DAELPOS.com – Berdirinya Perkumpulan Budi Utomo, 20 Mei 1908, adalah tonggak lahirnya gerakan kebangsaan di Hindia Belanda. Budi Utomo yang digagas oleh Dr. Wahidin Soedirohusodo, dan dideklarasikan oleh Dr. Soetomo, Dr. Gunawan Mangoenkoesoemo dan Soeradji ini memulai kesadaran nasionalisme menentang kolonialisme. Kesadaran untuk menjadi Indonesia, dan keharusan membentuk pergerakan antikolonialisme ini menjadi titik awal pergerakan kemerdekaan.
Semangat Kebangkitan Nasional ini tidak hanya sekedar slogan politik, tetapi menjadi sebuah cita-cita menjadi suatu bangsa. Bangsa yang terdiri dari bermacam-macam suku, agama, kepercayaan, juga beragam bahasa dan budaya, tetapi mempunyai cita-cita yang sama : Merdeka sebagai bangsa yang berdaulat!
Setelah melalui perjalanan panjang hingga Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia, maka para pendiri bangsa meletakkan Pancasila sebagai dasar negara. Pancasila yang digali oleh Bung Karno selama bertahun-tahun sebagai pencerminan adanya Bangsa Indonesia, lengkap dengan semboyan Bhineka Tunggal Ika, menjadi pengikat utuhnya Bangsa Indonesia.
Hari ini, 20 Mei 2021, 113 tahun setelah lahirnya Boedi Oetomo, semangat yang sama masih harus menyala-nyala di setiap benak rakyat Indonesia. Semangat anti kolonialisme dan neokolonialisme. Semangat kesadaran sebagai suatu bangsa yang besar dan mampu menggetarkan dunia. Semangat yang menunjukkan bahwa kita mempunyai budaya serta peradaban yang tinggi. Semangat sebagai pemenang.
Semangat yang menyala-nyala dan berkobar-kobar itu tentu sudah ada panduannya. Bung Karno pada pidato “Tahun Vivere Pericoloso”, 17 Agustus 1964, telah memberikan arah perjuangan dengan formula Trisakti : berdaulat dalam politik, berdikari dalam ekonomi dan berkepribadian dalam kebudayaan. Disitu juga Bung Karno juga dengan tegas mengingatkan, “Barangkali kita akan makin lama makin jauh op drift, makin lama makin kleyar-kleyor, makin lama makin tanpa arah, bahkan makin lama makin masuk lagi dalam lumpurnya muara “exploitation de l’homme par l’homme” dan “exploitation de nation par nation”. Dan sejarah akan menulis: Di sana, antara benua Asia dan benua Australia, antara Lautan Teduh dan Lautan Indonesia, adalah hidup satu bangsa, yang mula-mula mencoba untuk hidup kembali sebagai Bangsa, akhirnya kembali menjadi satu kuli di antara bangsa-bangsa, – kembali menjadi “een natie van koelies, en een koelie onder de naties”. Sungguh Maha Besarlah Tuhan, yang membuat kita sadar kembali, sebelum kasip”.
Dan generasi yang hidup di tahun 2021 inilah yang harus menjawab tantangan. Tantangan untuk menjadi bangsa yang terus tumbuh menjadi bangsa pemenang. Kita tentu dapat menjadi negara maju dengan industri yang kuat. Kita pasti mampu membuat komputer sendiri, awan sendiri, alutsista sendiri bahkan mobil listrik sendiri. Tidak perlu minder harus menggunakan merek dagang asing untuk sesuatu yang bisa kita kerjakan sendiri. Kita tentu dapat menjadi negara maju dengan tetap bangga dengan budaya kita, budaya Indonesia. Budaya yang dilahirkan oleh leluhur dan diturunkan secara turun temurun dan menjadi kebanggaan nasional. Kita tentu tidak kalah bangga dengan Jepang, Korea, Cina, Vietnam, Thailand dan India untuk bangga dengan jati diri nasionalnya. Bangga dengan hurufnya. Bangga dengan keseniannya. Bangga dengan kebudayaannya. Kita harus bangga lahir sebagai Bangsa Indonesia!
Terakhir, kita harus selalu ingat pesan Bung Karno dalam Pidato Tahun Berdikari, “asal kita setia kepada hukum sejarah dan asal kita bersama dan memiliki tekad baja, kita bisa memindahkan gunung Semeru atau gunung Kinibalu sekalipun!”.