Oleh Riyono
Ketua DPP PKS Bidang Tani dan Nelayan
Keributan asinnya garam ini sebenarnya sudah muncul tandanya sepekan sebelum puasa di Jatim sebagai salah satu lumbung garam nasional sudah terjadi penurunan stok dan harga yang terus merangkak naik. Jadi bukan sepekan atau dua pekan garam langka.
Keputusan impor 75.000 ton garam dari Australian sudah diambil oleh pemerintah, ini kondisi paradok disaat 2017 ditetapkan sebagai tahun swasembada garam oleh pemerintahan Jokowi
Pro kontra kebijakan impor pasti ada, tapi harus kita lihat dengan jernih dan apa yang harus kita lakukan? Mungkinkah kita tanpa impor garam? Apakah bisa dengan garis pantai terpanjang kedua dunia semua bisa produksi garam? Apakah kita sudah pernah swasembada garam? Solusi jangka panjang harus riil.
Fakta Garam Nasional
Sejak merdeka kita belum bisa swasembada garam. Target yang di patok sejak 2012 sampai 2017 dipastikan gagal melihat kondisi saat ini. Memang tidak mudah kelola garam.
Inilah faktanya bahwa sejak 2001 sampai 2016 produksi garam terus mengalami penurunan, pernah bagus tahun 2015 bisa produksi 2.9 juta ton/tahun dari kebutuhan nasional 4 juta ton.
Terdiri untuk garam konsumsi 1.96 juta ton dan industri 2.05 juta ton. Memang kebutuhan garam konsumsi sudah cukup, hanya untuk industri masih jauh dari harapan kualitas garam dalam negeri.
Dari sisi kemampuan lahan produksi garam juga belum signifikan, ada 49 titik dari 9 provinsi sentra garam mulai dari jawa, sulawesi sampai NTT yang luasan lahan sekitar 21.348 hektar dengan kapasitas produksi garam 60 – 80 ton/ha. Kita membutuhkan lahan minimal 37.000 Ha dengan produksi 80 ton/ha.
Lalu orang banyak berargumentasi kenapa laut yang luas tidak bisa produksi garam sendiri? Anggapan luasan laut semua bisa produksi garam tidak benar.
Indonesia berada di ekuator dengan udara lembab, banyak uap air masuk menuju ke equator sehingga input fresh water ke wilayah Indonesia banyak, otomatis salinitas jg rendah.
Berbeda dg daerah lintang menengah yg udaranya kering, massa udara (uap air) mengalir ke equator, salinitasnya tinggi. (Stewart, 2008, introduction of physical Oceanography). Kondisi ini memberikan gambaran bahwa tidak semua lautan kita bisa berproduksi garam.
Lihat sisi lain yaitu teknologi pengelolaan garam. Saat ini kita harus akui bahwa teknologi yang dipakai untuk produksi garam nasional masih jauh dari maju.
Produksi garam rakyat hanya mengandalkan teknologi penguapan dan sangat tergantung cuaca, jika cuaca buruk maka ancaman gagal panen mencapai 90%. Sampai saat ini faktanya kita masih sangat mengandalkan cuaca sebagai faktor “penentu” dalam produksi garam nasional.
Solusi Jangka Panjang
Solusi jangka pendek untuk segera atasi kelangkaan garam adalah impor. Memang pahit tetapi itulah jalan satu – satunya untuk mengisi kekosongan stok nasional, kegagalan antisipasi kebijakan impor jangan sampai terulang kembali seperti sekarang.
Tapi impor harus berhenti mulai 2019 dengan solusi jangka panjang yang komperhensif.
pertama kebijakan nasional harus fokus membangun industri garam berbasis teknologi. Tawaran BPPT yang punya teknologi evaporasi mampu memanen garam dari 12 hari menjadi 4 hari harus betul – betul direalisasikan dalam konteks industriliasai.
PT Garam harus memiliki pabrik dengan teknologi tinggi yang mampu menyediakan garam industri dengan kadar NaCl lebih dari 97%. Pilihan teknologi sangat penting ditengah cuaca saat ini yang tidak menentu. Jika hanya mengandalkan teknologi geomembran saja akan sangat susah.
Kedua, peningkatan kualitas garam rakyat. Garam rakyat harus ditingkatkan kualitasnya agar bisa perlahan memenuhi kebutuhan garam industri yang otomatis menurunkan impor garam.
Ketiga, fokus kepada kesejahteraan petani garam. Jangan impor saat panen raya, tetapkan harga garam rakyat yang menguntungkan petani. Sejarah harga 200 – 300 rupiah/kg jangan terjadi kembali di tingkat petani.
Swasembada garam harus sejalan dengan kesejahteraan petani garam karena itulah esensi utama kita berswasembada.