bagi napi untuk kejahatan luar biasa, antara lain korupsi. “Kebijakan Menteri Yasonna yang ingin membebaskan narapidana koruptor di tengah Pandemi Corona nampak sebagai upaya ‘aji mumpung’. Ini seperti memanfaatkan situasi untuk membebaskan koruptor.” Ucap dia Lucius, Kamis (2/4).
Lucius menilai tindakan Yasonna membebaskan napi koruptor karena corona hanya akal-akalan saja. Niatan sebenarnya adalah merevisi PP 99/2012 itu. Upaya pernah dilakukan pada saat kondisi normal namun gagal, karena mudah diprotes oleh masyarakat.
“Dikatakan ‘aji mumpung’ karena upaya meringankan hukuman bagi koruptor dengan merevisi PP 99/2012 bukan kali pertama diupayakan oleh Yasonna. Upaya itu nampaknya belum berakhir dan momentumnya dilakukan di tengah pandemi corona dengan harapan publik tak akan terlalu peduli karena masing-masing tengah repot menghindari corona. Jadi terlihat aja agak ‘licik’ karena memanfaatkan situasi umum yang sedang fokus ke corona untuk meloloskan apa yang sudah sejak awal menjadi intensi Menteri Yasonna,” ucap dia.
Lucius menegaskan, niat Yasonna itu merupakan langkah tidak etis yang diambil pejabat publik. Ini karena menteri dari PDI Perjuangan itu memanfaatkan kekhawatiran masyarakat menghadapi corona dengan merevisi PP tersebut.
“Ketika semua orang sedang berjuang keras melawan pandemi ini, sungguh menjengkelkan ketika ada seorang menteri yang malah seolah-olah sibuk dengan perang yang sama tetapi untuk misi yang agak aneh dan bahkan melawan misi bersama agar pandemi ini segera berakhir,” ucap dia.
Lucius menjelaskan, pemotongan hukuman bagi koruptor selama ini ditentang, karena termasuk kejahatan luar biasa. Disebut kejahatan luar biasa karena dampaknya tak hanya pada satu dua orang saja, tetapi pada bangsa dan negara. Alasan ini yang membuat koruptor sulit diberikan maaf, meskipun atas pertimbangan kemanusiaan yang sifatnya untuk sekedar pencegahan.
“Mencegah narapidana koruptor terjangkit virus, mereka dibebaskan. Padahal dia dipidana karena virus korupsi yang pernah dia lakukan. Mungkin saja akan berbeda jika ada seorang sudah terpapar, maka untuk keselamatan narapidana lain, ia dibebaskan. Ini kan baru pencegahan. Kemenkumham belum juga coba menawarkan alternatif lain, koq tiba2 sudah mau pakai alternatif bebas?” tutur dia.
Menurut dia, keinginan Yasonna itu bisa merusak konsentrasi presiden dan dan pemerintah pada umumnya yang menjadi garda terdepan memimpin bangsa dalam perang mengatasi corona. Presiden Jokowi saja, kata dia, belum sepenuhnya bisa mengeluarkan kebijakan memuaskan mengatasi wabah corona.
“Yasonna malah menambah lagi bebannya untuk memikirkan persoalan koruptor yang ingin dibebaskan demi tak tertular corona di penjara. Kalau yang dipenjara alasannya karena over capacity, bagaimana rakyat di tengah pemukiman padat, kontrakan-kontrakan sempit tetap saja harus bertahan di tengah upaya physical distancing? Kenapa pemerintah tak mau membebaskan nasib orang-orang ini juga jika alasan Corona dipakai?” ucap dia. (*)