Oleh: Adian Radiatus
Pengamat masalah sosial dan politik.
DAELPOS.com – PRESIDEN Joko Widodo adalah Panglima Tertinggi TNI. Jelas dari UUD 45 menyebutkan demikian. Siswa SMP bahkan SD pun mungkin sudah tahu.
Seorang mantan Panglima TNI meninggal dunia kemarin. Alm. Jend. Purn. Djoko Santoso. Namun kehadiran Presiden bahkan sekedar ucapan duka saja tidak dapat ditemui.
Ini pertanyaannya bukan lagi ada apa, tapi kenapa? Ya meskipun tidak ada kewajiban hukum untuk itu, tapi secara etika tatakrama kenegaraan lazimnya ada pesan setidaknya.
Memang almarhum Djoko Santoso adalah salah satu Jenderal yang gigih menyuarakan untuk selalu waspada akan bahaya laten PKI. Baginya komunis senantiasa menjadi ancaman dan NKRI harga mati.
Sementara era rezim ini banyak diwarnai oleh petualang-petualang komunis dengan gaya baru. Maka jangan sampai ketiadaan ucapan apapun dari presiden atas kepergian alm Djoko Santoso dimanfaatkan untuk sensasi kelompoknya.
Kenapa presiden Jokowi selaku Panglima Tertinggi TNI seakan tidak bergeming atas meninggalnya Jend. Purn. Djoko Santoso mungkin akan menjadi pertanyaan misteri dalam sejarah kepemimpinannya.
Sebagai bagian dari publik yang tentu menimbulkan penasaran kiranya analisa yang paling mungkin adalah adanya informasi yang mengecohkan presiden, sehingga akhirnya dirasa tidak perlu untuk menyampaikan ucapan belasungkawa itu.
Itu adalah salah satu alasan yang mungkin bisa terkesan ‘apa boleh buat’ kalau itu yang terjadi, gumam publik. Ganjil sekali juga terasa tidak adil juga sulit mencari dalil lainnya.
Karena yang punya hak dan paling tahu ya presiden sendiri tentunya. Maka pencarian alasan tidak mungkin bisa menemukan kebenarannya sebelum diungkapkan presiden sendiri atau seseorang yang tahu persis yang dengan jujur kelak berkenan menyampaikan nya ke publik, sepahit apapun.
Memang dimasa pandemi virus Covid19 ini publik menemukan banyak peristiwa-peristiwa yang tidak lazim. Tumpang tindih pernyataan pejabat salah satu fenomenanya.
Semoga ketiadaan ucapan duka cita kepada alm Djoko Santoso oleh presiden Jokowi memiliki alasan yang kelak dapat menjadi pengertian publik dan bukan menjadi buah polemik etika kepatutan atau kepantasan… (*)